JAKARTA – Tudingan pemerintah yang sengaja ingin mempreteli kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam kontrol kehalalan produk ditanggapi kritis Menteri Agama (Menag) Suryadharama Ali. Tuduhan tersebut dianggap tidak cukup mendasar. Alasannya, draf Rancangan Undang Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) itu tak mengarahkan pada hilangnya peran ulama. Terlebih dalam menentukan jaminan halal bagi produk yang bakal diedarkan. ”UU JPH ini nantinya lebih memberikan kemudahan dan jaminan bagi produsen dan konsumen,” ujarnya menanggapi kritikan MUI terhadap RUU JPH di Jakarta, Senin (16/4).
Menurutnya, penerbitan sertifikasi halal tetap pada kewenangan ulama. RUU JPH tersebut memberikan ruang yang luas bagi ulama. Tidak lagi seperti sekarang yang didominasi MUI. ”Dominasi MUI dalam penerbitan sertifikasi halal itu sesungguhnya cukup merepotkan. Karena hanya tersentral pada MUI Pusat saja. Tidak terjangkau sampai ke daerah-daerah. Kan yang memohon sertifikasi halal itu banyak sekali produsen. Rasanya tak bisa lagi ditangani MUI saja,” ujarnya.
Dengan RUU JPH itu, lanjut Suryadharama, tidak ada lagi tumpukan keterlambatan dalam penerbitan sertifikasi halal. Prosesnya bisa lebih cepat dan tetap akurat. Karena tersebar di berbagai daerah. Terkait tidak dilibatkannya ulama dalam auditor halal produk, dia membantah tegas. Ulama dalam RUU JPH itu tetap memiliki peran dominan. Mulai dari mengetahui asal bahan, proses pengerjaan sampai pengepakannya.
”Nggak benar itu. Yang disebut halal ini mulai dari bahannya, pengerjaan dan pembumkus. Kalau dari salah satu itu tidak memenuhi standar halal, maka tidak bisa terbit sertifikasi tersebut,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Pengawas Produk Obat dan Makanan (LPPOM) MUI Lukmanul Hakim menambahkan, draft RUU JPH itu telah mengkebiri makna halal yang sesungguhnya. Tergantikan dengan proses monitoring yang standar tanpa melihat kaidah norma agama. Tak itu saja, draft RUU JPH tersebut mencabut peran ulama sebagai kontrol kehalalan produk. Peran ulama dibatasi pada lingkup labelisasi semata. Tidak dilibatkan secara mendalam.
”Saya juga paham, ulama tentu tak paham dengan zat-zat yang butuh pendekatan scientifik. Tapi tak berarti ulama tidak diperlukan,” tandasnya.
Secara utuh, lanjut Lukmanul, ulama perlu masuk ke dalam proses produksi makanan, obat, dan kosmetik. Ini agar dapat memastikan seluruh bahan yang digunakan tidak melawan syariat Islam. ”Jaminan halal itu harus tetap berada pada peran ulama. Paling tidak ada lima peran yang dibutuhkan ulama terkait jaminan halal produk. Pertama penyusunan standar halal, auditor produk, penetapan fatwa halal, penerbitan sertifikasi dan pendidikan bagi ulama serta tenaga ahli kehalalan produk,” jelasnya.
Jadi, kata Lukmanul, draft RUU JPH yang bakal digodok Komisi VIII DPR RI ini sangat bermasalah. MUI dan LPPOM MUI tak setuju draft tersebut. ”Perlu direvisi secara penuh,” pungkasnya. Sebelumnya, Ketua MUI KH Amidhan secara lugas menilai draf RUU JPH tersebut menempatkan ulama sebagai ‘stempelisasi’ kehalalan produk. Tidak lagi dilibatkan secara penuh dalam mengontrol jaminan halal terahdap produk. ”Draf RUU JPH ini sangat bermasalah. Bagaimana pun penelitian dan penetapan kehalalan produk ada pada peran ulama,” ujarnya di kantor MUI, Jakarta. (rko)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Polisi dan TNI Diminta Jujur soal Geng Motor
Redaktur : Tim Redaksi