jpnn.com, SEMARANG - Sejumlah ulama di Jawa Tengah menggelar halakah di gedung A lantai 2 kantor gubernur Jateng pada Rabu (3/6).
Kegiatan diskusi lewat halakah ini digelar untuk membahas tatanan beribadah di era normal baru.
BACA JUGA: Ganjar: Pak Polisi dan Tentara, Tolong Diatur Sekarang!
Halakah dipimpin oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah, KH Ahmad Darodji dengan anggota para ulama dan pengasuh pondok pesantren di Jawa Tengah.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen juga hadir dalam acara halakah tersebut.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Apa Kabar Perpres Gaji PPPK? Sanksi untuk yang Nekat Berangkat Haji
Dalam kesempatan itu, Ganjar yang membuka halakah memberikan gambaran tentang kondisi penyebaran covid-19 di Jawa Tengah.
Meski grafik yang mulai menurun, tetapi masih ada outbreaks di beberapa tempat.
BACA JUGA: Jateng Kapan New Normal? Ganjar: Sekarang Aja Ada Masyarakat yang Tak Mau Pakai Masker
"Para ulama Jateng berinisiatif untuk merumuskan bagaimana normal baru nanti berjalan. Bagaimana kebiasaan baru berjalan. Hari ini sudah banyak yang tanya kapan normal baru bisa dilaksanakan, saya jawab nunggu kurvanya turun. Tapi sekarang harus terus latihan dan disiapkan secara matang," kata Ganjar.
Ganjar berharap, halakah ulama itu nantinya memutuskan berbagai hal tentang panduan dan tata cara penerapan normal baru dari segi peribadatan.
Sebab, banyak persoalan yang harus dibahas apabila normal baru diterapkan.
Misalnya apakah mungkin, masjid menggelar salat Jumat pakai shift. Menurut Ganjar, ada wacana membagi shift saat salat Jumat agar jemaah tidak berjubel.
"Saya minta para ulama merumuskan ini, agar nantinya dapat menjadi formula yang baik sehingga Jateng benar-benar siap. Mudah-mudahan ada alternatif dan masukan dari para ulama yang akan kami jadikan acuan untuk menerapkan normal baru itu, agar semuanya lebih aplikatif dan aman," imbuhnya.
Meskipun Kementerian Agama sudah memperbolehkan masyarakat kembali beribadah di tempat ibadah dengan berbagai syarat,.
Namun, Ganjar tidak mau gegabah. Menurutnya, semua harus dipersiapkan dengan matang agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
"Nanti dulu, memperbolehkan bukan berarti membiarkan masyarakat seperti air bah, semua keluar tanpa persiapan. Makanya daya dukung, fasilitas dan kesadaran masyarakat harus dipersiapkan dulu," tegasnya.
Meski begitu, pihaknya terus mendorong masyarakat menggelar latihan penerapan normal baru. Apabila ada daerah yang sudah hijau, maka boleh melakukan uji coba menggelar ibadah dengan standar protokol yang ketat.
"Yang hijau saya izinkan untuk uji coba misalnya menggelar salat berjemaah, tapi yang merah atau yang kuning jangan dulu. Meski Menteri Agama sudah memperbolehkan, tapi tidak terus tumplek brek, kalau Kota Semarang yang sekarang masih naik terus kurvanya, ya jangan dulu. Bahaya nanti," pungkasnya.
Tak hanya soal persiapan mekanisme peribadatan, Ganjar juga meminta para ulama dalam halakah tersebut memikirkan persoalan pondok pesantren di daerahnya masing-masing.
Sebab apabila santri-santri sudah mulai kembali masuk pondok, ada banyak hal yang harus disiapkan untuk penerapan normal baru.
"Ada banyak fasilitas di pondok pesantren yang harus dibenahi agar semuanya tertib dan tidak ada kerumunan besar. Saya minta ini dibahas, mulai soal tata cara mengaji, soal kebersihan, ketersediaan air bersih dan lainnya," pungkasnya.
Sementara itu, Ketua MUI Jateng, KH Ahmad Darodji mengatakan, halakah digelar untuk membahas tentang tatanan peribadatan di era normal baru.
Halakah dinilai penting agar menjadi pedoman pemerintah sekaligus masyarakat dalam menerapkan normal baru.
"Umat sudah ingin Jumatan lagi, sudah ingin kembali berjamaah ke masjid. Santri sudah kangen pulang ke pondok. Tapi semua tidak boleh dilakukan asal-asalan, harus ada pedomannya. Halakah ini kami gelar untuk membahas soal tatanan peribadatan itu," ucapnya. (flo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia