Petrus Selestinus: Hak Angket DPR Menjawab Tuntutan Publik Soal Pilpres Jujur dan Adil

Sabtu, 24 Februari 2024 – 17:44 WIB
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) sekaligus Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara Petrus Selestinus. Foto: Friederich Batari/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) sekaligus Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara Petrus Selestinus mengatakan fakta-fakta pemilu curang di berbagai tempat menunjukkan terjadi pelanggaran pemilu oleh peserta pemilu (partai politik, perseorangan dan pasangan capres-cawapres) dan oleh Penyelenggara Pemilu yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM).

Dengan demikian, menurut Petrus, langkah politik PDIP, Nasdem, PKB dan PKS mendorong penggunaan hak Angket atau Interpelasi atau hak Menyatakan Pendapat oleh DPR menjadi langkah yang sangat tepat, urgen, strategis dan konstitusional sehingga memerlukan dukungan publik yang meluas.

BACA JUGA: JK Soal Hak Angket: Kalau Memang tidak Ada Apa-apa, Bisa Jadi Klarifikasi

"Rencana DPR menggunakan hak angket, atau hak interpelasi dan atau Hak Menyatakan pendapat terkait dugaan kecurangan Pemilu dan Pilpres 2024 sebagai salah satu cara wakil rakyat menjawab tuntutan publik," ujar Petrus Selestinus, Sabtu (24/2).

Alasan lainnya, kata dia, tidak semua bentuk pelanggaran pemilu dan tidak semua pelaku dan korban pelanggaran pemilu/Pilpres kasusnya dapat diselesaikan lewat Mahkamah Konstitusi (MK), kecuali peserta pemilu yang secara limitatif ditetapkan oleh UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,” ujar Petrus.

BACA JUGA: Kalimat Haedar Nashir Merespons Hak Angket Pemilu, Pesannya Dalam

Selain itu, menurut Petrus, MK sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilu berada dalam posisi tidak merdeka dan mandiri akibat nepotisme dan dinasti politik.

“Di MK, masih ada Anwar Usman, Hakim Konstitusi yang adalah Ipar Presiden Jokowi atau paman dari cawapres Gibran Rakabuming Raka,” ujar Petrus Selestinus.

BACA JUGA: Pakar HTN: Hak Angket Tak Bisa Membatalkan Hasil Pemilu 2024

MK Jadi Sarang Nepotisme

Petrus mengatakan oleh karena kewenangan MK yang terbatas dan berada dalam permasalahan nepotisme dan dinasti politik, sehingga tingkat ketidakpercayaan publik terhadap MK makin luas dan merata.

Dengan demikian, penggunaan hak angket atau hak interpelasi bahkan hak Menyatakan Pendapat oleh DPR menjadi sangat penting, urgen dan  strategis.

Oleh karena itu, Petrus menilai pandangan Profesor Dr. Yusril Ihza Mahendra selaku Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sekaligus pakar Hukum Tata Negara, bahwa pihak yang kalah di Pilpres tidak dapat menggunakan hak angket DPR untuk menyelidiki kecurangan pemilu 2024 dan seharusnya mencari penyelesaian ke MK adalah pendapat yang membodohi masyarakat, sesat dan partisan.

“Pada saat ini kasus pelanggaran pemilu di mata publik, sudah masuk kategori TSM dan itu sangat merugikan hak-hak rakyat pemilih. Rakyat selaku pemegang kedaulatan, tetapi tidak mendapat tempat untuk mendapatkan keadilan di MK sehingga rakyat akan mencari dan menemukan sendiri jalannya untuk mengakhiri pemilu curang yang TSM ini,” ujar Petrus.

Caranya, kata dia, tentu lewat penggunaan hak Angket atau hak Interpelasi atau hak Menyatakan Pendapat maupun lewat kekuatan masa mendesak Presiden Jokowi mundur; Pilpres batal, dan Pilpres diulang.

Petrus mengatakan instrumen politik di DPR, yaitu penggunaan hak Angket, hak Interpelasi dan hak Menyatakan Pendapat menjadi kebutuhan dan pilihan langkah yang realistis, urgen, konstitusional dan sangat strategis ketika instrumen peradilan berada dalam cengkeraman nepotisme dan politik dinasti di suprastruktur politik sehingga tidak mandiri dan bebas dalam pelayanan keadilan.

Lebih lanjut, Petrus mengatakan Pemilu 2024 baru saja kita lalui pada tanggal 14 Februari 2024 yang lalu. Namun, yang terjadi saat ini dengan munculnya berbagai klaim dan protes tentang kecurangan, pelanggaran dan manipulasi, memperlihatkan betapa proses Pemilu 2024 telah berlangsung secara tidak adil dan tidak jujur bahkan melanggar asas-asas Pemilu yang digariskan dalam Pasal 22E UUD 1945.

“Jika saja proses dan hasil pemilu pada setiap tahapan terjadi pelanggaran terhadap asas-asas Pemilu sebagaimana digariskan dalam UUD 1945 dan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, maka ketika pelanggaran asas-asas pemilu itu dibiarkan atau ketika lembaga yang berfungsi menyelesaikan segala permasalahan pemilu tidak lagi dipercaya oleh rakyat, maka konsekuensinya hanya ada dua pilihan.

Pilihan pertama adalah Pemilu batal dengan segala akibat hukumnya dan Pemilu harus digelar ulang.

Kedua adalah Komisioner KPU, anggota Bawalsu dan DKPP harus mengundurkan diri atau diberhentikan dan digantikan dengan personalia yang baru.

“Oleh karena itu, ketika Komisoner KPU tidak berani secara independen mengoreksi hasil pemilu dan menyatakan Pemilu batal dan harus diulang, maka Komisoner KPU, Bawaslu dan DKPP harus mengundurkan diri dan mengembalikan segala hal terkait Pemilu kepada Pemerintah di bawah kontrol DPR dan rakyat,” ujar Petrus.

Selain itu, Petrus mengatakan kondisi riil saat ini, Indonesia dipimpin oleh seorang Jokowi yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.

“Di samping itu, Presiden Jokowi juga sedang menyiapkan Capres-Cawapres nomor 2 yang lahir dari nepotisme dan dinasti politik. Karena itu, tidak memenuhi sayarat sebagai Capres dan Cawapres,” ujar Petrus.

Oleh karena itu, Petrus mengatakan jika saja proses dan tahapan Pemilu (Pilpres) ini dipertahankan, maka Indonesia berada di ambang kehancuran demokrasi dan konstitusi.

“Sebab, daulat rakyat sudah bergeser menjadi daulat nepotisme akibat dinasti politik Jokowi,” ujar Petrus Selestinus.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler