jpnn.com, JAKARTA - Harga minyak dunia naik pada penutupan Kamis (Jumat pagi WIB) di tengah perdagangan yang kacau balau.
Kekacauan itu terjadi setelah Amerika Serikat mengumumkan sanksi baru terhadap Iran.
BACA JUGA: Pasokan Ngeri-Ngeri Sedap, Harga Minyak Dunia Ikut Bergejolak
Di sisi lain pasar energi tetap fokus pada kekhawatiran pasokan yang telah membuat harga melonjak tahun ini.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Agustus menetap di USD 119,81 per barel, terangkat USD 1,30 atau 1,1 persen.
BACA JUGA: Waduh! Lagi-Lagi Harga Minyak Dunia Melonjak
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Juli berakhir menguat USD 2,27 atau 2,0 persen menjadi USD 117,58 per barel.
Pasar minyak tergelincir sehari sebelumnya karena kenaikan suku bunga di Amerika Serikat, Inggris dan Swiss memicu kekhawatiran tentang pertumbuhan ekonomi global.
Setelah aksi jual di awal sesi, pembeli melompat kembali ke pasar karena sebagian besar peramal memperkirakan pasokan akan tetap ketat selama beberapa bulan.
"Banyak dari itu hanya masalah pasokan dan itu harus diselesaikan," kata Eli Tesfaye, ahli strategi pasar senior di RJO Futures.
Menurutnya, saat ini tidak ada perlambatan permintaan global sehingga aksi jual apa pun akan dilihat sebagai peluang.
Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan permintaan akan meningkat lebih lanjut pada 2023, tumbuh lebih dari 2,0 persen ke rekor 101,6 juta barel per hari.
Optimisme bahwa permintaan minyak China akan pulih karena pelonggaran pembatasan Covid-19 juga mendukung harga.
Para analis mengatakan harga minyak dunia mendapatkan dorongan dari keputusan Washington yang menjatuhkan sanksi pada perusahaan China, Emirat, dan Iran yang membantu mengekspor petrokimia Iran.
Selain itu, produksi minyak Libya telah turun menjadi 100.000-150.000 barel per hari, sebagian kecil dari 1,2 juta barel per hari yang terlihat tahun lalu, dan para analis tetap khawatir bahwa negara itu dapat memiliki masalah berkelanjutan dalam pengiriman minyak di tengah kerusuhan.
Namun, harga tergelincir lebih dari 2,0 persen sesi sebelumnya setelah Federal Reserve AS menaikkan suku bunga utamanya sebesar 0,75 persen, kenaikan terbesar sejak 1994.
"Begitu Anda menaikkan suku bunga setinggi itu, dan juga Anda tahu itu akan terjadi bulan depan, banyak pelanggan ritel mengalami kesulitan berdagang begitu Anda mulai menaikkan biaya perdagangan mereka," kata direktur energi berjangka Mizuho Robert Yawger, di New York. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul