jpnn.com, JAKARTA - Implementasi Demokrasi Indonesia saat ini dinilai sedang mati rasa. Hal itu karena penilaian terhadap suatu kebijakan atau tokoh hanya berasarkan suka atau politik buta cinta (bucin) dan receh.
Hal itu disampaikan pengajar dari Institut Pertanian Bogor Meilanie Buitenzorgy dalam diskusi bertajuk Problematika dan Kontekstualisasi Demokrasi Indonesia Terkini yang digelar pengurus Sylva Indonesia cabang IPB.
BACA JUGA: Dari Debat Pilpres Perdana, Terlihat Ganjar Memiliki Program yang Terukur dan Rasional
"Semuanya dimulai sejak 2014 hingga 2019, memunculkan polarisasi di tengah rakyat. Muncul istilah cebong sebagai simbol pendukung Pemerintahan Jokowi, lalu Kampret dan Kadrun untuk pendukung Prabowo," kata Meilanie melalui keterangan tertulis, Rabu (13/12).
Politik bucin terus terjadi setelah pesta demokrasi selesai bahkan berlanjut dalam kehidupan sehari-hari.
BACA JUGA: Tensi Prabowo di Debat Capres Disoroti, Irwan Fecho Merespons Begini
Akibatnya, masyarakat hanya menilai kebijakan pemerintah atas dasar suka atau tidak.
“Ujungnya obyektivitas rakyat menjadi tak jelas. Seandainya seorang pendukung pemerintahan merasa kebijakan pemerintah sebenarnya salah, tetapi dia tak berani mengkritisi karena takut dianggap kampret. Jadi inilah yang merusak demokrasi,” ujar Meilanie.
BACA JUGA: Blak-blakan soal Penegakan Hukum saat Debat, Anies Disebut Sangat Bernyali
Sedangkan politik receh terinspirasi dari pemenangan Bongbong Marcos dan Sara Duterte. Kedua paslon pilpres di Filipina itu menggunakan politik gimik dalam kampanyenya.
Namun, Sara dan Bongbong punya rekam jejak yang positif meskipun orang tua kedua tokoh itu punya catatan hitam.
Sarah bisa menyelesaikan dua periode pemerintahan sebagai kepala daerah sebelum maju ke pilpres. Sedangkan Bongbong tak pernah terlibat dalam dugaan pelanggaran HAM semasa Ferdinand Marcos.
Menurut Meilanie, marketing politik di Indonesia lebih hebat. Sebab, mampu mengemas kandidat yang punya catatan negatif dikemas menjadi positif melalui gimik.
“Ini berarti Indonesia lebih hebat dari sisi marketing politik, karena bisa memasarkan produk yang sebenarnya lebih jelek daripada itu dan sekarang memimpin elektabilitas berdasar hasil berbagai lembaga survei. Ini kekhawatiran kita, paslon terburuk justru leading,” ujarnya.
Menurut Meilanie, hal itu bisa dihindari. Jika, pemerintah membentuk pengadilan HAM terkait kasus masa lalu.
Sementara, aktivis Jaga Gerakan Pemilu Airlangga Pribadi menyinggung beberapa hal dalam Debat Pertama Pilpres 2024.
Pertama, soal politisasi pelanggaran HAM yang disinggung capres Ganjar Pranowo.
“Saya terkejut saat debat tadi malam, ada pertanyaan soal kasus penghilangan aktivis. Ini disebut kejahatan yang dianggap hal lumrah. Kelumrahan itu menjadi virus menyebar kemana-mana. Orang bicara banyak keluarga yang anak, bapak, saudaranya tidak kembali, malah dianggap politisasi,” urai Airlangga.
Dia juga mempersoalkan pembahasan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang disinggung capres Anies Baswedan. Menurut dia, persoalan itu tak bisa dianggap enteng.
“Ada seorang Gen Z naik menjadi cawapres dengan bantuan roamg dalam. Sementara kita tahu kawan-kawan Gen Z yang bertahun-tahun bekerja mengkritisi UU Ciptaker dan melawan pelemahan demokrasi, malah dicap taliban atau mengalami represi,” ungkap dia.
Dia lalu mengingatkan bahwa para pendiri bangsa, sudah menyepakati bahwa Indonesia untuk semua. Seorang presiden jangan sampai dengan mudah dan dengan segala cara menjadikan anaknya menjadi penerusnya.
“Karena yang kita bangun adalah republik, bukan kerajaan, bukan monarki, apalagi republik rasa kerajaan,” tegas Airlangga.(flo/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi