BOGOR- Badan Narkotika Negara (BNN) dan Pemkab Bogor sedang mempersiapkan aksi pemusnahan massal tanaman khat alias ghat di Puncak, Cisarua. Setelah ditetapkan masuk dalam narkoba golongan I, tanaman yang mengandung zat cathinone ini tak boleh lagi tumbuh subur di Tanah Air. Namun, niatan BNN dalam memusnahkan ghat mendapatkan tentangan. Para petani Ghat di Puncak tegas meminta ganti rugi, jika tanaman beromzet jutaan rupiah per hari itu jadi dimusnahkan.
Salah seorang petani ghat di Kampung Tugu Pasir, Desa Cibeureum, Kecamatan Cisarua, Nanang alas Jek (42) mengungkapkan, selama ini dirinya menanam pohon ghat di atas tanah seluas 300 meter persegi. Dari situ dia mampu meraup keuntungan sebesar Rp3 juta per minggu. Sedangkan sejawatnya, Nanang Suranta Wijaya (47) mengaku mampu meraup keuntungan Rp1,2 juta per harinya, atau Rp35 juta per bulan. Itu karena tanaman ghat miliknya merupakan kualitas terbaik yang terkenal di wilayah Cisarua. Data sementara, ada sekitar sebelas petani ghat di Cisarua yang tersebar di tiga desa. Yakni Desa Tugu Utara, Tugu Selatan dan Cilember.
"Saya tidak tahu (mengandung narkoba, red). Terserah kalau mau dimusnahkan silakan saja, asalkan ada kebijakan (ganti rugi, red) dari pemerintah. Jika tidak bisa uang, cukup sayur-sayuran seperti wortel atau kol, sehingga pendapatan saya tidak hilang begitu saja," ungkap Nanang.
Ada yang menarik dari hasil pemantauan Radar Bogor (Grup JPNN) ke sejumlah kebun ghat di Desa Tugu Utara, Tugu Selatan dan Cilember. Salah satu kebun ghat seluas 200 meter persegi di sisi Jalan Pasir Tugu, RT 1/5, Kampung Alun-alun Impres, Desa Cibeureum, Kecamatan Cisarua, sudah gundul dipanen. Kesaksian warga menyatakan, sebelum kedatangan BNN, polisi serta instansi kecamatan, para pengunjung turis Timur Tengah datang memborong ghat.
“Kemarin (Senin, 4/2) tiga turis Arab datang dan membeli empat bungkus ghat,” ujar Latifah (45), salah seorang warga. Dalam semalam, empat plastik atau dua kilogram ghat terjual dengan harga Rp3,6 juta. Artinya, setiap kantongnya dihargai oleh orang Arab tersebut Rp900 ribu per-kantong kecil. “Saya sudah katakan Hadza Manhi (ini telah dilarang), namun pria tersebut memohon dan akhirnya saya petik empat kantong plastik,” tukasnya.
Kepala Humas BNN, Kombes Pol Sumirat Dwiyanto menegaskan, pihaknya akan membicarakan lebih lanjut terkait tuntutan masyarakat dan petani ghat. “Terkait dengan konsekuensi ekonomi pemusnahan ladang katinona (ghat, red), saya akan bicarakan lebih lanjut dengan pimpinan. Karena mereka sudah tujuh tahun menggantungkan hidupnya di tanaman tersebut. Namun biasanya BNN akan menjalan program alternative development,” terang Sumirat.
Pemusnahan ghat di Puncak mirip dengan pemusnahan ganja di Aceh. Dalam hal ini, pemerintah menggeber kegiatan alternative development, dengan memberikan ganti rugi pemusnahan ganja dengan tanaman yang sama-sama memiliki nilai ekonomis, seperti kunyit, nilam dan jabon. Meski ada tentangan, BNN tetap akan melakukan pemusnahan massal ghat dalam waktu dekat.
“Pasti kita akan musnahkan semua. Karena berdasarkan hasil tim kimia dan farmasi BNN, tanaman ini merupakan bahan cathinone alami yang masuk dalam golongan I narkoba,” paparnya.
Setelah ditetapkan sebagai narkoba kelas wahid, Sumirat menyatakan, masyarakat yang sengaja menanam, memperjualbelikan dan mengonsumsi ghat, bakal dijerat Undang-Undang RI No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Sehingga pihaknya berharap dengan adanya pemusnahan massal terhadap ladang katinona ini, tidak merugikan masyarakat. “Kita tidak mungkin merugikan masyarakat, makanya saat ini kita tidak langsung musnahkan,” terangnya.
Sementara itu, Ahli Kimia Farmasi BNN, Kombes Mufti Djusnir mengimbau agar masyarakat mewaspadai bahaya penyalahgunaan tanaman ghat. Karena berefek negatif bagi tubuh. "Paling parah, risikonya dapat membuat kejang jantung, hingga mengakibatkan kematian," cetusnya.
Ramai kabar ghat tak dilewatkan sejumlah oknum. Belakangan, warga kerap didatangi sejumlah kelompok yang mengatasnamakan BNN dan peneliti dari sejumlah universitas.
“Saat ini banyak orang yang datang ke kami mengaku sebagai peneliti dan petugas BNN. Mereka meminta pucuk daun ghat bahkan mencabut pohon ghat dengan alasan untuk penelitian,” terang NS (45), salah seorang pemilik tanaman ghat asal Desa Tugu Utara.(sdk/cr4)
Salah seorang petani ghat di Kampung Tugu Pasir, Desa Cibeureum, Kecamatan Cisarua, Nanang alas Jek (42) mengungkapkan, selama ini dirinya menanam pohon ghat di atas tanah seluas 300 meter persegi. Dari situ dia mampu meraup keuntungan sebesar Rp3 juta per minggu. Sedangkan sejawatnya, Nanang Suranta Wijaya (47) mengaku mampu meraup keuntungan Rp1,2 juta per harinya, atau Rp35 juta per bulan. Itu karena tanaman ghat miliknya merupakan kualitas terbaik yang terkenal di wilayah Cisarua. Data sementara, ada sekitar sebelas petani ghat di Cisarua yang tersebar di tiga desa. Yakni Desa Tugu Utara, Tugu Selatan dan Cilember.
"Saya tidak tahu (mengandung narkoba, red). Terserah kalau mau dimusnahkan silakan saja, asalkan ada kebijakan (ganti rugi, red) dari pemerintah. Jika tidak bisa uang, cukup sayur-sayuran seperti wortel atau kol, sehingga pendapatan saya tidak hilang begitu saja," ungkap Nanang.
Ada yang menarik dari hasil pemantauan Radar Bogor (Grup JPNN) ke sejumlah kebun ghat di Desa Tugu Utara, Tugu Selatan dan Cilember. Salah satu kebun ghat seluas 200 meter persegi di sisi Jalan Pasir Tugu, RT 1/5, Kampung Alun-alun Impres, Desa Cibeureum, Kecamatan Cisarua, sudah gundul dipanen. Kesaksian warga menyatakan, sebelum kedatangan BNN, polisi serta instansi kecamatan, para pengunjung turis Timur Tengah datang memborong ghat.
“Kemarin (Senin, 4/2) tiga turis Arab datang dan membeli empat bungkus ghat,” ujar Latifah (45), salah seorang warga. Dalam semalam, empat plastik atau dua kilogram ghat terjual dengan harga Rp3,6 juta. Artinya, setiap kantongnya dihargai oleh orang Arab tersebut Rp900 ribu per-kantong kecil. “Saya sudah katakan Hadza Manhi (ini telah dilarang), namun pria tersebut memohon dan akhirnya saya petik empat kantong plastik,” tukasnya.
Kepala Humas BNN, Kombes Pol Sumirat Dwiyanto menegaskan, pihaknya akan membicarakan lebih lanjut terkait tuntutan masyarakat dan petani ghat. “Terkait dengan konsekuensi ekonomi pemusnahan ladang katinona (ghat, red), saya akan bicarakan lebih lanjut dengan pimpinan. Karena mereka sudah tujuh tahun menggantungkan hidupnya di tanaman tersebut. Namun biasanya BNN akan menjalan program alternative development,” terang Sumirat.
Pemusnahan ghat di Puncak mirip dengan pemusnahan ganja di Aceh. Dalam hal ini, pemerintah menggeber kegiatan alternative development, dengan memberikan ganti rugi pemusnahan ganja dengan tanaman yang sama-sama memiliki nilai ekonomis, seperti kunyit, nilam dan jabon. Meski ada tentangan, BNN tetap akan melakukan pemusnahan massal ghat dalam waktu dekat.
“Pasti kita akan musnahkan semua. Karena berdasarkan hasil tim kimia dan farmasi BNN, tanaman ini merupakan bahan cathinone alami yang masuk dalam golongan I narkoba,” paparnya.
Setelah ditetapkan sebagai narkoba kelas wahid, Sumirat menyatakan, masyarakat yang sengaja menanam, memperjualbelikan dan mengonsumsi ghat, bakal dijerat Undang-Undang RI No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Sehingga pihaknya berharap dengan adanya pemusnahan massal terhadap ladang katinona ini, tidak merugikan masyarakat. “Kita tidak mungkin merugikan masyarakat, makanya saat ini kita tidak langsung musnahkan,” terangnya.
Sementara itu, Ahli Kimia Farmasi BNN, Kombes Mufti Djusnir mengimbau agar masyarakat mewaspadai bahaya penyalahgunaan tanaman ghat. Karena berefek negatif bagi tubuh. "Paling parah, risikonya dapat membuat kejang jantung, hingga mengakibatkan kematian," cetusnya.
Ramai kabar ghat tak dilewatkan sejumlah oknum. Belakangan, warga kerap didatangi sejumlah kelompok yang mengatasnamakan BNN dan peneliti dari sejumlah universitas.
“Saat ini banyak orang yang datang ke kami mengaku sebagai peneliti dan petugas BNN. Mereka meminta pucuk daun ghat bahkan mencabut pohon ghat dengan alasan untuk penelitian,” terang NS (45), salah seorang pemilik tanaman ghat asal Desa Tugu Utara.(sdk/cr4)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Produktivitas Itik Peternak Rendah
Redaktur : Tim Redaksi