Peran Perempuan di Politik Baru Sebatas Demokrasi Prosedural

Kamis, 01 Desember 2016 – 20:02 WIB
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Angraini. Foto JPNN.com

jpnn.com - JPNN.com JAKARTA - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Angraini mengatakan, perjuangan perempuan untuk mendapatkan kuota 30 persen sejak Pemilu 1999 di kepengurusan partai politik memang sudah berhasil. 

Namun dalam praktiknya, peran perempuan di kancah perpolitikan dalam perkembangannya masih sebatas prosedural belum mencapai yang substantif.

BACA JUGA: Nah Lho! Bawaslu DKI Sebut Agus-Sylvi Lakukan Politik Uang

“Riset Perludem menunjukkan terjadi pencomotan calon-calon perempuan oleh partai politik sekadar formalitas, bukan lewat kaderisasi yang baik,” kata Titi dalam diskusi serial Pojok Tanah Abang Solidarity Lecture ke-2, pada Rabu (30/11) di basecamp DPP PSI Jakarta Pusat.

Titi menengarai, terjadinya demokrasi prosedural bagi peran perempuan karena politik, tidak ada pengkaderan yagn baik. Kata dia, perempuan dibiarkan berkompetisi tanpa ada intervensi maupun asistensi. 

BACA JUGA: Blusukan, Ahok Dikuntit Pemotor sampai Kebagusan, Eh Ternyata...

“Selain belum lepas dari patriarki, ada pula keterputusan antara gerakan perempuan dengan legislator perempuan, tidak lagi dikawal dalam formulasi kebijakan politik,” katanya. 

Salah satu contohnya adalah di Pilkada Bone Bolango. Calon perempuan dari jalur perseorangan mengundurkan diri karena tidak mendapat izin dari suami. “Ini contoh menyedihkan," lanjut Titi.

BACA JUGA: Kinerja Ahok Memang Oke, tapi Elektabilitas di Bawah AHY

Pegiat International Foundation for Electoral System (IFES), Lanny Octavia mengatakan, kondisi demokrasi prosedural diperparah dengan bias gender yang masih sangat kental.

“Memangnya legislator laki-laki juga tidak korup,” tegas Lanny.

Untuk mengurai masalah peran perempuan, Anggota Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin menyarankan perlunya affirmative action untuk perempuan adalah pengarusutamaan gender.

“Kesadaran perempuan tentang kebangsaan sudah ada sejak 1920-an, bahkan sejak era kerajaan sudah ada ratu-ratu yang berkuasa,” kata Mariana.

Affirmative action adalah salah satu bentuk revolusi yang lahir dari era reformasi, terang Mariana. 
Lebih lanjut Mariana menyoroti menguatnya fundamentalisme agama yang mengancam isu-isu perempuan.

“Isu-isu progresif mudah dibalikkan, apalagi dikendarai oleh pihak-pihak tertentu serta mudah mengambil hati masyarakat,” kata Mariana.

Secara umum, Mariana menganggap persoalan gender harus dikaitkan dengan persoalan keadilan, dan pengakuan terhadap beragamnya identitas perempuan yang memungkinkan adanya kompetisi antarindividu.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia, Raja Juli Antoni, sebagai partai milik anak muda, kebijakan PSI juga mendorong partisipasi politik perempuan. 

Di antaranya dengan menempatkan perempuan pada posisi-posisi penting partai.

“Di DPP ada 9 orang pengurus, hanya 3 yang laki-laki, dan di seluruh tingkatan struktur keterwakilan perempuan di atas 40 persen,” lanjut Toni.

Setelah berhasil lolos dalam proses verifikasi Kemenkumham, saat ini PSI juga tengah menyorot pembahasan RUU Pemilu di DPR. 

PSI tengah mendorong agar pembahasan RUU Pemilu tidak mencederai hak partai baru dan hanya menguntungkan partai-partai di Senayan.

(JPG) 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ahok: Anak Saya Hitam


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler