JAKARTA - Perkara dugaan korupsi bioremediasi di PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang kini bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta, dinilai sarat dengan kriminalisasi. Sebab, banyak kejanggalan dalam kasus yang penyidikannya ditangani Kejaksaan Agung itu.
Hal itu terungkap dalam diskusi publik bertema "Kriminalisasi Perkara Bioremediasi Chevron" di Jakarta, Kamis (18/4). Corporate Communication Manager PT CPI, Doni Indriawan, mengungkapkan, ada banyak alasan sehingga kasus itu tidak semestinya bergulir menjadi perkara pidana dan berlanjut hingga pengadilan. Doni menegaskan, proyek bioremediasi bukanlah proyek fiktif.
"Banyak mahasiswa yang berhasil menyusun skripsi ataupun thesis dari bioremediasi di PT CPI di Riau. Apa lantas mereka berangkat dari data yang fiktif? Kan tidak mungkin," ucapnya.
Selain itu, tudingan bioremediasi sebagai proyek fiktif juga sangat tidak masuk akal. Pasalnya, setiap hari karyawan PT CPI di Riau bisa melihat realisasi proyek itu.
"Apa iya kontraktor bioremediasi berkonspirasi dengan 7000 karyawan CPI dan penduduk setempat yang setiap hari melihat pengerjaan proyek itu? Pengerjaan proyek itu setiap hari bisa dilihat," tegasnya.
Ditambahkannya pula, tidak ada perhitungan kerugian negara dalam proyek bioremediasi yang didanai dengan cost recovery itu. Diakuinya, Edison Effendi yang dijadikan saksi ahli oleh Kejaksaan Agung dalam mengusut dugaan korupsi kasus bioremediasi, justru pernah dua kali ikut tender proyek itu di PT CPI. "Tapi kita anggap tak layak," sambungnya.
Perkara bioremediasi ini sudah menyeret tiga karyawan Chevron sebagai terdakwa. Sedang dua terdakwa lainnya dari rekanan Chevron, yakni Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) Ricksy Prematuri dan Direktur Utama PT Sumagita Jaya, Herland bin Ompo.
Diskusi itu juga menampilkan pengakuan Ricsky melalui rekaman video. Sebab, Ricksy yang saat ini menjadi terdakwa sudah ditahan sejak masih menyandang status tersangka.
Dalam rekaman video itu, Ricksy mengaku heran dengan kasus yang menjeratnya. Sebab, dalam kontrak tidak disebutkan adanya pembayaran uang negara. "Tapi dari Chevron. Jadi kenapa saya dituduh korupsi merugikan negara? Saya memiliki kontrak yang jelas dengan Chevron, swasta dengan swasta," keluhnya.
Menurutnya, kasus yang menjeratnya itu tak akan muncul andai kompetitor PT Green Planet yang kalah dalam tender bioremediasi tidak sakit hati. "Yang paling menyedihkan kompetitor ini (Edison Effendi, red) jadi ahli yang dihadirkan di persidangan. Banyak sekali keterangan ahli yang tidak sejalan dengan Keputusan Menterian Lingkungan Hidup (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 128 Tahun 2003) tentang bioremediasi," keluhnya.
Istri Ricksy, Ratna Indriastuti, juga hadir dalam diskusi itu untuk membacakan pesan suaminya. Namun perempuan berjilbab itu tak kuasa menahan tangis.
Ratna dengan terbata-bata memberikan pembelaan untuk suaminya. "Suami saya adalah orang yang sangat hati-hati. Makanya lebih memilih menjalin kerjasama dengan swasta agar tidak terjerat korupsi," ucapnya.
Sedangkan Sumiati, istri terdakwa Hirland bin Ompo, menyebut kasus yang menjerat suaminya telah membuat anak-anaknya ketakutan. "Sampai anak-anak kami yang masih kecil selalu menunduk di dalam mobil setiap melihat polisi di jalan," ucapnya sembari sesenggukan karena menahan haru.
Hadir dalam diskusi itu antara lain bekas Dirut Merpati, Hotasi Nababan, yang sempat diseret Kejaksaan Agung ke Pengadilan Tipikor namun dibebaskan karena dianggap tak terbukti korupsi. "Setiap kriminalisasi harus kita lawan," ucapnya.
Kasus bioremediasi ini muncul karena Kejaksaan Agung menganggapnya sebagai proyek fiktif. Kejaksaan menilai negara telah dirugikan hingga USD 6 juta lebih akibat proyek itu.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mendikbud Izinkan Siswa Mengisi Jawaban di Lembar Soal
Redaktur : Tim Redaksi