Perjuangan Johan S. Mansjur Menyosialisasikan Kedokteran Nuklir

26 Tahun Kampanye Nuklir Keliling Tanah Air

Senin, 23 Januari 2012 – 00:46 WIB
Prof DR dr Johan S. Mansjur di ruang kerjanya di RSHS, Bandung. Foto : Dinarsa Kurniawan/Jawa Pos

Nuklir tidak melulu bom. Energi luar biasa itu juga bisa diaplikasikan untuk dunia kedokteran. Misalnya, yang dikembangkan Bagian Kedokteran Nuklir RS Hasan Sadikin (RSHS), Bandung. Salah seorang perintisnya adalah Prof DR dr Johan S. Mansjur SpPD-KEMD SpKN.

M. DINARSA KURNIAWAN, Bandung

BAGIAN Kedokteran Nuklir RSHS berada di salah satu sudut rumah sakit yang berlokasi di kawasan Pasteur, Bandung, tersebut. Bangunannya terdiri atas dua lantai. Rabu lalu (18/1) suasana di sana cukup ramai. Beberapa orang antre di lobi untuk bisa mendapat pengobatan atau berkonsultasi.

Para pasien itu tidak hanya berasal dari Bandung dan sekitarnya. Ada juga yang berasal dari luar Jawa. "Ya, kalau di daerah setempat tidak bisa ditangani, larinya ke sini," ungkap Prof DR dr Johan S. Mansjur SpPD-KEMD SpKN, konsultan di Bagian Kedokteran Nuklir RSHS, kepada Jawa Pos.

Johan mengatakan, RSHS merupakan pusat rujukan nasional pelayanan kedokteran nuklir dan satu-satunya pusat pendidikan spesialis kedokteran nuklir di Indonesia. Boleh dibilang fasilitas itu adalah satu-satu yang masih survive dan konsisten memberikan pelayanan di bidang kedokteran nuklir.

Sesuai dengan namanya, bagian itu memanfaatkan nuklir untuk menyembuhkan penyakit. Cabang ilmu kedokteran tersebut menggunakan sumber berupa radiasi terbuka yang berasal dari disintegrasi inti radionuklida buatan untuk mempelajari perubahan fisiologi, anatomi, dan biokimia sehingga dapat dimanfaatkan untuk tujuan diagnostik, terapi, dan penelitian kedokteran.

Kebanyakan kasus yang ditangani dengan menggunakan kedokteran nuklir di Indonesia adalah kanker tiroid (kelenjar gondok) dan hipertiroidi. Begitu pula diagnosis kanker. Di Indonesia, kedokteran nuklir mulai diperkenalkan pada era 1960-an, seiring dengan beroperasinya reaktor nuklir di Bandung. Mereka mulai memberikan pelayanan pada 1970.

Setelah itu, kedokteran nuklir berkembang sampai daerah-daerah lain di tanah air. Antara lain; di RSUD dr Soetomo, Surabaya; RS dr Karyadi, Semarang; RS dr Sardjito, Jogjakarta; dan RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta.

Seiring dengan perkembangan zaman, hanya kedokteran nuklir di Bandung dan Jakarta yang masih bertahan sampai sekarang. Memang fasilitas kedokteran nuklir di tempat lain tidak mati sepenuhnya. Tetapi, perkembangannya stagnan. Menurut Johan, hal tersebut terjadi karena banyak masalah yang melingkupi kedokteran nuklir.

Salah satu masalah yang menghambat kemajuan kedokteran nuklir di Indonesia adalah besarnya fobia masyarakat terhadap nuklir. Itu terjadi karena berbagai musibah yang mereka lihat terkait dengan nuklir. "Jangan anggap nuklir itu seperti bom nuklir. Kadar yang digunakan untuk pengobatan kalau dibandingkan dengan bom hanya sebutir pasir," ungkap Johan. 

"Selama 26 tahun saya berkeliling Indonesia untuk mengampanyekan keamanan kedokteran nuklir, tapi sampai sekarang tak ada hasil signifikan. Sampai saya capek sendiri," sambung dia, lantas tersenyum.

Johan memberikan ilustrasi. Kalau ada pasien yang diminta periksa ke bagian radiologi, yang bersangkutan tidak banyak bertanya dan langsung melakukannya.

Lain lagi dengan pasien yang diminta memeriksakan diri ke bagian kedokteran nuklir. Ada saja alasannya. Yang paling ditakutkan adalah persoalan keamanan dan radiasi. Padahal, radiasi nuklir relatif lebih rendah daripada yang berasal dari radiologi.

Johan memaparkan, di bagian nuklir, para dokter memeriksa tanpa perlu menggunakan pakaian aneh-aneh. Sedangkan di bagian radiologi, dokter yang memeriksa harus menggunakan apron yang dilapisi timah hitam sebagai pelindung diri dari sinar radiasi.

Masalah lain yang dihadapi adalah keterbatasan alat. Sebab, kedokteran nuklir sangat bergantung pada alat. Di antara 15 pusat kedokteran nuklir di Indonesia, hanya beberapa yang memiliki kelengkapan alat. Sebut saja alat PET-CT (positron emission tomography-computed tomography) yang merupakan indikator kemajuan kedokteran nuklir. Di Indonesia cuma dua rumah sakit yang memiliki alat tersebut, itu pun hanya di Jakarta.

Di RSHS sendiri tersedia sejumlah alat, seperti kamera gama dan kamera positron yang rata-rata lansiran 2005. Harganya mahal. Johan mencontohkan, kamera gama yang standar dibanderol Rp 5 miliar sampai Rp 7 miliar. Alat-alat itu tidak bisa digunakan selamanya. Maksimal sepuluh tahun.

Johan bersyukur karena selama ini mendapat dukungan dari manajemen rumah sakit. Tahun ini RSHS berencana mengoperasikan instalasi kedokteran nuklir yang lebih canggih, yang disebut PET Center. Proyek itu menelan dana sekitar Rp 130 miliar.

Sayang, tidak semua rumah sakit berani menempuh langkah serupa. Salah satu yang dijadikan contoh Johan adalah RSUD dr Soetomo, Surabaya. "Dulu, Bandung dan Surabaya relatif sama dalam peralatan. Sayang, SDM (sumber daya manusia) di sana seperti enggan menggenjot kedokteran nuklir agar lebih maju," ucap dia.

Peralatan itulah yang menjadi muara mandeknya pengembangan kedokteran nuklir di Indonesia. Karena mahalnya peralatan, pemerintah malas memberikan perhatian sehingga rumah sakit lain menjadi tidak maju. Berdasar data kemajuan teknologi kedokteran nuklir, Indonesia kalah oleh Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Sebagai deskripsi, Johan menyebutkan bahwa di Jepang ada 3 ribu kamera gama. Indonesia" Hanya sepuluh! Peralatan itu pula yang menjadikan rendah minat kalangan kedokteran untuk mengambil kedokteran nuklir. Di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, misalnya, hanya 19 dokter yang berminat mengambil spesialisasi nuklir.

"Jujur saja, hasilnya memang masih kalah oleh dokter spesialis lain. Sebab, kami tidak bisa buka praktik sembarangan. Di rumah sakit saja, tidak semua rumah sakit bisa, apalagi buka praktik di rumah," beber Johan.

"Jadi, kami yang bergerak di bidang itu harus punya kesadaran sosial. Sebab, mayoritas di antara kami menggantungkan diri pada gaji dan insentif dari pemerintah," tambah dia.

Karena itu, Johan mengharapkan pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap kedokteran nuklir agar mampu maju dengan pesat. Sebab, Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan bahan tersebut. Sayang kalau bahan itu tidak dimanfaatkan.

Dia juga mendorong pemerintah meninggalkan fobia tersebut dan memanfaatkan nuklir untuk tujuan damai. Contohnya, membuka pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). (*/c11/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sisi Lain Nurul Izzah, Putri Tokoh Oposisi Malaysia Anwar Ibrahim


Redaktur : Antoni

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler