Perang Ekonomi dan Nasib Bangsa Ini

Oleh: Dr Ichsanuddin Noorsy BSc., SH., Msi

Rabu, 17 Desember 2014 – 20:12 WIB

jpnn.com - SEJAK krisis ekonomi tahun 2008 yang ditandai dengan kekalahan perang industri manufaktur AS terhadap RRC sehingga negeri Paman SAM mengalami defisit perdagangan USD 323 miliar, sebenarnya genderang perang ekonomi mulai ditabuh menguat. Betapa tidak, kekalahan industri manufaktur AS tersebut mengakibatkan para pekerja dirumahkan.

Akibatnya mereka tidak bisa membayar kredit perumahan. Kredit macet ini pada gilirannya melahirkan krisis subprime mortgage sehingga atas persetujuan Kongres AS, pemerintahan GW Bush harus menalangi (bail out) kerugian industri keuangan AS sebesar USD 700 miliar.

BACA JUGA: Garuda tanpa Emirsyah

Dalam perkembangannya bail out  itu menjadi USD 831 miliar dan dilanjutkan dengan kebijakan uang murah (quantitive easing) dari Federal Reserve. Rangkaian kebijakan itu menunjukkan AS berusaha mengatasi krisisnya sambil membangun kembali ketahanan ekonominya.

Tekad membangun kembali itu demikian kuatnya. Indikatornya terlihat pada pernyataan Menkeu AS, Timothy Geithner era periode pertama BH Obama yang menuding RRC telah melakukan manipulasi nilai tukar. AS pun menekan RRC untuk minimal melakukan dua hal: melepas nilai tukarnya ke pasar dan menerapkan hak cipta intelektual.

BACA JUGA: Rindu Dahlan Iskan

Tentu saja diikuti dengan anjuran kuat menerapkan demokrasi liberal. RRC tidak merespon langsung tekanan ini. Hu Jintao yang waktu itu memimpin RRC malah melakukan diplomasi ekonomi dengan cara membeli Bank of East Asia di Chicago, sebuah bank yang memiliki 246 cabang di seantero AS. Obama pun bersikap betapa muaknya dia pada Hu Jintao.

Dalam posisi tidak memberi hasil yang memadai dalam menekan RRC, AS mengekspor inflasi ke jazirah Arab. Maka Mesir bergolak, juga Libya dengan akibat Khadafi jatuh, lalu perang adu domba di Syria yang hingga kini masih berlanjut.  Patut dicatat, dalam sejarah ekonomi politik abad 20, inflasi adalah senjata awal untuk membuat kerusuhan sosial dan berlanjut menjadi kerusuhan politik disebabkan marahnya rakyat kecil atas kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.

BACA JUGA: Bertambahnya Beban Orang Tua Murid

Kembali ke perang ekonomi, ketika krisis politik merebak di jazirah Arab, pada saat yang sama krisis di Uni Eropa terus berlanjut. Penyatuan moneter melalui zona Euro gagal membentuk blok ekonomi tersendiri karena kapasitas fiskal yang berbeda di antara negara-negara anggota Uni Eropa.

Sementara ketergantungan Uni Eropa atas pasokan gas dari Rusia membuat risau sejumlah pemimpin negeri itu untuk membangun ketahanan energi. Sebelumnya, Amerika Latin - khususnya Venezuela, Bolivia dan Brazil- menolak campur tangan AS secara langsung atau tidak.

Kerja sama ekonomi Brazil, Rusia, RRC, India dan Afrika Selatan (BRICS) bahkan mempertajam peperangan ekonomi. Mereka menolak konsensus Washington (liberalisasi berbagai sektor ekonomi, privatisasi, dan cabut subsidi; neoliberal); guna memenuhi kebutuhan sendiri. BRICS membangun bank dengan modal USD 100 miliar sebagai tandingan Bank Dunia/IBRD; dan menolak menggunakan USD sebagai mata uang dalam transaksi perdagangan mereka.

Awalnya, media massa Barat mengerucutkan peperangan itu dengan tema Corporate Capitalism versus State Capitalism, sebagaimana artikel saya empat tahun lalu di media nasional. Tetapi intinya adalah perang ideologi ekonomi demi tercapainya kepentingan nasional, baik sendiri-sendiri maupun bersama.

Sejak akhir tahun 2008 tema besar ini saya tempatkan sebagai sajian utama pada berbagai kuliah tamu di Magister Kebijakan Publik UGM, S2 Ilmu Komunikasi UI, S3 Universitas Sahid, Unesa, UNY, Unes, UNM dan pendidikan dan pelatihan di Lembaga Administrasi Negara untuk Sespimnas II, Sespimti Polri serta di berbagai acara diskusi lainnya. Dalam keseluruhan sajian itu saya menyebutkan, peperangan ekonomi masih akan berlanjut sebagaimana saya sampaikan di forum diskusi Perbanas pada Jan 2014, LPS pada Agustus 2014, dan beberapa instansi pemerintah lainnya.

Merujuk pada penolakan kompetitor AS menggunakan mata uang USD dalam transaksi perdagangan, sementara AS menggunakan mata uangnya sebagai senjata ampuh menekan lawannya, maka minyak lagi-lagi menjadi komoditas paling cepat memberi dampak terhadap perekonomian suatu negara. Sejak OPEC didirikan, permainan harga minyak sudah terjadi dan selalu berhubungan dengan peristiwa politik.

Kini, harga minyak kembali dimainkan AS hanya karena AS sudah terbebas dari ketergantungan minyaknya dari Saudi Arabia, Kuwait, UAE, Kanada dan Venezuela. AS juga berhasil memberi sanksi pada Rusia akibat Rusia mendukung pemberontak separatis Ukraina di Crimea.

Karena besarnya APBN Rusia tergantung dari minyak dan gas, maka pukulan harga minyak membuat perekonomian Rusia tergelincir. Mata uang Rubel jatuh 50 persen walau Rusia telah meningkatkan suku bunganya dari 10,5 persen menjadi 17 persen. AS tidak berhenti sampai di situ. Menyusul penggunaan teknologi eksplorasi mutakhir, shale gas dan shale oil yang tersimpan di bumi AS telah membuat negeri Paman Sam memiliki kedaulatan energi dan berposisi sebagai produsen minyak terbesar di dunia dalam waktu yang akan datang.

Merosotnya harga minyak ini membuat semua negara yang memproduksi minyak dengan titik impas di atas USD 80 per barel akan terseok-seok. Negara-negara produsen minyak dan negara-negara importer minyak yang mengonsumsi minyak melalui kontrak jangka panjang dengan negara produsen pun terpukul. Akibatnya, semua harga dan permintaan barang di pasar global akan merosot bersamaan dengan membaiknya kondisi ekonomi AS dan menguatnya nilai tukar USD.

Dampaknya, pertumbuhan ekonomi global melambat namun perekonomian AS tampil sebagai pemenangnya. Indikasinya nampak pada pertumbuhan ekonomi AS yang tinggi di atas perkiraan hampir semua analis dan merosotnya angka pengangguran di AS, yang kini tinggal 240.000-an saja.

Pada 2015 nanti harga minyak akan bertengger pada USD 50-60 per barel. Ini disebabkan Australia sudah memproduksi coal bed methane, Jepang akan kembali menggunakan tenaga nuklirnya untuk pembangkit listrik, AS akan memproduksi minyak dan gas dari shale oil dan shale oil, dan Qatar akan menjual gasnya sekitar USD 6/mmbtu.

International Energy Agency memerkirakan, akan terjadi penurunan produksi minyak 1,5 juta barel per hari dari total sekitar 30 juta barel per hari yang diproduksi OPEC. Mata uang USD dan minyak jelas telah menjadi senjata ekonomi bersifat alternatif dan kumulatif.

Dalam melanjutkan peperangan ekonominya dan memperkukuh eksistensi negaranya, AS akan menaikkan suku bunga Fed rate menjadi 2-3 persen per tahun, meninggalkan kebijakan suku bunga mendekati nol persen. Diduga, Uni Eropa justru akan memberi stimulus ekonomi model uang murah Fed disertai suku bunga rendah, juga Jepang di tengah RRC melamban.

Bagaimana posisi Indonesia? Sesuai dengan tema diskusi yang saya sajikan sejak 2008 hingga akhir tahun 2014 ini di berbagai tempat bahkan di Pra Rakernas PDIP di Semarang, 18 September 2014, sebenarnya kita punya jalan keluar. Di berbagai televisi swasta saya berkali-kali menyatakan pentingnya inward looking untuk outward looking.

Orientasi ekspor saja tanpa menata dan menguasai pasar domestik ditambah dengan “kenyamanan” akan ketergantungan pada impor bahan baku dan konsumsi disertai dengan kegandrungan akan investasi asing pada portofolio, akan membuat volatilitas perekonomian bangsa ini akan selalu terjadi seperti yang kita alami sekarang. Jika volatilitas itu  adalah abnormal, namun sering terjadi, maka yang abnormal menjadi normal.

Namun, normal yang sakit. Maukah kita sembuh? Joko Widodo-Jusuf Kalla menjawabnya dengan Tri Sakti dan Nawa Cita. Mari kita bersaksi apakah memang jawaban itu akan menyembuhkan, sekaligus kita tunggu apa argumennya jika mereka gagal. Duh, nasib bangsa ini….(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Refleksi Hari Guru 2014


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler