Petani Tolak Politisasi Sektor Pangan

Senin, 18 Maret 2019 – 09:03 WIB
Tampak aktivitas petani di Desa Modongan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur saat memanen padi di sawah. Foto: Ist

jpnn.com, JAKARTA - Eskalasi politik semakin meningkat jelang pemilihan umum (pemilu) 17 April 2019. Sektor pangan turut terimbas. Sebagai salah satu sektor strategis, pangan kerap dijadikan bahan perdebatan dan tak ayal menyebabkan para pelaku sektor pangan turut terseret ke dalam konstelasi politik.

Gelagat ini ditangkap Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir. Winarno menilai berbagai demonstrasi ataupun pemberitaan yang mengatasnamakan peternak dan petani jelang pemilu malah semakin mempertegas adanya muatan politik di tengah suasana pesta demokrasi tahun ini.

BACA JUGA: Petani Rasakan Manfaat Besar Infrastruktur Perairan Buatan Kementan

"Kami merasa sudah cukup petani dan peternak dijual untuk kepentingan politik. Kalau benar petani, pasti mereka sedang sibuk bekerja, bukan menyebar kebecian, apalagi menjadi provokator,” tegas Winarno.

Sektor pangan, menurut Winarno, masih menyisakan berbagai permasalahan, salah satunya mafia pangan. Tapi Winarno menyebutkan pembangunannya sudah sesuai jalur. “Menurut saya, pertanian kita sudah on the track. Kalau ada masalah, seharusnya dicari solusinya. Menurut saya, kalau dicari celanya dan kelemahan pertanian saat ini, bisa saja di tahun politik dicari yang kurang-kurang terus,” sebutnya.

BACA JUGA: Kementan Serap Aspirasi: Produksi dan Pendapatan Petani Meningkat

Lebih lanjut, persoalan mafia pangan dinilai Winarno masih menjadi momok yang menghambat kinerja sektor ini. Dirinya menghargai pemerintah yang sudah berupaya memberantas mafia pangan melalui deregulasi sejumlah peraturan.

“Banyak regulasi yang menghambat dicabut dan direvisi, keluhan petani seperti kelangkaan pupuk juga diperhatikan. Misalnya, sebanyak 40 kasus pupuk oplos yang menghantui petani juga diselesaikan dengan cepat. Persekongkolan tata niaga yang dipermainkan kartel daging sapi, ayam, telur, jagung dan lainnya juga sudah ditindak bekerjasama dengan KPPU," terang Winarno.

BACA JUGA: Jangan Mudah Mengatasnamakan Petani - Peternak, Membuat Menderita Banyak Orang

Dihubungi terpisah, Ketua Asosiasi Champion Cabai Indonesia Tunov Mondro Atmodjo juga mengungkapkan keberatan terhadap politisasi sektor pertanian. Dirinya bahkan mencurigai adanya upaya politisasi petani dengan sejumlah aksi berbagai pihak atau organisasi yang mengatasnamakan petani untuk mendiskreditkan kebijakan program dan capaian sektor pertanian.

"Akhir tahun 2018 kemarin, ada pusat kajian mencatut nama berbagai organisasi pertanian dalam petisi. Kali ini juga, mengatasnamakan petani selalu menginisiasi pertemuan untuk mendiskreditkan kinerja sektor pangan," tandas Tunov.

Bahkan Tunov menduga politisasi sektor pangan saat ini tidak lepas dari para mafia pangan. Keputusan pemerintah untuk menekan tingkat impor pangan, telah membuat ruang gerak mereka semakin sempit.

"Jadi jangan karena tidak bisa bermain impor, petani dijual-jual. Kami petani sangat untung saat ini, hasil panen melimpah, pasar dijamin dan berbagai inovasi budidaya, pasca panen dan pemasaran sangat terasa," jelasnya.

Stabilisasi Harga Daging Ayam

Isu sektor pangan yang mengemuka belakangan adalah anjloknya harga daging ayam. Persoalan harga daging ayam turut disuarakan dalam demonstrasi pihak-pihak yang mengatasnamakan peternak rakyat. Tapi Direktur Jenderal Peternakan dan Kdesehatan Hewan (PKH) I Ketut Diarmita memastikan harga daging ayam sudah kembali stabil.

Berdasarkan laporan dari Petugas Informasi Pasar (PIP) Ditjen PKH tercatat adanya trend kenaikan harga ayam di tingkat peternak per 11 Maret 2019 yang terjadi hampir di seluruh Indonesia antara lain Regional Sumatera, Jawa, Bali/Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Papua.

Kisaran harga di tingkat produsen untuk regional Jawa (Jawa Barat, Jateng, Jatim dan Banten) per tanggal 13 Maret 2019 berkisar antara Rp 15.713 sampai dengan Rp 21.125 dan tanggal 14 Maret 2019 lalu sudah naik lagi dengan kisaran antara Rp. 15.859 sampai dengan Rp. 21.500. Sedangkan untuk regional lainnya seperti Sumatera, Bali/Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Papua, harga di tingkat produsen lebih tinggi dibandingkan dengan harga di regional Jawa dan rata-rata sudah berada di atas harga acuan pemerintah.

I Ketut Diarmita mengatakan, stabilnya harga ayam di tingkat peternak ini merupakan hasil dari upaya seluruh stakeholder dan ini tentunya harus terus berlanjut sampai semua pihak dapat merasakan keuntungan.

“Intinya, Pemerintah ini posisinya selalu di tengah-tengah, kita ingin peternak senang, karena untung dan masyarakat juga dapat mengkonsumsi daging ayam dengan harga yang wajar. Kami tentu ingin selalu melihat peternak dan petani senang", ujar I Ketut menegaskan. (jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Infrastruktur Perairan Buatan Kementan Tingkatkan Indeks Pertanaman


Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler