jpnn.com, TARAKAN - Para petani kelapa sawit di Kalimantan Utara menjerit lantaran harga tandan buah segar (TBS) yang ajlok.
Bagaimana tidak, dalam kurun waktu lima bulan berjalan ini, harga TBS per kilogram (kg) penjualannya hanya sebesar Rp 500. Dan harga itu terbilang sangat rendah, jika dibandingkan pada bulan sebelumnya bisa mencapai harga Rp 1.600 per kg TBS.
BACA JUGA: Gara-gara Jengkol dan Petai, Optimisme Jokowi Diragukan
Mukhlis, salah seorang petani kebun sawit di Kabupaten Bulungan mengungkapkan, kondisi tersebut tentu membuatnya cukup sulit untuk terus menjalankan usaha yang menjadi mata pencarian utamanya tersebut. Pasalnya, dengan terus anjloknya harga TBS, maka ke depannya akan berpengaruh pada hasil panennya kelak.
“Kami tentu tak dapat terus mengembangkan penanaman tanaman sawit ini lagi. Apalagi, itu dalam jangka waktu yang cukup lama kondisi anjloknya harga ini,” ungkapnya saat diwawancara Radar Kaltara (Jawa Pos Group).
BACA JUGA: Pembina Petani Plasma Sawit Sebut Jokowi Ngawur
Akibat harga yang jeblok ini, diakui dirinyta tak dapat membeli pupuk dalam jumlah yang semestinya. Padahal, pupuk itu sangatlah penting dalam menjaga kualitas dari TBS sawit sendiri.
“Termasuk dalam menggaji tenaga kerja yang membantu dalam proses panen di kebun. Artinya, ini memang begitu banyak dampak yang dirasakan akibat anjloknya harga TBS,” ujarnya saat ditemui di sela-sela melihat tenaga kerjanya saat memindahkan TBS ke dalam bak mobil.
BACA JUGA: Kritikan PAN untuk Ajakan Jokowi agar Petani Tanam Jengkol
Disinggung terkait upaya penjualan TBS tak hanya dilakukan dalam daerah saja, Mukhlis mengaku upaya itu sejatinya ada, hanya karena memikirkan biaya transportasi yang begitu tinggi.
Oleh karenanya, dirinya pasrah sampai saat ini tetap menjual harga yang sangat murah itu kepada tengkulak. “Daripada TBS ini tidak terjual, kami pasrah saja dengan harga seperti itu,” ucapnya.
Dia berharap harga yang ada nantinya bisa kembali normal. Atau paling tidak jangan sampai di bawah Rp 1.000. Jika kondisi itu terus berlanjut sampai beberapa bulan ke depan, ia memprediksi ada banyak petani yang bakal gulung tikar.
“Saya rasa ini harga yang paling hancur selama ini. Itulah, mengapa wajar jika kami berharap harga bisa kembali normal nantinya,” harapnya.
Ditanya terkait apa penyebab harga anjlok sendiri berdasarkan yang para petani ketahui. Mukhlis mengaku sama sekali tidak mengetahuinya. Sebab, ia hanya mengikuti dari harga pasaran yang ada saat ini.
Namun, di sisi lain dirinya mengaku heran juga mengapa harga anjlok ini terjadi begitu lamanya. “Tidak tahu apa penyebabnya,” katanya mengakhiri.
Senada dikatakan Salim Danu, salah seorang petani kebun sawit lainnya, dirinya berharap kondisi anjloknya harga TBS ini segera membaik. Maka, sekiranya itu dapat diatasi segera oleh pemerintah dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait.
Misal, dengan melakukan koordinasi dengan pihak perusahaan. Sehingga nantinya harga TBS sawit bisa kembali normal seperti lima bulan kebekalang. “Saya kira permasalahan seperti ini sudah sepatutnya disikapi dengan baik oleh pemerintah,” ungkapnya.
BACA JUGA: Pembina Petani Plasma Sawit Sebut Jokowi Ngawur
Apalagi, lanjutnya, permasalahan ini bukan masalah baru lagi. Melainkan, sudah cukup lama terjadi. Maka, sudah sepatutnya ini dapat disikapi secara serius. “Pemerintah ini sebenarnya sudah paham tentang adanya masalah ini,” ujarnya.
Di sisi lain, diakuinya juga untuk penjualan memang selama ini sekalipun harga hancur dirinya tetap lakukan. Hal itu dikarenakan dirinya semakin rugi karena jika dibiarkan bisa membusuk.
“Kita jual saja daripada busuk kalau lama-lama disimpan. Ya, meski dari penjualan itu sebenarnya kurang sebanding dengan capaian kerja setiap dirinya berkebun sawit,”’ tuturnya.
Seperti diketahui sebelumnya, permasalahan anjloknya harga TBS ini sejatinya dialami oleh petani kelapa sawit di Kabupaten Malinau. Hanya saja, mereka untuk menyiasatinya hingga menjual hasil panennya ke Sebuku, Kabupaten Nunukan.
Hal ini pun dibenarkan oleh Kepala Dinas Pertanian Malinau Ir. Kristian Muned, MT saat diwawancara awak media di ruang kerjanya, belum lama ini. Disebutkan juga, harga TBS di Malinau saat itu bisa mencapai Rp 800 per kg.
Padahal, sebelumnya harga cukup bagus bisa berkisar Rp 1.300 per kg. Oleh karenanya, petani sementara ini lebih memilih ke luar daerah.
BACA JUGA: Gara-gara Jengkol dan Petai, Optimisme Jokowi Diragukan
“Kita ketahui bersama juga, produksi sawit sejauh ini belum maksimal. Jadi, petani kebun sawit ada kalanya banyak lepas ke Sebuku,” ungkap pria berkaca mata ini.
Sedangkan, membahas harga TBS di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) yang memang tidak stabil. Kepala Bidang (Kabid) Perkebunan, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Kaltara, Marten Juk sebelumnya menyampaikan, penetapan harga TBS ditetapkan tiap bulan bersama tim Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltara. Tim melakukan pertemuan penentuan harga TBS sesuai dengan data dan informasi dari perusahaan di Kaltara.
Penetapan harga TBS telah disesuaikan dengan aturan yang berlaku dan berdasarkan hitungan. Untuk menentukan harga TBS di tiap daerah memiliki rumus hitungan tersendiri berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Pertanian Nomor 14/Permintaan/OT 140/2/2013 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Kelapa Sawit Produksi Perkebunan.
“Sehingga, untuk penetapan harga TBS tiap bulan perlu dirapatkan. Rapat dilakukan minggu terakhir bulan berjalan. Sehingga, masuk di awal bulan harga TBS telah ditetapkan tim,” ujar Marten Juk.
Diungkapkan, dari lima kabupaten kota di Kaltara, Nunukan dan Bulungan merupakan daerah penghasil TBS terbanyak. Sedangkan, untuk sejumlah daerah tergolong minim.
Diketahui, Kabupaten Nunukan pada 2017 lalu memiliki luas perkebunan kelapa sawit sekira 77.880 hektare. “Nunukan dan Bulungan yang memilik perkebunan cukup luas di Kaltara,” bebernya.
Diketahui, luasan perkebunan terbagi dua jenis perkebunan kelapa sawit. Di antaranya, perkebunan Perusahaan Besar Swasta (PSB). Tak hanya itu, Nunukan juga memiliki tujuh pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 265 ton per jam.
Dengan begitu produksinya setiap tahun mengalami peningkatan sejak 2015 sebanyak 1.713.478 ton, kemudian 2016 menjadi 1.793.880 ton. (omg/eza)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Garap Pasar Mesir, Bukukan Potensi Transaksi Rp 1,48 Triliun
Redaktur & Reporter : Soetomo