jpnn.com, SURABAYA - Panggung Gedung Kesenian Cak Durasim diisi sebuah gong ageng, selondang, rebana, dan selo. Kombinasi alat musik tersebut memang terlihat tak biasa. Namun, alunan nada-nada yang dihasilkan menjadi komposisi indah di tangan kelompok musik Lawang. Kesenian berbasis Islam bernama hadrah merupakan format musik yang ditiru Lawang. ''Ini representasi kesenian hadrah. Bentuk kesenian dari Kota Pontianak dipilih sebagai ide dasar gagasan kami,'' ujar Rama, salah seorang penggawa Lawang.
Nyanyian mendayu-dayu yang menghasilkan bunyi lirih dan gesekan selo terdengar dalam komposisi berjudul Dua Pasang yang dimainkan Lawang. ''Dalam hadrah, sepasang itu terdiri atas tiga pemain. Kami berenam, jadi dua pasang,'' kata Rama. Penampilan kelompok musik asal Pontianak itu menjadi pembuka Temu Musik 6.1 Skena Nusantara di Surabaya pada Senin malam (24/9).
Acara yang digagas Pertemuan Musik tersebut merupakan perayaan ke-61 tahun hari jadi mereka. Acara itu diadakan di tiga kota dalam waktu yang berdekatan, yaitu Surabaya, Pekanbaru, dan Jakarta. ''Temu Musik ini pertemuan dan kolaborasi para kreator musik, musisi, komunitas, musikolog, dan pencinta musik ya,'' jelas Direktur Pertemuan Musik Gema Swaratyagita.
Bukan hanya musik yang mendayu-dayu, Temu Musik juga berhasil memberikan nuansa tak biasa bagi penontonnya. Misalnya, komposisi ciptaan Candra Bangun Setyawan yang dibawakan tim string quartet Unesa. Dua violin, viola, dan selo memberikan bunyi-bunyi yang berbeda dengan biasanya. Sesekali, alat musik gesek itu dipetik seakan tak beraturan. Di tengah-tengah penampilan, keempat penampil berhenti dan mengeluarkan ponsel mereka. Ponsel tersebut diletakkan di bawah stan mereka menghadap penonton. Dari setiap nada yang dihasilkan, empat ponsel itu memancarkan warna yang berbeda.
Candra, komponis asal Jombang, menyebut bahwa komposisi tersebut berjudul Gaman. ''Gaman ini sejenis pisau, tapi lebih besar untuk memotong bambu dan kayu,'' ungkapnya. Candra terinspirasi dari suara-suara yang dihasilkan pandai besi saat membuat gaman. ''Suara-suara itu memang mengganggu dan tidak mengenakkan, tapi berhasil menjadi komposisi ini,'' tutur Candra.
Setelah alat-alat musik gesek, panggung diisi gamelan. Empat gender dan kumpulan gong siap dimainkan kelompok musik dari Solo. Karya komponis Wahyu Thoyib itu berjudul Aruhara. ''Menggambarkan dunia yang penuh kerusuhan,'' ucap Wahyu.
Permainan gender yang mengalun pelan dan jeda-jeda nada tak terlalu rapat membuai penonton. Tiba-tiba, empat gender dimainkan serentak dengan makin cepat. Nada-nada berkejaran dengan lengkingan suara selompret Ponorogo. Beberapa saat kemudian nada-nada yang dihasilkan mulai melambat.
Selain penampilan dari beberapa kelompok dan komponis daerah, Temu Musik diawali lokakarya bersama Ubiet Raseuki. Ubiet menyatakan bahwa banyaknya nyanyian di Nusantara ini masih dipandang terbatas. ''Ketika ditanya, mereka menjawab musik Nusantara itu ya lagu Yamko Rambe Yamko atau Anak Kambing Saya,'' ujarnya. Namun, kata Ubiet, persepsi itu terasa kurang tepat. ''Ada tiga hal yang perlu digali, yakni warna suara, ornamen atau nada-nada hias, dan improvisasi setiap bagian,'' tandas musisi kelahiran Aceh tersebut. (dya/c14/tia)
BACA JUGA: Menikmati Musik Pengiring Film Bisu
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ismaya Live Rilis Aftermovie We The Fest 2016
Redaktur : Tim Redaksi