jpnn.com - Kolumnis kondang Dahlan Iskan menyebut rencana reshuffle kabinet di ujung pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah terjadi sesuai skenario.
"SEMUANYA persis sesuai dengan skenario. Sampai ke tanggal-tanggalnya. Termasuk tanggal dilakukannya pergantian anggota kabinet periode kedua Presiden Jokowi kemarin," kata Dahlan dalam esainya, Selasa (20/8).
BACA JUGA: Bamsoet Ungkap Skenario Munas Golkar, Jokowi Jadi Kader?
Dalam esai berjudul Akselerasi Yasonna itu, Dahlan menulis babak pertama dari skenario itu: Airlangga mundur dari jabatan ketua umum Partai Golkar.
"Sudah dilakukan. Tepat waktu. Guyonnya, saat duduk di mana pun kini Airlangga enggan berdiri –khawatir kursinya diambil orang," lanjut Dahlan.
BACA JUGA: 12 Partai Resmi Mengusung Ridwan Kamil-Siswono di Pilgub Jakarta
Babak kedua: Rapim Partai Golkar. Juga sudah terjadi. itu pun sesuai dengan skenario –tanggalnya dan personalianya.
Jadwal berikutnya pergantian Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly. Harus sebelum tanggal 20 Agustus –harus sebelum Munaslub Golkar.
BACA JUGA: Hasto Sebarkan Potongan Pidato Jokowi, Qodari Merespons
"Sudah terjadi kemarin. Yasonna yang PDI Perjuangan diganti Supratman Andi Agtas dari partai Gerindra," ucap mantan menteri BUMN itu.
Menurut Dahlan, publik sudah tahu babak selanjutnya: siapa yang bakal jadi ketua umum Partai Golkar. Pastilah Bahlil Lahadalia yang mendapat jabatan baru sebagai menteri energi dan sumber daya mineral (ESDM).
"Meski dari profesional, Arifin Tasrif –yang diganti Bahlil– diidentifikasi sebagai orangnya ketua umum PDI-Perjuangan Megawati Soekarnoputri," tulisan Dahlan.
Dahlan menilai yang bukan analis politik pun tahu: hasil Munaslub Golkar harus dimintakan pengesahan pemerintah. SK pengesahan dari menkumham.
Prosedur itu harus cepat. Sudah harus ditandatangani sebelum 25 Agustus.
Maksudnya, agar ketua umum yang baru bisa menandatangani surat rekomendasi pencalonan para kepala daerah sebelum jadwal pendaftaran di KPU tanggal 27 Agustus.
"Semua sudah diatur rapi. Yang kira-kira jadi faktor penghambat harus disingkirkan lebih dulu. Tidak boleh ada ewuh pakewuh. Tidak boleh ada rasa sungkan. Tujuan harus tercapai. Yang tidak mau mendukung tidak boleh menghambat," tuturnya.
Dahlan mengatakan bahwa Yasonna belum terbukti menghambat skenario itu. Atau akan menghambat. Namun, bukti tidak penting.
"Di pengadilan pun bukti juga kalah oleh lembaran Benjamin Franklin, apalagi ini bukan proses peradilan. Ini proses politik," ucapnya dalam tulisan itu.
Menurut Dahlan, semua yang terjadi itu harus diterima apa adanya: presiden punya hak prerogatif. Pun di masa injury time. Periodisasi kepresidenan tidak mengenal istilah injury time.
"Apakah semua yang terjadi itu kejam? Tidak. Apakah semua yang terjadi itu bisa dibenarkan? Bisa. Apakah semua yang terjadi itu legal? Sangat legal. Apakah ada peristiwa politik yang lebih dahsyat dari yang sekarang ini? Ada," tulisan Dahlan.
Oleh karena itu, Dahlan menilai publik tidak perlu terus-menerus geleng-geleng kepala melihat yang terjadi dalam politik saat ini.
"Anda masih ingat jargon 'Akselerasi Pembangunan 25 tahun'? Itu adalah 'buku induk' untuk mengawali Orde Baru. Itu adalah tahapan pembangunan jangka panjang yang terencana. Agar negara bisa tinggal landas menuju kemajuan," sebutnya.
Dahlan mengatakan setelah "akselerasi" itu ada Trilogi Pembangunan: stabilitas, pertumbuhan, pemerataan. Keamanan harus stabil. Politik harus stabil. Pertentangan politik kanan-kiri harus dibasmi.
Partai-partai kanan disatukan dalam PPP. Partai-partai sekuler dilebur dalam PDI. Diciptakanlah partai tengah yang dominan yang tidak disebut partai: Golkar.
Penentangan luar biasa, tetapi yang menentang ditendang. Komando Jihad diciptakan sebagai jebakan untuk memberangus ekstremis dalam Islam.
Partai nasionalis, Partai Kristen, dan Katolik disatukan dengan konsensus: ketua umumnya harus Banteng, sekjennya harus dari partai Kristen.
"Kata 'konsensus' menjadi mantra saat itu –mirip mantra demokrasi saat ini," ujarnya.
Dahlan menulis bahwa mantra 'konsensus' dipuja sebagai tandingan atas konsep demokrasi –yang distigmakan secara negatif dengan istilah demokrasi liberal.
Semua keputusan diambil berdasar konsensus. Bukan dengan pemungutan suara. Hasil pemilu bisa diketahui dengan cepat –Golkar pasti menjadi pemenangnya.
Apa yang terjadi sekarang, kata Dahlan, sama sekali tidak sekejam yang terjadi pasca ditetapkannya ''Akselerasi Pembangunan 25 tahun''.
"Bagi yang merasa drama politik sekarang ini kejam, ketahuan: Anda tidak pernah menikmati lezatnya KKN di masa Orde Baru," kata Dahlan Iskan dalam esainya.(*disway/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam