Perumahan Ancam Ketahanan Pangan

Senin, 04 Maret 2013 – 08:54 WIB
KANDANGHAUR – Bak cendawan di musim penghujan, kawasan perumahan baru di wilayah pantura semakin marak. Kondisi tersebut menguntungkan masyarakat yang membutuhkan tempat tinggal. Tapi di sisi lain, justru dapat mengancam ketahanan pangan. Pasalnya, sejumlah pembangunan perumahan baru itu, telah menggerus lahan pertanian padi yang produktif dan cukup subur. Instansi terkait justru melakukan pembiaran terhadap masalah ini, dengan memberikan izin alih fungsi lahan produktif.

“Jika ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan lahan pertanian kita akan semakin habis. Jangka panjangnya, pasti mengganggu ketahanan pangan,” kata ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kecamatan Kandanghaur, Waryono, kepada Radar (Grup JPNN), Minggu (3/3).

Tanpa pengendalian yang ketat, lanjut dia, Kabupaten Indramayu yang saat ini dikenal sebagai daerah lumbung padi, bakal bernasib sama seperti Kabupaten Karawang.

Di mana, stok beras di Karawang terus mengalami penyusutan akibat tumbuh dan berkembangnya kawasan perumahan dan industri baru yang memakan lahan pertanian. Karenanya, Waryono sangat menyayangkan dan keberatan jika lahan pertanian yang cukup subur itu terus-terusan dialih fungsikan menjadi perumahan.

“Seharusnya, pengembang bisa memilih lahan yang kurang produktif untuk dijadikan perumahan. Bukannya menggusur lahan pertanian yang semakin sempit. Ini harus menjadi perhatian serius dari pemerintah,” tegasnya.

Sebelumnya, Ketua Umum KTNA Pusat Ir H Winarno Tohir juga mengaku, gerah dengan maraknya alih fungsi lahan sawah yang menjadi areal perumahan maupun industri. Karenanya, ia pun mendukung langkah Kementerian Pertanian RI untuk melakukan moratorium alih fungsi lahan guna mempertahankan produksi dan persediaan pangan ke depan.

“Kita dukung upaya itu. Apapun peruntukkannya, alih fungsi lahan khususnya sawah harus dihentikan,” katanya.

Kehadiran moratorium ini dianggap penting untuk mengerem laju kehilangan sawah produktif di Indonesia yang semakin mengkhawatirkan. Saat ini saja, laju kehilangan sawah di Indonesia mencapai 110.000 hektare (ha) per tahun. Di sisi lain, kemampuan mencetak lahan baru hanya 45.000 ha per tahun.
Pria kelahiran Indramayu, 5 Januari 1957 ini, juga mengaku, geram melihat lahan pertanian produktif berubah menjadi kawasan pemukiman baru. Hal itu, dapat mengancam produksi pangan. Lebih-lebih saat ini pemerintah sendiri sulit mewujudkan atau mencetak lahan sawah baru di sejumlah daerah.

“Mencetak sawah baru itu lebih mahal dan butuh waktu banyak. Lebih baik, pertahankan yang sudah ada dan produktifitasnya ditingkatkan,” sarannya.

Ia menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, pemerintah dituntut untuk terus meningkatkan produksi pangan hingga terjadi surplus pangan. Namun kondisi lahan persawahan saat ini sudah sangat terbatas. Hal ini terjadi karena banyak lahan potensial untuk persawahan beralih fungsi.

“Di samping memang tidak ada kesiapan daerah untuk mengimplementasikan UU 41 itu. Sulit dilakukan karena pemerintah daerah sendiri tidak melaksanakan pembangunan sesuai tata ruang yang ada,” tandas Winarno. (kho)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Harga Daging Kian Tinggi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler