Peringatan Moore

Oleh Dahlan Iskan

Selasa, 01 September 2020 – 10:40 WIB
Dahlan Iskan. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - SIAP-SIAPLAH dunia kita dipimpin Donald Trump lagi. Setelah konvensi Partai Republik pekan lalu, nama Trump melejit lagi.

Perbedaan citra antara Trump dan Joe Biden juga kian nyata. Terutama di mata pendukung Trump.

BACA JUGA: Kamala Devi

Bahkan mulai muncul istilah baru: mau pilih hidup di Amerikanya Trump atau di Amerikanya Biden.

Kesan umum yang muncul –setelah konvensi itu– Trump adalah lambang kekuatan, ketertiban, dan lebih dekat ke Tuhan.

BACA JUGA: Rudal Palsu

Biden, calon presiden dari Partai Demokrat itu, dikesankan lemah, suka demo, rusuh, penjarah dan jauh dari Tuhan.

"Amerika mau rusuh terus? Mau terjadi penjarahan terus? Pilihlah Biden," begitu tema baru yang dimunculkan selama konvensi.

BACA JUGA: Lucian K. Truscott

Dan tema itu masuk ke sanubari masyarakat Amerika. Yang umumnya kelas mapan. Yakni masyarakat yang benci kerusuhan apalagi penjarahan.

Kesan yang lain: Trump lebih asli Amerika daripada Biden. Fakta bahwa mereka sama-sama murni kulit putih tidak penting lagi.

Ada fakta lain: cawapres Trump sangatlah 'putih'. Cawapres Biden keturunan Jamaika-India.

Bagaimana dengan fakta bahwa saat ini terjadi kemerosotan ekonomi Amerika?

"Itu bukan kesalahan Trump. Itu akibat virusnya Tiongkok," ujar pendukung Trump. "Sebelum Covid-19 Trump sudah terbukti mampu membangun ekonomi Amerika dengan nyata," ujar mereka.

Masa sebelum Covid-29 itu telah berhasil membuat citra Trump sebagai presiden yang  mampu membangun ekonomi. Dan citra itu ternyata kuat.

Melejitnya harga saham dan rendahnya pengangguran, membuat Trump, di mata mereka, sudah terbukti mampu membangun ekonomi Amerika.

Mereka begitu mengabaikan kenyataan lemahnya penanganan terhadap Covid-19. Mereka beralasan karena virus itu bukan ciptaan Trump. Dan yang lebih banyak meninggal toh orang kulit hitam.

Peristiwa rasialis yang semula menjatuhkan popularitas Trump kini berhasil dibalik. Yakni dari peristiwa rasialis menjadi peristiwa kerusuhan dan penjarahan. Terutama  ketika demo anti-rasialis menjadi sangat luas –melanda seluruh Amerika. Yang di dalamnya diwarnai kerusuhan, perusakan, pembakaran, dan menjarahan.

Itu bukan hanya meluas tetapi juga berlarut-larut. Di Oregon, misalnya demo anti-rasialis itu sudah berlangsung tiga bulan. Bahkan Sabtu malam lalu sangat rusuh. Ada kulit putih yang tertembak mati.

Tidak penting siapa yang menembak. Jangan-jangan justru didesain agar ada kulit putih yang tertembak –dengan niat awal jangan sampai mati.

Yang penting penembakan itu terjadi saat rombongan pedemo kulit putih dihadang pemrotes yang pro-BlackLivesMatter.

Sabtu petang itu kelompok fanatik kulit putih kumpul di salah satu mal di pinggiran kota Portland. Lalu bersama-sama konvoi ke pusat kota. Jumlah rombongan itu sekitar 600 mobil.

Sudah tiga minggu konvoi seperti itu dilakukan. Tiap Sabtu petang. Sebagai imbangan atas demo BLM yang tidak kunjung berakhir.

Konvoi itulah yang diadang. Jalan-jalan dan jembatan masuk Portland dikuasai pedemo BLM.

Terjadilah saling ejek. Saling lempar. Kian malam kian seru. Dan terjadilah penembakan itu.

Korbannya seorang kulit putih –dengan identitas Patriot Prayer. Itulah nama salah satu kelompok ekstrim kanan –supremasi kulit putih– di Oregon.

Di Wisconsin kerusuhan juga melebar ke kota pinggiran. Antara Milwaukee dan Chicago. Satu orang luka serius, dua orang mati –kulit hitam.

Berlarutnya demo anti-rasialis itu dimanfaatkan oleh Trump. Isu itu berhasil dibalikkan menjadi wajah hitam Biden. Mereka menyuarakan bahwa pedemo, perusuh dan menjarahan itu adalah pengikut Biden.

"Kalau memilih Biden, Amerika akan terus seperti itu," ujar mereka.

Dalam kampanye politik, pemegang kebenaran belum tentu dibenarkan. Pemegang moralitas justru bisa dibuat tidak bermoral.

Misalnya Trump bisa dianggap melanggar UU karena menggunakan Gedung Putih sebagai tempat pidato penerimaan pencalonannya oleh Partai Republik. Setidaknya itu melanggar etika.

Paling tidak itu menandakan kurang menjunjung tinggi moral bernegara. Namun isu moral seperti itu ternyata tidak menggigit emosi masyarakat umum. Itu hanya dipersoalkan kalangan elite saja.

Padahal isi pidato Trump yang sampai 1,5 jam itu tidak ada bedanya dengan kampanye. Berarti Trump menggunakan Gedung Putih untuk kampanye. Berarti Trump secara tidak bermoral telah menyalahgunakan fasilitas negara.

Belum lagi di penutupan konvensi itu, Trump mengundang sampai 1.500 orang. Dengan mengabaikan protokol kesehatan. Kursinya ditata berhimpitan. Tidak wajib pula memakai masker.

Namun semua itu hanya negatif di kalangan terbatas. Trump bisa menutupi kenegatifan itu dengan persepsi-persepsi negatif untuk Biden.

Maka fakta tidak lagi penting. Yang terpenting adalah persepsi.

Dan selama empat hari konvensi Partai Republik itu Biden terus-menerus dipersepsikan dekat dengan demo, kerusuhan, penjarahan dan yang serba ketidaktertibkan.

Itu dilanjutkan lagi dengan kampanye lebih memojokkan Biden: apakah orang yang seperti itu bisa membangun ekonomi? Maka Trump  muncul sebagai lebih mampu membangun ekonomi.

Biden memang sempat menangkis dengan fakta. Bahwa ketidaktertiban itu justru terjadi di zaman pemerintahan Trump.

Namun, sekali lagi, fakta tidak penting. Yang muncul kuat adalah: kerusuhan itu dilakukan oleh orang yang anti-Trump. Tidak laku lagi logika bahwa yang anti-Trump belum tentu pro-Biden.

Yang jelas kubu Trump berhasil mengampanyekan kesan: mereka yang rusuh-rusuh itu adalah pendukung Biden.

Misi mulia demo itu untuk memperjuangkan kesetaraan ras menjadi tenggelam sangat dalam.

Biden menjadi dalam bahaya. Selama berbulan-bulan Biden unggul 9 persen dari Trump. Setelah konvensi ini keunggulan Biden tinggal 6 persen.

Di negara bagian yang mengambang seperti Michigan bahkan tinggal 4 persen. Di Minnesota bahkan sudah imbang.

Maka tokoh anti-Trump seperti sutradara Michael Moore memberi peringatan dini. Kejadian tahun 2016 bisa terulang.

Waktu itu Hillary Clinton selalu menang di survei. Bahkan betul-betul menang secara suara –menang 2,8 juta suara.

Namun Hillary kalah karena negara bagian mengambang seperti Michigan dan Minnesota dimenangkan Trump.

Moore termasuk yang sudah memperkirakan kekalahan Hillary waktu itu. Dan kini Moore kembali mengingatkan: jangan sampai Trump menang lagi.

Pendukung Biden memang dikenal lebih rajin mengisi survei daripada datang ke TPS.

Kini Biden agak mati angin. Apalagi kerusuhan masih terus terjadi. Kelompok Trump bisa terus memperkuat kesan bahwa Biden identik dengan kerusuhan.

Trump kelihatannya tidak perlu menciptakan kerusuhan perang dengan Tiongkok. Ia sudah mendapat isu besar berupa kerusuhan di dalam negerinya sendiri.(disway.id)


Redaktur & Reporter : Antoni

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler