jpnn.com, JAKARTA - Indonesia dan Tiongkok memiliki banyak kemiripan, salah satunya terkait mencari persamaan di tengah keragaman.
Hal tersebut disampaikan Penulis Buku 'Ada Apa dengan China', Novi Basuki di acara Perayaan Cap Go Meh yang digelar DPC Taruna Merah Putih (TMP) Jakarta Utara, Minggu (5/2) malam.
BACA JUGA: Moeldoko: Festival Cap Go Meh Singkawang Harus menjadi Perhatian Dunia Internasional
"Di Tiongkok ada suatu pemikiran yang artinya kita harus cari persamaan di waktu yang sama tapi mempertahankan keragaman. Di Indonesia ini ada kebhinnekaan, jadi Bhinneka Tunggal Ika, saripatinya kalau menurut Bung Karno adalah gotong royong," ujar Novi Basuki.
Terkait dengan gotong royong, Novi yang menuntaskan kuliahnya hingga S3 di Tiongkok, mengungkapkan pengalaman tak sedap yang dialaminya saat menceritakan kisah sukses orang Tionghoa yang memulai usaha dari nol hingga menjadi konglomerat.
BACA JUGA: Irjen Suryanbodo Tegaskan Perayaan Cap Go Meh di Singkawang Aman
Ketika itu dia mendapat komentar negatif dari warganet.
"Ada yang berkomentar 'Orang Tionghoa itu memang berusaha dari nol dan mengubah nasibnya untuk bisa sejahtera. Tapi ada satu kekurangan, orang Tionghoa tidak mau turun ke bawah'. Wah, dapat komentar itu, lalu saya balas, 'bapak mungkin kurang memperhatikan bahwa sudah banyak pengusaha Tionghoa turun ke bawah tapi mungkin tidak terlihat dan tidak mau terlihat," tuturnya.
BACA JUGA: Cap Go Meh di Singkawang Sepi Tanpa Pawai Liong dan Tatung
Dari peristiwa itu, dirinya mengajak masyarakat etnis Tionghoa, tidak sekadar menyalurkan bantuan tanpa hadir dan melihat langusng keadaan warga yang dibantunya.
"Orangnya juga harus turun ke bawah. Jadi ada istilah di Mandarin bahwa mendengar 100 kali, keakuratannya itu kalah walaupun melihat hanya satu kali saja. Jadi terjun langsung melihat kondisi yang sebenarnya, itulah tolok ukur suatu kebenaran," kata Novi.
"Mungkin gotong royong selanjutnya perlu kehadiran kita bersama, tokoh-tokoh Tionghoa atau siapapun, dengan membaur merasakan apa yang sesungguhnya menjadi keluhan orang Indonesia kebanyakan," imbuhnya.
Dirinya lalu mengutip satu istilah dari Bahasa Mandarin yang artinya bahwa seorang pemimpin menjadikan rakyatnya dewa, tapi rakyat menjadikan kesejahteraan, mengentaskan kemiskinan sebagai dewanya.
"Jadi, siapa yang bisa merasakan betul, mengentaskan betul apa yang menjadi keluhan rakyat ini, dialah yang menjadi pemimpin selanjutnya," pungkasnya.
Sekretaris DPC Taruna Merah Putih Jakarta Utara Niko Atmaja, yang juga ketua panitia Perayaan Cap Go Meh, mengungkapkan harapan acara yang diselenggarakan bisa mempererat persatuan dan persaudaraan.
"Harapan saya enggak muluk-muluk, saya ingin teman-teman merasakan persatuan dan persaudaraan itu bisa muncul kapan saja. Tidak harus melalui acara Capgome, tapi kita manfaatkan acara ini untuk berkumpul bersama. Selain perayaan Capgome, kita juga memperingati hari lahir Ibu Fatmawati, istri dari Bung Karno," ujar Niko.
Tema yang diangkat dalam acara tersebut, kata Niko, adalah 'Persatuan Indonesia untuk Indonesia Raya dengan Jiwa Gotong Royong Penuh Harapan'.
"Mudah-mudahan harapan kami dari PDI Perjungan juga dari Taruna Merah Putih, bapak ibu bisa bergotong-royong bersama kami membangun Indonesia lebih baik lagi ke depannya. Tidak peduli apapun etnis kita, apapun agama kita, kita bersatu membangun negara kita tercinta," tuturnya.
Ketua DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta Ady Widjaja yang turut hadir dalam acara tersebut turut menyampaikan sejarah singkat tentang Imlek, yang menurutnya, hingga saat ini masih banyak masyarakat belum memahaminya.
"Banyak saudara kita yang tidak mengerti artinya Imlek, selalu dikaitkan dengan agama. Padahal kita tahu, Imlek ini tidak ada kaitannya dengan agama. Imlek ini pada zaman dulu, rakyat Tiongkok merayakan hari pertama musim semi. Nah, hari pertama, tahun ini jatuh pada 22 Januari mualai musim semi. Di sana (Tiongkok) itu udah enggak ada musim dingin lagi. Es mulai lumer, pohon mulai tumbuh, maka dirayakanlah," ujarnya.
Di Tiongkok, kata Ady, semua agama hingga 56 suku yang ada merayakannya dengan kulturnya masing-masing.
"Mungkin banyak dari saudara-saudara kita, bahkan yang Tionghoa juga tidak mengerti, karena mohon maaf, kita sudah mengalami diskriminasi yang panjang, sehingga banyak saudara kita tidak mengerti. Semua sejarah dihapus, diputarbalikkan," tutupnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif