JAKARTA - Himpunan Masyarakat Adat Pulau-pulau Rempang Galang (Himad Purelang), Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau akan berunjuk rasa ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Pertahanan, Badan Pertanahan Nasional dan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
"Aksi unjuk rasa akan kita mulai Senin (27/5) sampai Jumat (31/5) guna menyampaikan pesan kepada para petinggi di Jakarta bahwa ada sejumlah pulau perbatasan Indonesia dengan Malaysia dan Singapore di Kota Batam yang di bangun hotel oleh asing atas persetujuan Pemko Batam," kata Ketua Umum Himad Purelang, Blasius Yoseph di dampingi Sekretaris Umum Himad Purelang, Janner Sinaga, Sabtu (25/5).
Dikatakannya, sejak tahun 1968 Himad Purelang penggarap dirangkaian pulau-pulau Rempang Galang, lalu pada tahun 2008 memperjuangkan hak sesuai UU Pokok Agraria ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI. Kedatangan kami ke Jakarta memperjuangkan tanah garapan di atas seratusan pulau dirangkaian pulau Rempang-Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau yang kini dimanfaatkan asing, ujarnya.
"Tanah garapan kami berbentuk pulau-pulau berbatasan dengan Malaysia, Singapura dan Vietnam yang kami garap pada masa PT Mentrans membuka usaha kebun nanas yang dikalengan ke Jepang. Masyarakat kami dahulu menjadi buruh perusahaan itu," tegasnya.
Menurut Blasius, sekitar tahun 80an ratusan pulau-pulau tersebut dinyatakan status quo oleh Pemerintahan Soeharto. Itu penyebab rangkaian pulau-pulau Rempang Galang menjadi seperti pulau hantu, tidak bertuan namun berpenghuni.
Diterangkannya, sejak 2008 warga sudah mendaftarkan hak garapan ke BPN, maka mulai saat itu kami menduga pelanggaran hukum di atas tanah Negara tersebut. Sampai kapanpun kami masih tetap bersikukuh menunggu BPN melepaskan tanah Negara untuk masyarakat kami.
ââ¬â¹
"Di pulau-pulau itu banyak oknum aparat Negara membiarkan berdiri rumah-rumah mewah, hotel berbintang, perkebunan, peternakan, perikanan, resort, pelabuhan, dok kapal dan lego jangkar (parkir) kapal-kapal asing yang dilakukan liar. Masa ada ratusan bangunan komersial tidak ber IMB namun Walikota diam," tanya Blasius.
Blasius mengatakan, Pemkot Batam yang terakhir saat Walikota Ahmad Dahlan terbitkan SK: KPTS.120/HK/III/2013 tentang Penunjukan Pengelola Pantai Melur Kelurahan Sijantung, Kecamatan Galang, Kota Batam tanggal 1 Maret 2013 dimana sebelumnya dia pernah terbitkan SK: KPTS.180/DISPARBUD/KGT/IV/2008 tentang Pengangkatan Kelompok Pariwisata tanggal 28 April 2008.
"Dua SK itu berdalih membangun pariwisata di Kota Batam, padahal merampas sebagian dari tanah garapan kami yakni Pantai Melur," tegas pendiri dan guru SD Ignatius Loyola di Sungai Raya Kota Batam itu.
Dua SK tersebut adalah cara Walikota mencoba merampas tanah garapan yang kami buka jadi tempat wisata Pantai Melur. "Silahkan saja Dahlan memajukan wisata Kota Batam, kami setuju. Tapi jangan rampas tanah Negara yang sudah kami kelola sejak puluhan tahun lalu!," harap Blasius.
Sekarang, imbuh janner Sinaga, tanah disana diduga diperjual-belikan atau jadi area komersial menguntungan pribadi pejabat Kota Batam dan Provinsi Kepulauan Riau. (fas/jpnn)
"Aksi unjuk rasa akan kita mulai Senin (27/5) sampai Jumat (31/5) guna menyampaikan pesan kepada para petinggi di Jakarta bahwa ada sejumlah pulau perbatasan Indonesia dengan Malaysia dan Singapore di Kota Batam yang di bangun hotel oleh asing atas persetujuan Pemko Batam," kata Ketua Umum Himad Purelang, Blasius Yoseph di dampingi Sekretaris Umum Himad Purelang, Janner Sinaga, Sabtu (25/5).
Dikatakannya, sejak tahun 1968 Himad Purelang penggarap dirangkaian pulau-pulau Rempang Galang, lalu pada tahun 2008 memperjuangkan hak sesuai UU Pokok Agraria ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI. Kedatangan kami ke Jakarta memperjuangkan tanah garapan di atas seratusan pulau dirangkaian pulau Rempang-Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau yang kini dimanfaatkan asing, ujarnya.
"Tanah garapan kami berbentuk pulau-pulau berbatasan dengan Malaysia, Singapura dan Vietnam yang kami garap pada masa PT Mentrans membuka usaha kebun nanas yang dikalengan ke Jepang. Masyarakat kami dahulu menjadi buruh perusahaan itu," tegasnya.
Menurut Blasius, sekitar tahun 80an ratusan pulau-pulau tersebut dinyatakan status quo oleh Pemerintahan Soeharto. Itu penyebab rangkaian pulau-pulau Rempang Galang menjadi seperti pulau hantu, tidak bertuan namun berpenghuni.
Diterangkannya, sejak 2008 warga sudah mendaftarkan hak garapan ke BPN, maka mulai saat itu kami menduga pelanggaran hukum di atas tanah Negara tersebut. Sampai kapanpun kami masih tetap bersikukuh menunggu BPN melepaskan tanah Negara untuk masyarakat kami.
ââ¬â¹
"Di pulau-pulau itu banyak oknum aparat Negara membiarkan berdiri rumah-rumah mewah, hotel berbintang, perkebunan, peternakan, perikanan, resort, pelabuhan, dok kapal dan lego jangkar (parkir) kapal-kapal asing yang dilakukan liar. Masa ada ratusan bangunan komersial tidak ber IMB namun Walikota diam," tanya Blasius.
Blasius mengatakan, Pemkot Batam yang terakhir saat Walikota Ahmad Dahlan terbitkan SK: KPTS.120/HK/III/2013 tentang Penunjukan Pengelola Pantai Melur Kelurahan Sijantung, Kecamatan Galang, Kota Batam tanggal 1 Maret 2013 dimana sebelumnya dia pernah terbitkan SK: KPTS.180/DISPARBUD/KGT/IV/2008 tentang Pengangkatan Kelompok Pariwisata tanggal 28 April 2008.
"Dua SK itu berdalih membangun pariwisata di Kota Batam, padahal merampas sebagian dari tanah garapan kami yakni Pantai Melur," tegas pendiri dan guru SD Ignatius Loyola di Sungai Raya Kota Batam itu.
Dua SK tersebut adalah cara Walikota mencoba merampas tanah garapan yang kami buka jadi tempat wisata Pantai Melur. "Silahkan saja Dahlan memajukan wisata Kota Batam, kami setuju. Tapi jangan rampas tanah Negara yang sudah kami kelola sejak puluhan tahun lalu!," harap Blasius.
Sekarang, imbuh janner Sinaga, tanah disana diduga diperjual-belikan atau jadi area komersial menguntungan pribadi pejabat Kota Batam dan Provinsi Kepulauan Riau. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mendagri Segera Panggil Wali Kota Medan Nonaktif
Redaktur : Tim Redaksi