’’Rakyat Indonesia harus berterima kasih kepada pemohon uji materi UU No. 22/2001, karena dengan keputusan MK ini pengelolaan migas yang menyimpang dari konstitusi sudah kembali kepada relnya,’’ ucap Pengamat Perminyakan Kurtubi saat Dialog Kenegaraan bertajuk Pembubaran BP Migas untuk Kemakmuran Rakyat? di Gedung DPD RI, Jakarta, Rabu (21/11).
Kurtubi juga menilai, keputusan MK sangat tepat. Sebab, BP Migas yang diatur dalam UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat. ’’Pertentangan dengan konstitusi itu disebabkan tata kelola BP Migas tidak bisa digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Itu tidak sesuai UUD 1945 Pasal 33,’’ jelasnya.
Pembubaran BP Migas ini, sambungnya, membuka peluang untuk mengubah dan memperbaiki tata kelola itu. Pasalnya, keberadaan BP Migas mengakibatkan kedaulatan pengelolaan migas kita hilang dan merugikan negara yang tidak sedikit. ’’Di sejumlah negara seperti Malaysia, Venezuela, Filipina, Arab Saudi dan Brazil pengelolaan migas dikelola secara penuh oleh perusahaan minyak nasionalnya,’’ tutur Kurtubi.
Selain itu, dengan potensi kekayaan alam dan migas yang sangat besar dan dikelola sendiri oleh Pertamina, dia yakin kekayaan alam dan migas ini dapat dinikmati seluruh rakyat Indonesia. ’’Pengelolaan harus diserahkan ke Pertamina, saya sarankan ke pemerintah agar menyempurnakan Perpres yang ada atau membuat Perpres baru untuk mengembalikan pengelolaan migas ke Pertamina,’’ kata Kurtubi.
Dengan demikian, tegas Kurtubi, ke depan bangsa Indonesia mampu memenuhi sendiri kebutuhan migas tanpa bergantung pihak asing dan pendapatan dari sektor migas meningkat. Sedangkan pada pasal 33 UUD 1945 ini sudah jelas mengatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
’’Sementara dalam UU BP Migas, semua keinginan dari Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat terpenuhi. Terlebih lagi, BP Migas dinilai lebih memihak ke asing,’’ kata pengamat minyak itu.
Sementara itu, Wakil Ketua DPD RI Laode Ida menyatakan, putusan MK BP Migas seperti durian jatuh. Pasalnya, dominasi penguasaan asing yang selama ini dimanfaatkan salah dan bertentangan dengan UUD 1945 oleh BP Migas justru sekarang beralih ke partai politik (parpol) melalui Keputusan Presiden No. 95/2012 tentang pengalihan BP Migas ke Kementerian ESDM.
’’Perlu dicatat bahwa sektor migas diduga sebagai bagian dari sumber perahan terbesar dari pihak penguasa dan parpol yang berkuasa. Akibatnya, pelimpahan kewenangan dari BP Migas ke Kementerian ESDM, yang menterinya juga dari parpol penguasa, maka boleh jadi hanya akan mengalihkan lembaga pengelolaannya sementara,’’ papar Laode.
Padahal, tambah Laode, substansinya sama saja dengan waktu adanya BP Migas. Bahkan, akan kian mempermudah akses pihak yang mau memanfaatkannya sesuai kepentingan pribadi atau kelompok berkuasa. ’’Apalagi menjelang tahun politik 2014,’’ sindirnya.
Di kesempatan sama, Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana, mengatakan pembubaran BP Migas pada 13 November lalu oleh MK dinilai mengagetkan karena sifatnya mendadak. ’’Ada rasa kaget, sedih, kecewa karena tidak ada tenggang waktu. Sadis juga kan,’’ ujar dia.
Di satu pihak, mantan Kepala BP Migas M. Priyono menepis tuding bahwa BP Migas memihak perusahaan asing. Perusahaan migas asing sudah ada sejak zaman dulu, mulai zaman penjajahan, Soekarno, maupun Soeharto. ’’Itu kan ada semua, enggak pernah hilang itu. Bahkan zamannya Pertamina itu puncaknya kita tidak pernah mengundang asing. Jadi perusahaan asing yang sekarang ini warisan Pertamina semua, yang mengundang Pertamina,’’ imbuhnya. (fdi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Indeks Belum Lepas dari Tekanan
Redaktur : Tim Redaksi