jpnn.com, KARANGANYAR - Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan) Suwandi terus mendorong daerah dan petani untuk memanfaatkan lahan agar ditanami tanaman obat-obatan (herbal) atau yang dikenal biofarmaka. Kali ini, Suwandi mengunjungi petani di Desa Blorong, Kecamatan Jumantono, Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah yang bertani tanaman empon-empon (herbal) seperti jahe, kunyit, temu lawak, lempuyang, lengkuas, bengle dan kencur, Rabu (12/12)
“Karanganyar salah satu sentra tanaman obat, petani sekarang sudah banyak menanam. Penanaman dilakukan secara tumpang sari dengan tanaman tahunan. Pasarnya jelas baik di dalam maupun luar negeri, seperti Bangladesh, Jepang, Belanda, juga Amerika Serikat,” demikian dikatakan Suwandi.
BACA JUGA: Neraca Perdagangan Pertanian Indonesia - Tiongkok Surplus
Suwandi mengungkapkan, selama ini bisnis biofarmaka lebih maju seiring berkembangkan industri herbal dan gaya hidup back to nature. Karenanya, sepanjang tahun 2018, kinerja ekspor komoditas biofarmaka cukup menggembirakan. Berdasarkan data BPS, ekspor jahe mencapai 2.000 ton, saffron 1.000 ton, turmeric 7.000 ton, kapulaga 6.000 ton dan tanaman biofarmaka lainnya 1.000 ton.
“Produk tanaman empon empon ini sebagai pemasok untuk industri herbal, rumah sakit herbal, salon kecantikan, bahan kosmetik, spa, dan untuk kebutuhan kesehatan lainnya,” ungkapnya.
BACA JUGA: Kementan Dorong Tanggamus Bangun Kemitraan Hortikultura
“Kuncinya di teknologi pengolahan, manajemen industri, pengemasan dan jejaring marketingnya. Sentra tanaman obat Sukabumi, Cianjur, Banjarnegara, Karanganyar, Ngawi, Ponorogo, Trenggalek, Pacitan dan lainnya," sambung dia.
Di tempat yang sama, Suyono, petani tanaman empon empon Desa Blorong, Kecamatan Jumantono, Kabupaten Karanganyar mengatakan, lahan di daerah tidak ada yang kosong karena ditanami tanaman empon empon. Dengan adanya program Kementan, siap meningkatkan produksi.
BACA JUGA: Kementan Optimistis Bisnis Biofarmaka Bakal Jadi Primadona
“Semua lahan di Karanganyar tidak ada yang kosong, ditanam secara tumpang sari dengan tanaman obat. Apalagi kunyit bisa ditanam di tanah kosong, di mana saja. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI,-red) pun datang ke sini untuk meneliti agar menghasilkan varietas yang lebih bagus,” ujarnya.
Suyono menyebutkan harga empon empon di petani cukup bagus. Yakni jahe gajah Rp 6.000 per kg, jahe emprit Rp 15.000 per kg, jage merah Rp 30.000 per kg, kunyit kunig Rp 3.000 per kg, kunyit putih Rp 2.500 per kg, temu lawak Rp 2.500 per kg, lempuyang Rp 700 per kg, lengkuas laos Rp 2.000 per kg, bengle Rp 700 per kg, kencur Rp 40.000 per kg.
“Harga kencur mahal karena permintaan tinggi, sementara produksi petani masih sedikit. Pasar komoditas obat-obatan ini sangat mudah bahkan diekspor. Sudah kerja sama dengan perusahan- perusahan besar dalam negeri,” sebutnya.
Sementara itu Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Karanganyar, Supramnaryo mengatakan perlu meningkatkan sinergi kemitraan antara petani dan pelaku usaha dan eksportir empon empon, pemerintah membina dan memfasilitasinya. Ini penting untuk meningkatkan gairah petani karena petani mendapatkan kepastian pasar dan harga yang menguntungkan.
“Karanganyar sentra empon empon (tanaman obat) dikembangkan di lahan pekarangan dan tumpangsari ke kebon. Produksi di Jumantono bisa mencapai 240 ton. Letak strategis karena di Karanganyar terdapat lembaga riset Kemenkes yakni B2P2TOOT (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional,-red),” kata dia.(jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Indonesia sebagai Produsen Kakao Dunia Bukan Cuma Mimpi
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh