jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Arif Susanto menilai, ada beberapa penyebab politik identitas berbasis kebencian berkembang hingga saat ini. Antara lain, adanya kesenjangan ekonomi di tengah masyarakat. Daerah yang memiliki tingkat kesenjangan ekonomi cukup tinggi, dinilai rawan penggunaan politik SARA.
"Contoh konkretnya itu di Jakarta, sebagai laboratorium penggunaan identitas (politik SARA,red). Efeknya, akumulasi kekuasaan pada elite, sementara pada masyarakarta terjadi pembelahan," ujar Arif di Jakarta, Selasa (26/12).
BACA JUGA: Pilpres 2019 Diprediksi Panas Mirip Pilkada DKI
Menurut pengajar di Universitas Paramadina ini, hasil penelitian menunjukkan gini ratio di Jakarta naik dalam tiga tahun terakhir. Itu menjadi persemaian subur bagi politik kebencian berbasis identitas.
Penyebab lain, rendahnya literasi politik dan komunikasi. Banyak masyarakat yang tidak paham bahwa politik adalah moderasi konflik. Artinya, fungsi politik membuat konflik lebih lembut.
BACA JUGA: Reklamasi Masih Akan Menimbulkan Ketegangan
"Singkatnya, kecerdasan politik masyarakat masih lemah. Parahnya lagi, parpol justru alfa memperbaiki itu," ucapnya.
Kemudian terkait komunikasi, kata Arif, salah satu instrumen yang digunakan untuk menyebarkan politik kebencian selama ini adalah media sosial. Hal tersebut cukup berbahaya jika tidak dibarengi literasi komunikasi yang baik bagi masyarakat.
BACA JUGA: Elite Politik Perlu Menghadirkan Kompromi Kebangsaan
Akibatnya, orang gagal membandingkan antara opini dan fakta. Demikian juga antara pemberitaan dan penyebarluasan kabar bohong lewat konstruksi, seolah merupakan sebuah produk berita.
Sebenarnya, kata Arif kemudian, model politik kebencian sudah dimulai pada 2016 lalu. Namun efeknya tidak terlalu kuat. Baru terasa sangat kuat di 2017, pada Pilkada DKI Jakarta. Terjadi karena ada polarisasi politik yang amat tegas.
"Dengan polarisasi yang tegas maka sangat mudah bagi elite politik memicu konflik yang menyebabkan pembelahan," pungkas Arif.(gir/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang