Suasana perdesaan yang tenang dan bersahaja selalu memikat jiwa. Demikian juga perdesaan di Australia. Itu yang dirasakan Dadang Christanto, perupa asal Indonesia, ketika melewati Grevillia, desa kecil di New South Wales (NSW).
Tahun 2012 setelah perceraian, Dadang menyerahkan rumah untuk istri dan anaknya. Ia hidup nomaden di van Volkswagen miliknya.
BACA JUGA: Budidaya Jangkrik Untuk Makanan di Australia Barat
Ia blusukan ke daerah-daerah terpencil. Sering ia parkir untuk tidur di kawasan taman nasional.
Setahun berkelana, ia melewati Grevillia yang berjarak 125 kilometer dari Byron Bay, kota tujuan wisata yang terkenal karena festival musik.
BACA JUGA: Sandra Dewi Akan Jalani Babymoon ke Australia
Di sana ia melihat iklan sebuah gereja yang dijual. Ia tertarik untuk membeli, menjadikannya tempat tinggal sekaligus studio kerja.
Ia pun mencari informasi ke warga. Ia mampir di galeri milik Colene Papworth dan Fred Klutke. Ini bukan galeri yang dikelola serius.
BACA JUGA: IKAPI Akui Ada Penerbit Nakal Kongkalikong dengan Sekolah
Pasangan ini senang seni dan membuka tempatnya agar orang bisa mampir untuk minum kopi atau teh dan mengobrol.
Fred menyarankan Dadang untuk tinggal dulu di Grevillia bila tertarik membeli gereja.
"Fred tanya, 'Kamu bisa masak?' Saya bilang bisa. Saya jadi tukang masak mereka. Fred bikin studio di atas galeri jadi kamar saya."
Orang di perdesaan Australia seperti Colene dan Fred umumnya punya rasa kebersamaan yang tinggi. Ternyata gereja itu urung dijual.
Fred meminta Dadang untuk menunggu. Ia yakin sekolah di sana akan dijual.
Dulu murid di sekolah itu kebanyakan anak pekerja kilang penggergajian kayu Munro & Lever Sawmill yang sudah tutup dan asetnya dibeli Colene.
Setelah kilang ditutup para pekerja meninggalkan Greviliia. Sekolah pun kehabisan murid hingga ditutup tahun 2010.
Setahun Dadang tinggal di Grevillia, sekolah itu pun diiklankan. Dadang menawar sedikit di atas permintaan, $ 252 ribu (sekitar Rp 2,3 miliar).
Properti seluas 3 acre atau sekitar 1,2 hektar itu pun jatuh ke tangan Dadang. Harga itu murah, bila dibandingkan harga median rumah di Sydney $1 juta.
Dadang pun merenovasi sekolah itu dengan bantuan beberapa temannya.
Di Australia terutama perdesaan banyak orang menguasai pertukangan karena mereka harus melakukan banyak pekerjaan sendiri.
Ada tiga ruangan kelas di lantai atas yang dijadikan galeri. Di ujungnya ada ruangan bekas kantor guru yang dijadikan kamar tidur. Di bawah ruangan itu menjadi dapur.
Dadang memasang panel surya untuk kebutuhan listrik, termasuk untuk kompor. Di sebelah dapur ada bengkel yang dipakai Dadang untuk mengerjakan karyanya.
Fasilitas di bekas sekolah itu cukup lengkap. Lantai berkarpet, penghangat ruangan masih bekerja. Pemerintah pernah menghabiskan 250.000 dollar AS agar sekolah itu mendapat sambungan internet serat optik super cepat.
Sambungan itu diputus ketika sekolah ditutup. Dadang sudah beberapa kali mencoba agar internet itu disambung lagi, tapi pemerintah lokal maupun perusahaan telekomunikasi menolak.
Seni dan tragedi
Dadang mempersiapkan tempat itu selama empat tahun, terpotong beberapa kali ke Indonesia untuk berkarya dan beberapa kali berpameran di Australia.
Bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-60 pada 12 Mei lalu, Dadang meresmikan studionya.
Dari Melbourne saya ke Grevillia. Selama tiga malam saya menginap di ruang galeri, dengan kasur dan kantung tidur.
Saya tidur di bawah pajangan lukisan Dadang, yang kebanyakan menghadirkan impresi tentang tragedi tahun 1965, ketika ratusan ribu bahkan Jenderal Sarwo Edhie menyebut tiga juta orang tertuduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisan organisasi underbouw PKI dibantai secara massal. Banyak yang diambil dari keluarganya dan lenyap tak tentu rimbanya. Termasuk ayah Dadang.
“Saya masih berumur delapan tahun ketika ayah saya diambil di suatu malam. Ibu saya sering dapat kabar kalau ia ditahan di suatu tempat, tapi didatangi tak ketemu. Banyak kabar begitu, tapi tak pernah ketemu,” kata Dadang yang berasal dari Tegal, Jawa Tengah.
Ada jutaan orang seperti Dadang yang tumbuh dengan memori terbatas tentang orang tuanya yang dibunuh atau hilang setelah peristiwa 1965.
Sampai sekarang PKI masih menjadi stigma negatif yang terus dipelihara, dan negara belum memulihkan keadilan yang sepantasnya bagi korban 1965.
Dadang merawat ingatan tentang 1965 lewat karya seni. Ia pun menamakan studionya 1965 Artspace.
FireFox NVDA users - To access the following content, press 'M' to enter the iFrame.
Dadang mengatakan dengan karyanya yang dominan bertema 1965 ia tidak sedang berkampanye tentang politik Indonesia, tapi isu kemanusiaan.
"Kemanusiaan itu universal. Relevansi ada pada seni jika menyentuh kemanusiaan. Jika hanya politik saja itu akan meleset memahami. Bagi banyak orang Indonesia, terutama anak muda, tema 1965 saja sulit untuk dibuat relevan. Apalagi bagi orang Australia.
"Dengan seni melihat konflik politik bukan pada keberpihakan tapi pada akibatnya terhadap kemanusiaan," kata Dadang yang pindah ke Australia tahun 1999 karena mendapat tawaran mengajar di Darwin.
"Ketika saya mengajar di Darwin, anak-anak mahasiswa bingung kalau saya membicarakan politik Indonesia. Cuma mereka jadi bisa berpikir oh ada toh yang begitu di kehidupan.
"Susah kan kita membicarakan soal kelas, konflik sosial dengan anak yang hidupnya hanya senang-senang. Mungkin mereka tahu, tapi tidak terpikir untuk repot melihat itu. Buat mereka mungkin tidak relevan, tapi inilah dunia. Jadi konteksnya manusia hidup di bumi. Dalam konteks negara dan bangsa tidak relevan."
Dadang tak punya mimpi besar tentang galerinya. “Untuk menjadikan galeri ini terbuka secara luas untuk publik tidak mudah. Misalnya harus ada akses bagi orang disable. Lalu asuransi. Kalau mau jadi proyek yang serius harus konsentrasi, tulis proposal. Harus siap disibukkan masalah administrasi. Butuh perjuangan dan komitmen,” kata ia.
"Ini bukan proyek yang serius. Saya ingin menikmati sambil mengalir saja.”
Hidup di desa lebih ringan secara finansial, tapi menurut Dadang seperti mengisolasi diri dari dunia luar.
“Kalau finansial cukup saya maunya tiap minggu ke Sydney, supaya bisa sosialisasi. Kalau finansial cukup tidak masalah. Sosialisasi penting secara naluriah,” kata ia.
“Untungnya sekarang ada media sosial. Bagi saya Facebook benar jadi hiburan. Mendekatkan yang jauh. Meski juga bisa menjauhkan yang dekat, karena pilihan politik.”
Dadang menyataka ia bertahan di Australia bukan karena pasar seni lebih menyerap karya seni rupa.
“Di Australia lebih sulit. Kalau tidak dikenali tidak akan dibeli. Kecuali bagi kolektor yang baru mulai, tapi uang mereka tidak banyak. Kalau mereka bangkrut bisa dijual lagi. Misalnya lukisan Nyoman Masriadi pernah laku Rp 11 miliar, dipamerkan di Melbourne tidak terjual,” kata Dadang.
“Pasar di Indonesia jauh lebih hot. Memang sekarang sedang turun. Dulu pemborong lukisan datang ke rumah seniman bawa mobil boks, sampai seniman kelabakan lukisannya habis. Sekarang seniman yang rindu teleponnya tidak pernah bunyi lagi,” kata Dadang yang karyanya pernah terjual paling tinggi 45.000 dollar AS sebelum krisis keuangan global di tahun 2008.
Meski pasar seni rupa tidak besar, di Australia pemerintah berkomitmen mengeluarkan banyak uang untuk kesenian.
“Kesenian dapat tempat. Seniman bisa berkarya dengan dana bantuan (grant) pemerintah. Pemerintah paham posisi seni sebagai pembentuk kebudayaan. Di Indonesia seni dibiarkan hidup sendiri.”
Indonesia seperti tanah liat
Dadang rajin merefleksikan sosial politik Indonesia untuk karya seni, tapi belum terinspirasi untuk mengangkat tema Australia.
“Politik di Australia sudah selesai. Bisa saja saya garap tema politik, misalnya rasisme. Tapi rasanya belum tergerak untuk itu.”
“Soal lainnya saya tidak tahu persis memetakan politik Australia. Takutnya saya membicarakan Australia seperti Colombus membicarakan Amerika ke orang Indian.”
Dadang pernah sangat terinspirasi dengan seni lukis titik (dot painting) orang aborijin.
“Tapi itu lebih kepada inspirasi artistik daripada isi. Saya merasa dekat dengan batik karena latar belakang keluarga usaha batik. Jadi inspirasi artistik, secara tematik tidak.”
Bila membandingkan kondisi politik, menurut Dadang, Indonesia masih seperti tanah liat.
“Masih bisa dibentuk. Meski saya tidak punya kekuatan untuk membentuk, tapi masih bisa berpartisipasi. Politik Indonesia lebih seru.”
Meski begitu, Dadang tidak mau kembali untuk aktif di kancah kesenian Indonesia.
“Indonesia bukan masanya saya lagi. Sekarang eranya anak muda. Kalau saya masuk lagi akibatnya akan jelek buat saya sendiri. Secara pribadi, ambisi saya tidak besar lagi.”
Dadang masih ingin bertahan di Australia karena alasan personal yaitu kedua anaknya, Gunung dan Embun.
Sejak berpisah dengan istrinya Dadang jarang berhubungan dengan anaknya. Ia berharap seiring keduanya semakin dewasa hubungan mereka terpulihkan.
“Secara batin juga secara fisik aku masih merasa satu daratan dengan mereka, masih satu administrasi. Itu penting buatku. Kalau urusan domestik selesai, aku tinggalkan Australia. Lebih baik kembali ke Indonesia.”
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menikmati Pameran Tahunan Lego di Canberra