jpnn.com - JPNN.com JAKARTA - Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Kota Tengerang Selatan, Banten kini jadi perbincangan. Pemicunya, Raperda tersebut bertentangan dengan aturan yang hierarkinya lebih tinggi.
Raperda KTR di Tangerang Selatan tidak hanya mengatur kawasan tanpa rokok, namun juga mengharamkan toko swalayan menjual rokok dan melarang perusahaan rokok beriklan.
BACA JUGA: OJK Kembangkan Asuransi Pertanian, Ini Tujuannya
Pengamat hukum Margarito Kamis mengatakan Perda yang sudah berbenturan dengan aturan di atasnya jelas kebablasan. Menurutnya, Perda KTR menabrak PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
"Aturan itu kebablasan. Perda tidak bisa mengatur apa yang tidak ada di undang-undang atau peraturan di atasnya. Urusan rokok ini kan tidak otomatis juga semata urusan kesehatan. Aturan seperti itu jelas memukul industri hingga petani," kritik Margarito saat dihubungi, Selasa (7/6).
BACA JUGA: Mayoritas Laporan Bank Masih Amburadul
Ia khawatir, maraknya regulasi seperti itu, didorong kepentingan asing yang selama ini mendanai kampanye anti tembakau di Tanah Air.
Kata Margarito, daerah terkena euforia merespon kampanya anti tembakau yang didorong asing sehingga seolah-olah urusan tembakau hanya dimensi kesehatan.
BACA JUGA: Ini Strategi LG Pertahankan Dominasi
"Ini yang harus diluruskan oleh pemerintah," tegasnya.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Firman Subagyo sepakat dengan Margarito. Bahwa setiap peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan aturan lebih tinggi. Apalagi, rokok atau produk tembakau adalah produk legal.
Seharusnya wakil rakyat di daerah bisa berfikir dan bertindak strategis. Bagaimana industri hasil tembakau mempunyai posisi strategis. Karena itu sudah seharusnya ada undang-undang khusus yang mengatur.
"Tembakau lebih penting dilindungi oleh undang undang," ujarnya.
Firman mengingatkan, dalam setiap pengambilan keputusan terkait tembakau, harus ada pertimbangan rasional. Suka atau tidak, industri tembakau memberi kontribusi ekonomi besar mencapai Rp 157 triliun per tahun dari sisi cukai saja.
"Kalau itu dimatikan hanya karena desakan golongan anti tembakau jelas tidak fair. Tembakau bukan penyebab penyakit hingga menyebabkan kematian. Ingat, pabrik senjata juga menimbulkan kematian, kenapa tidak minta Amerika atau Rusiamenutup pabrik senjata mereka," tegas Firman.
Ia menilai, gencarnya regulasi yang memukul tembakau, semata karena kompetisi dagang di tingkat global. Ada kelompokbisnis tertentu yang ingin mematikan industri tembakau dalam negeri.
"Maka dimatikan dengan kompetisi adanya perang nikotin dengan tembakau, sehingga dibuat isu kematian akibat tembakau. Kalau tembakau dilarang jual, maka bagaimana dengan petani. Pemerintah daerah tidak bisa membuat regulasi yang diskriminatif, harus diatur bersama, petani tetap terlindungi," tandasnya.
Ia mengingatkan, salah satu alasan penjajah datang karena tembakau lokal Indonesia yang kemudian dibawa ke Belanda untuk dijadikan bahan cerutu. Nah, seharusnya, tembakau sebagai karunia Tuhan di sektor pertanian dilindungi dan tidak bisa diabaikan begitu saja di tengah perlambatan ekonomi dan defisit anggaran mencapai Rp 300 triliun.
"Jika tembakau diberangus mau diganti dengan apa. Jangan mengikuti dan mau ditunggangi oleh kampanye anti tembakau yang didanai kepentingan asing," tandasnya. (jpg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bulog Cari Alternatif Daging Australia
Redaktur : Tim Redaksi