Gejolak Industri Tekstil

Permen LH Nomor 12/2012 Antara Investasi dan Konsistensi Pelestarian Sungai

Oleh: Herlina

Selasa, 13 April 2021 – 18:10 WIB
Mahasiswa Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro, Herlina. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mempunyai peran penting di dalam perekonomian Indonesia.

Di Tahun 2019 saja angka pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi mencapai 15,08 persen dari sebelumnya 14,03 persen pada tahun 2018. Menyumbang pemasukan bagi negara hingga 12,9 miliar dolar.

BACA JUGA: Bongkar Penyelundupan Tekstil, Bea Cukai Selamatkan Produk Dalam Negeri

Namun demikian, keberadaan industri tekstil selalu menyisakan problem lingkungan dari masa ke masa. Terutama terkait dengan pencemaran di sekitar daerah aliran sungai.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.16 tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup kemudian terbit sebagai garda terdepan untuk meminimalkan terjadinya pencemaran lingkungan akibat keberadaan sebuah industri.

BACA JUGA: Melt Spinning, Teknologi untuk Meningkatkan Fungsi Material Tekstil Khusus Medis

Setidaknya, berdirinya sebuah Industri harus melewati kajian AMDAL yang di dalamnya wajib memenuhi 10 kriteria kelayakan yang tertulis di dalam aturan tersebut.

Sudah tentu, adanya peraturan itu menjadi langkah awal untuk menekan munculnya industri-industri yang limbahnya tidak dikelola dengan baik sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Selain menyumbang devisa yang cukup tinggi bagi negara, keberadaan industri tekstil juga menyebabkan masalah lingkungan karena limbah cair yang dibuang ke aliran sungai menimbulkan kerusakan ekosistem, perubahan terhadap kualitas tanah, bau yang tidak sedap, dan mempengaruhi kualitas air.

Hingga kini pengolahan limbah tekstil masih tampak belum maksimal. Hal itu dikarenakan oleh faktor keterbatasan teknologi terutama untuk menekan volume limbah cair pewarna pakaian yang di dalamnya banyak mengandung zat kimia.

Hampir satu dekade, masih saja ditemukan masalah di beberapa daerah karena limbah industri tekstil yang mencemari aliran sungai. Masyarakat yang terdampak pun pada akhirnya banyak yang melakukan protes. Akibatnya, bisa dilihat bahwa penolakan-penolakan terhadap keberadaan industri tekstil kerap terjadi.

Namun demikian para pengusaha industri tekstil yang merasa sudah memberikan sumbangsih bagi negara, beberapa waktu lalu justru meminta kepada pemerintah untuk merevisi sejumlah regulasi yang terdapat pada Permen LH No. 16 Tahun 2012.

Ada beberapa poin yang dinilai tidak equal perlakuannya. Terutama antara industri tekstil dan industri yang bergerak di bidang lain seperti sawit dan pulp kertas. Suara para pengusaha terkait dengan revisi itu diwakili oleh pernyataan ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).

Bagi mereka, hal-hal yang bersinggungan dengan masalah aturan pengolahan limbah harus diubah karena dinilai dapat menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Hingga kini, industri TPT wajib menjaga Chemichal Oxygen Demand (COD) dan Biologycal Oxygen Demand (BOD) di level 115. Sedangkan kebijakan untuk industri pulp kertas masih diperbolehkan di level 300, bahkan 600 bagi pengolahan minyak sawit.

Mengingat besarnya jumlah tenaga kerja yang terserap, akan menyulitkan bagi industri tekstil lokal untuk berkembang apabila kebijakan itu terus diterapkan. Sulit bagi mereka untuk memenuhi kriteria tersebut.

Adapun bila terus diterapkan, maka akan muncul kelesuan ekonomi. Produk tekstil lokal bisa semakin lemah dalam bersaing dengan produk impor. Tentunya, apabila pabrik-pabrik tutup maka tingkat pengangguran pun juga akan semakin tinggi.

Di situ, tampak bahwa antara pelestarian lingkungan dengan upaya peningkatan ekonomi menjadi dua hal yang saling bertolak belakang.

Sebenarnya apabila problematika tersebut ingin diurai, terdapat solusi yang bisa digunakan agar kedua hal itu dapat berjalan beriringan. Misalnya penerapan Eco Printing untuk industri tekstil lokal bisa menjadi solusi.

Teknik cetak yang selama ini menggunakan zat kimia dapat diubah dengan pewarna alami. Eco Printing bisa terlebih dahulu dimulai dari produksi tekstil di tingkat UKM. Ketika UKM kemudian berkembang pesat dan bertambah banyak, maka besarnya permintaan terhadap produk tekstil juga dapat terpenuhi.

Selain itu, penggunaan pewarna sintetik pun bisa berkurang. Selanjutnya, solusi lain yang dapat dipakai yaitu membangun instalasi pengolah limbah komunal sebagai alternatif pengolahan limbah. Apabila dapat diterapakan, maka kualitas air disekitar industri tidak menurun.

Adapun juga pemerintah dan pelaku industri bisa bekerjasama dalam melakukan riset terkait sistem fitoremediasi. Jadi dengan adanya riset tersebut, muncul standar yang jelas dan dapat diketahui di mana letak aliran atau sumber air yang digunakan untuk budidaya tanaman pangan serta perikanan oleh masyarakat sekitar.

Sudah pasti, jika itu diketahui maka dampak dari ekses pencemaran logam berat dan Azo Dyes di sekitar wilayah industri dapat diminimalkan. Apabila langkah-langkah tersebut dapat dilakukan dengan serius, maka Permen LH No.16/2012 tidak perlu diubah dan harapan beriringannya pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan akan menjadi sebuah keniscayaan.(***)

Penulis adalah Mahasiswa Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro 


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler