Menjadi pelatih atlet Special Olympics Indonesia (SOIna) bukan pekerjaan gampang. Tidak hanya butuh kepandaian, pelatih harus memiliki stok kesabaran yang luar biasa. Itulah pengabdian yang ditunjukkan Elly Diana Mamesah dan Feri Andriana.
DHIMAS GINANJAR, Jakarta
ELLY Diana Mamesah, 30, tampak serius mendampingi puluhan anak down syndrome di lapangan sepak bola Velodrome Rawamangun Sabtu (16/2) pagi. Perempuan berjilbab itu dengan telaten membimbing anak-anak yang kesulitan mengikuti instruksinya.
Meski berkali-kali anak didiknya lepas kendali dan bermain sendiri, Elly tetap sabar menuntun mereka untuk kembali berlatih. Sesekali dia malah tertawa begitu melihat anak didiknya bertingkah lucu saat menirukan gerakan yang diajarkannya.
"Satu, dua, tiga, empat, lima‚" hitung Elly sampai sepuluh untuk sebuah gerakan. Begitu hitungan selesai, dia mengajak anak-anak itu bertepuk tangan untuk memberi semangat. Selama satu jam, mulai pukul 07.00 hingga 08.00, Elly dan beberapa volunter SOIna melatih anak-anak berkebutuhan khusus tersebut. Keringat mulai membasahi bajunya.
Elly mengatakan, syarat utama menjadi pelatih atlet SOIna adalah sabar, telaten, dan pantang menyerah. Dia harus punya banyak taktik untuk mengatasi sifat moody para atlet.
"Anak-anak bisa cepat berubah dari yang superaktif, lalu diam begitu saja atau beralih aktivitas. Maklum, mereka juga punya dunia sendiri," terang Elly. Apalagi kalau rasa malas anak-anak itu muncul, pelatih harus bisa membangkitkan semangat mereka lagi. Untuk itu, pelatih tidak boleh ikut bermalas-malasan atau kesal.
Selain memahami olahraga yang diajarkan, para pelatih atlet SOIna dituntut menguasai ilmu dasar psikologi. Dengan begitu, para pelatih bisa memahami kondisi psikis anak didik. Jika sisi psikologis itu bisa "dipegang", anak down syndrome bisa langsung lengket dengan pelatih. Ketika itulah anak-anak tersebut bisa dengan mudah diajak berlatih.
Tantangan muncul ketika untuk kali pertama anak-anak shock merespons situasi di lapangan yang ramai orang. Perilaku anak-anak itu bisa ekstrem. Biasanya diekspresikan dengan tangan terkepal kuat dan berusaha menghindari tatapan orang. Lalu, mereka lari ke ibu masing-masing yang menunggu dan bersembunyi.
Momen pertemuan pertama antara anak didik dan pelatih menjadi sangat penting untuk menanamkan kepercayaan. "Biasanya saya biarkan dulu anak-anak melihat aktivitas kami. Setelah terbiasa dengan keramaian, lama-lama mereka tergerak untuk ikut, meski hanya lari-lari sendiri. Kalau sudah seperti itu, baru didekati untuk diajak mengikuti latihan olahraga," urai lajang kelahiran Bekasi tersebut.
"Memang tidak semudah diucapkan," papar Elly, yang menjadi pelatih SOIna sejak 2009. Dia mengakui bahwa awalnya tampak begitu sulit. Namun, kesabaran dan kondisi yang dialami anak-anak kurang beruntung itulah yang membuat dirinya bertahan hingga sekarang.
Berkat ketekunan tersebut, Elly bersama Feri Andriana, 27, dipercaya sebagai pelatih kontingen Indonesia dalam ajang Olimpiade Spesial Musim Dingin Dunia 2013 di Pyeongchang, Korea Selatan, 26 Januari–5 Februari lalu. Empat atlet SOIna diturunkan dalam cabang snowshoeing atau berlari di atas salju. Mereka adalah Liliyanto, 20; Redi Permana Chandra, 19; Lestari Puji Astuti, 16; dan Novi Astuti, 18.
Tidak disangka, kontingen Merah Putih berhasil menaklukkan suhu minus 16 derajat Celsius dan merebut 1 medali emas, 3 perak, dan 1 perunggu. Emas dihasilkan Liliyanto untuk nomor 100 m divisi M13.
Dia juga menyumbangkan satu medali perak untuk nomor 200 m divisi M17. Dua perak lain diraih Novi dari nomor 200 m divisi F11 serta Lestari yang turun di nomor 400 m divisi F5 dan 200 m divisi F12. Sedangkan perunggu direbut kontingen Indonesia untuk nomor estafet 4 x 100 m.
Prestasi itu meneruskan tradisi Indonesia dalam meraih emas snowshoeing di event olahraga untuk atlet berkebutuhan khusus dari berbagai negara tersebut. Pada 2009, saat olimpiade diselenggarakan di Idaho, Amerika Serikat, Indonesia bahkan mampu membawa pulang 2 emas, 2 perak, dan 1 perunggu.
"Hebatnya, anak-anak cepat beradaptasi dengan hawa superdingin yang tidak biasa dirasakan di negaranya," kata Elly.
Raihan tersebut makin meyakinkan perempuan yang berulang tahun tiap 8 Mei itu bahwa anak down syndrome juga bisa berprestasi tinggi asal ada pelatih yang mengarahkan. "Kuncinya rajin latihan dengan teratur," ujarnya.
Elly menegaskan, tujuan keikutsertaan anak-anak tersebut di olimpiade itu tidak sama dengan atlet profesional. Mereka tidak dibebani target medali seperti atlet normal.
Yang substansial, partisipasi itu bertujuan memperkenalkan anak-anak tersebut dengan dunia luar. Dengan begitu, mereka bisa bersosialisasi dan merasakan kebersamaan. Muaranya, mereka diharapkan tidak canggung lagi ketika berada di tengah masyarakat dan bisa mandiri.
Saat ditanya mengapa mau menjadi pelatih anak-anak berkebutuhan khusus, Elly mengaku bahwa pengabdian tersebut merupakan bentuk tanggung jawab sosial dirinya. Apalagi, jarang orang yang bersedia menjadi pelatih atlet dengan keterbatasan mental itu. "Lantaran sedikit, seorang pelatih di sini harus menangani 30-an anak," kata lulusan S-1 Kepelatihan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu.
Elly menerangkan, menjadi pelatih SOIna harus siap untuk tidak dibayar alias sebatas volunter. Karena itu, peraih gelar magister pendidikan olahraga dari UNJ tersebut selama ini terus berusaha menjaga hatinya agar tidak luntur dan kendur dengan statusnya yang "hanya" relawan. "Ada kepuasan tersendiri di hati ketika bisa memberikan arti sekecil apa pun kepada anak-anak spesial itu," tutur Elly.
Feri, yang ditunjuk sebagai ketua pelatih kontingen Indonesia, menambahkan, perbedaan melatih atlet normal dan atlet berkebutuhan khusus terletak pada reaksi yang ditimbulkan. Bila atlet normal bisa memberi apresiasi secara langsung terhadap kerja keras pelatih, atlet berkebutuhan khusus tidak.
"Meski kami capek dan kesal pun, mereka cuek saja. Bahkan, mereka juga tidak bisa secara spontan mengatakan terima kasih atas latihannya," ujar guru olahraga SMK Tirta Sari dan SMP Advent Jakarta itu.
Kendati begitu, Feri tetap tidak bisa meninggalkan anak-anak tersebut. Dia telanjur mencintai profesi tambahan sebagai pelatih di SOIna. Dia melatih para atlet berkebutuhan khusus sejak 2005.
Dia masih ingat ketika memantapkan diri menjadi pelatih SOIna pada 2005. Sebagai laki-laki, dia tidak bisa seluwes Elly dalam mendekati anak-anak itu. Tapi, dia berusaha keras tidak jaim (jaga image).
"Sering saat konsentrasi latihan, si anak tiba-tiba lari tunggang langgang sendiri. Atau kami dicuekin padahal sedang ngomong serius. Tapi, nggak apa. Percuma kalau marah," jelas pria kelahiran 10 Februari 1985 itu.
Feri berharap ada regenerasi pelatih di SOIna. Dengan begitu, bisa tetap ada pendamping untuk anak-anak tersebut. Untuk itu, dia bersama Elly terus berpromosi kepada adik-adik kelas di UNJ agar mau mengikuti jejak mereka.
"Kami yakin bahwa ada kelebihan di balik keterbatasan. Karena itu, orang tua jangan menyembunyikan anaknya yang berkebutuhan khusus. Bagaimana kita bisa tahu kelebihan itu kalau anak tersebut dikucilkan?" ujar Feri. (*/c11/ari)
DHIMAS GINANJAR, Jakarta
ELLY Diana Mamesah, 30, tampak serius mendampingi puluhan anak down syndrome di lapangan sepak bola Velodrome Rawamangun Sabtu (16/2) pagi. Perempuan berjilbab itu dengan telaten membimbing anak-anak yang kesulitan mengikuti instruksinya.
Meski berkali-kali anak didiknya lepas kendali dan bermain sendiri, Elly tetap sabar menuntun mereka untuk kembali berlatih. Sesekali dia malah tertawa begitu melihat anak didiknya bertingkah lucu saat menirukan gerakan yang diajarkannya.
"Satu, dua, tiga, empat, lima‚" hitung Elly sampai sepuluh untuk sebuah gerakan. Begitu hitungan selesai, dia mengajak anak-anak itu bertepuk tangan untuk memberi semangat. Selama satu jam, mulai pukul 07.00 hingga 08.00, Elly dan beberapa volunter SOIna melatih anak-anak berkebutuhan khusus tersebut. Keringat mulai membasahi bajunya.
Elly mengatakan, syarat utama menjadi pelatih atlet SOIna adalah sabar, telaten, dan pantang menyerah. Dia harus punya banyak taktik untuk mengatasi sifat moody para atlet.
"Anak-anak bisa cepat berubah dari yang superaktif, lalu diam begitu saja atau beralih aktivitas. Maklum, mereka juga punya dunia sendiri," terang Elly. Apalagi kalau rasa malas anak-anak itu muncul, pelatih harus bisa membangkitkan semangat mereka lagi. Untuk itu, pelatih tidak boleh ikut bermalas-malasan atau kesal.
Selain memahami olahraga yang diajarkan, para pelatih atlet SOIna dituntut menguasai ilmu dasar psikologi. Dengan begitu, para pelatih bisa memahami kondisi psikis anak didik. Jika sisi psikologis itu bisa "dipegang", anak down syndrome bisa langsung lengket dengan pelatih. Ketika itulah anak-anak tersebut bisa dengan mudah diajak berlatih.
Tantangan muncul ketika untuk kali pertama anak-anak shock merespons situasi di lapangan yang ramai orang. Perilaku anak-anak itu bisa ekstrem. Biasanya diekspresikan dengan tangan terkepal kuat dan berusaha menghindari tatapan orang. Lalu, mereka lari ke ibu masing-masing yang menunggu dan bersembunyi.
Momen pertemuan pertama antara anak didik dan pelatih menjadi sangat penting untuk menanamkan kepercayaan. "Biasanya saya biarkan dulu anak-anak melihat aktivitas kami. Setelah terbiasa dengan keramaian, lama-lama mereka tergerak untuk ikut, meski hanya lari-lari sendiri. Kalau sudah seperti itu, baru didekati untuk diajak mengikuti latihan olahraga," urai lajang kelahiran Bekasi tersebut.
"Memang tidak semudah diucapkan," papar Elly, yang menjadi pelatih SOIna sejak 2009. Dia mengakui bahwa awalnya tampak begitu sulit. Namun, kesabaran dan kondisi yang dialami anak-anak kurang beruntung itulah yang membuat dirinya bertahan hingga sekarang.
Berkat ketekunan tersebut, Elly bersama Feri Andriana, 27, dipercaya sebagai pelatih kontingen Indonesia dalam ajang Olimpiade Spesial Musim Dingin Dunia 2013 di Pyeongchang, Korea Selatan, 26 Januari–5 Februari lalu. Empat atlet SOIna diturunkan dalam cabang snowshoeing atau berlari di atas salju. Mereka adalah Liliyanto, 20; Redi Permana Chandra, 19; Lestari Puji Astuti, 16; dan Novi Astuti, 18.
Tidak disangka, kontingen Merah Putih berhasil menaklukkan suhu minus 16 derajat Celsius dan merebut 1 medali emas, 3 perak, dan 1 perunggu. Emas dihasilkan Liliyanto untuk nomor 100 m divisi M13.
Dia juga menyumbangkan satu medali perak untuk nomor 200 m divisi M17. Dua perak lain diraih Novi dari nomor 200 m divisi F11 serta Lestari yang turun di nomor 400 m divisi F5 dan 200 m divisi F12. Sedangkan perunggu direbut kontingen Indonesia untuk nomor estafet 4 x 100 m.
Prestasi itu meneruskan tradisi Indonesia dalam meraih emas snowshoeing di event olahraga untuk atlet berkebutuhan khusus dari berbagai negara tersebut. Pada 2009, saat olimpiade diselenggarakan di Idaho, Amerika Serikat, Indonesia bahkan mampu membawa pulang 2 emas, 2 perak, dan 1 perunggu.
"Hebatnya, anak-anak cepat beradaptasi dengan hawa superdingin yang tidak biasa dirasakan di negaranya," kata Elly.
Raihan tersebut makin meyakinkan perempuan yang berulang tahun tiap 8 Mei itu bahwa anak down syndrome juga bisa berprestasi tinggi asal ada pelatih yang mengarahkan. "Kuncinya rajin latihan dengan teratur," ujarnya.
Elly menegaskan, tujuan keikutsertaan anak-anak tersebut di olimpiade itu tidak sama dengan atlet profesional. Mereka tidak dibebani target medali seperti atlet normal.
Yang substansial, partisipasi itu bertujuan memperkenalkan anak-anak tersebut dengan dunia luar. Dengan begitu, mereka bisa bersosialisasi dan merasakan kebersamaan. Muaranya, mereka diharapkan tidak canggung lagi ketika berada di tengah masyarakat dan bisa mandiri.
Saat ditanya mengapa mau menjadi pelatih anak-anak berkebutuhan khusus, Elly mengaku bahwa pengabdian tersebut merupakan bentuk tanggung jawab sosial dirinya. Apalagi, jarang orang yang bersedia menjadi pelatih atlet dengan keterbatasan mental itu. "Lantaran sedikit, seorang pelatih di sini harus menangani 30-an anak," kata lulusan S-1 Kepelatihan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu.
Elly menerangkan, menjadi pelatih SOIna harus siap untuk tidak dibayar alias sebatas volunter. Karena itu, peraih gelar magister pendidikan olahraga dari UNJ tersebut selama ini terus berusaha menjaga hatinya agar tidak luntur dan kendur dengan statusnya yang "hanya" relawan. "Ada kepuasan tersendiri di hati ketika bisa memberikan arti sekecil apa pun kepada anak-anak spesial itu," tutur Elly.
Feri, yang ditunjuk sebagai ketua pelatih kontingen Indonesia, menambahkan, perbedaan melatih atlet normal dan atlet berkebutuhan khusus terletak pada reaksi yang ditimbulkan. Bila atlet normal bisa memberi apresiasi secara langsung terhadap kerja keras pelatih, atlet berkebutuhan khusus tidak.
"Meski kami capek dan kesal pun, mereka cuek saja. Bahkan, mereka juga tidak bisa secara spontan mengatakan terima kasih atas latihannya," ujar guru olahraga SMK Tirta Sari dan SMP Advent Jakarta itu.
Kendati begitu, Feri tetap tidak bisa meninggalkan anak-anak tersebut. Dia telanjur mencintai profesi tambahan sebagai pelatih di SOIna. Dia melatih para atlet berkebutuhan khusus sejak 2005.
Dia masih ingat ketika memantapkan diri menjadi pelatih SOIna pada 2005. Sebagai laki-laki, dia tidak bisa seluwes Elly dalam mendekati anak-anak itu. Tapi, dia berusaha keras tidak jaim (jaga image).
"Sering saat konsentrasi latihan, si anak tiba-tiba lari tunggang langgang sendiri. Atau kami dicuekin padahal sedang ngomong serius. Tapi, nggak apa. Percuma kalau marah," jelas pria kelahiran 10 Februari 1985 itu.
Feri berharap ada regenerasi pelatih di SOIna. Dengan begitu, bisa tetap ada pendamping untuk anak-anak tersebut. Untuk itu, dia bersama Elly terus berpromosi kepada adik-adik kelas di UNJ agar mau mengikuti jejak mereka.
"Kami yakin bahwa ada kelebihan di balik keterbatasan. Karena itu, orang tua jangan menyembunyikan anaknya yang berkebutuhan khusus. Bagaimana kita bisa tahu kelebihan itu kalau anak tersebut dikucilkan?" ujar Feri. (*/c11/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Ada Lagi Turis Timur Tengah yang Datang
Redaktur : Tim Redaksi