jpnn.com - Perayaan Imlek bagi warga Tionghoa merupakan tradisi. Meski telah hidup berbaur dengan warga setempat, warga keturunan Tionghoa di Banjar Lampu, Desa Catur Kintamani Barat, misalnya tidak menghilangkan tradisi turun-temurun itu. Mereka dengan suka cita melangsungkan perayaan Imlek. Seperti apa?
Udara sejuk Kintamani pada perayaan Imlek yang jatuh pada Senin (8/2) kemarin semakin sejuk ditambah mendung dengan kabut tipis yang turun perlahan. Namun saat sampai di Kintamani Barat tepatnya di Banjar Lampu yang merupakan perbatasan dua wilayah antara kabupaten Badung dan juga Singaraja ini ternyata ada sebagian warganya yang merayakan Imlek. Rasa kaget wartawan ini pun semakin menjadi saat melihat sebagian warga setempat yang memiliki rupa wajah dan mata keturunan Tionghoa. Ternyata di desa dengan sekala terpencil tersebut rupanya orang-orang tersebut merupakan keturunan Tionghoa yang hingga kini masih ada dan hidup berdampingan dengan warga pribumi (Bali).
BACA JUGA: Kalstar Setop Penerbangan ke Bandara Warukin
Menariknya, para keturunan Tionghoa ini saat berkomunikasi dengan kerabatnya yang sesama warga Tionghoa menggunakan Bahasa Bali.
Jajanan rumah banyak didominasi hiasan warna merah dan juga lampu lampion menambah kentalnya perayaan di banjar tersebut. Karena penasaran, wartawan Koran ini mengunjungi rumah milik Nyoman Ayusta Wijaya. Ayusta merupakan Ketua Perkumpulan Tionghoa Darma Semadi di Banjar Lampu. Pria berambut gondrong ini menerima Koran ini penuh suka cita.
BACA JUGA: Mimpi Punya Stamina Prima, 4 Warga Sidoarjo Ditangkap Polisi
“Ya beginilah susana desa, pasti kaget ya melihat ada orang Tionghoa di desa,” katanya.
Terlebih saat itu, kerabat keluarganya merantau di berbagai Kabupaten di Bali berkumpul setelah melakukan persembahyangan di konco.
BACA JUGA: Seminggu 3 Kasus, Kutim Rawan Kejahatan Seksual
“Perayaan Imlek di tempat sama saja dengan lainnya, hanya bedanya kami di desa,” lanjutnya. Perayaan yang dimulai pukul 09.00 ini pun dihadiri sejumlah warga Tionghoa yang merupakan warga setempat ini dengan suka cita.
Usai melaksanakan persembahyangan di konco, acara dilakukan araha rataman seperti bersilaturahmi keseluruh warga pun dilakukan. Hanya untuk doa saat perayaan Imlek dilakukan dengan menggunakan Bahasa Bali. Pasalnya untuk doa berbahasa Tionghoa hanya bisa dilafalkan oleh orang terdahulu serta orang yang dituakan.
“Dulunya sebelum saya menjabat ketua perkumpulan Tionghoa, persembahyangan saat perayaan di konco dilakukan per keluarga. Namun saat saya menjabat sejak dua tahun lalu, saya berlakukan agar persembahyangan dilakukan secara bersama-sama. Untuk perlengkapan seperti lampion dan sebagainya dibawa dari Denpasar,” paparnya.
Ditanyakan apakah selama ini, hidup berdampingan dengan warga pribumi cukup baik? Ayusta mengungkapkan jika sejak awal keberadaan yakni sejak 400 tahun lalu kehidupan antara keduanya berjalan sangat baik. Hampir tidak ada sekat dan warga Tionghoa ini pun mendapat posisi yang sama.
“Kami selalu berjalan beriringan. Bahkan hampir semua warga Tionghoa ini menikah silang dengan warga Hindu. Saat ini saja, kelian banjar adatnya orang Tionghoa. Sedangkan saya jadi kelian pecalang. Jadi kami benar-benar dianggap di sini. Jadi kami setara dengan saudara Hindu. Untuk upacara kematian pun kami turut andil. Karena kami bermasyarakat harus seperti itu,” tuturnya.
Dalam kesehariannya pun pihaknya menggunakan Bahasa Bali, karena mereka merasa bagian dari warga Bali. Apapun kegiatan warga Hindu, selalu para warga keturunan Tionghoa dilibatkan. Menariknya di setiap rumah warga Tionghoa wajib terdapat sanggah dan juga since yang merupakan termpat persembahyangan orang Budha untuk skala rumah.
“Dan ini memang suatu kewajiban, karena jika tidak ada sanggah maka akan ada akibat yang diterima,” terangnya seperti dilansir Bali Express (Grup JPNN).
Perayaan Imlek setiap tahunnya sudah menjadi pemandangan biasa bagi masyarakat asli Banjar lampu ini. Jika untuk toleransi, pria yang memiliki istri asal Kintamani ini mengungkapkan jika banjar Lampu lah yang seharusnya dijadikan barometer untuk Bali bahkan Indonesia.
“Kami biasa hidup menikah dengan keyakinan yang berbeda. Misalnya istri saya Hindu, saya Budha jadi gak masalah. Dari nama kami juga mengandung nama Bali, tapi ada yang beberapa hingga saat ini masih menggunakan nama Cina. Kami berharap keharmonisan ini tetap bertahan sampai kapanpun. Perbedaan jangan dijadikan suatu perdebatan yang dapat menimbulkan perpecahan,” katanya.(zul/tos/fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Diduga Masalah Asmara, Mahasiswa Tewas Gantung Diri
Redaktur : Tim Redaksi