jpnn.com - Ada joke yang beredar di kalangan penggemar sepak bola Indonesia. Orang-orang Eropa dan Afrika punya tulang dan otot yang kuat, karena itu jago bermain sepak bola. Orang Indonesia punya rahang yang kuat, karena itu jago berkomentar sepak bola.
Indonesia menerima vonis mati dari FIFA, otoritas sepak bola tertinggi dunia.
BACA JUGA: Batal Tampil di Piala Dunia U-20, Hokky Caraka dkk Diundang ke Istana
Hak kita menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 dicabut.
Banjir komentar dan hujatan. Saling tuding dan serang. Netizen Indonesia memang terkenal, paling agresif di dunia.
BACA JUGA: Piala Dunia U-20 Batal di Indonesia, Stadion GBLA Kini Bisa Dipakai Persib Kembali
Setiap kali ada persoalan besar pasti muncul tarung komentar di media sosial. Kalau tidak ada persoalan besar dicarilah persoalan supaya tetap bisa berdebat dan bertengkar di media sosial.
Secara umum ada dua tokoh yang dijadikan sasaran amarah massa pada kasus ini, yaitu Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
BACA JUGA: Indonesia Batal Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20, Gubernur Herman Deru: Berduka Kita
Dua orang itu pun dirujak habis oleh para netizen. Berbagai macam meme sindiran diarahkan kepada Koster dan Ganjar.
Amarah publik dicurahkan kepada Ganjar dan Wayan Koster, seolah-olah dua orang itu yang paling bertanggung jawab terhadap vonis FIFA.
Keduanya memang menolak kehadiran timnas Israel ke Indonesia. Namun, semua tahu dua orang itu petugas partai.
Seorang pengamat bola muncul di televisi nasional dan dengan tegas menuntut Ganjar dan Koster meminta maaf secara terbuka kepada publik. Dia mengancam akan menggugat Ganjar dan Wayan Koster melalui class action.
Seorang pelaku sepak bola di Jawa Timur menuntut Erick Thohir mundur dari posisinya sebagai ketua umum PSSI.
Dia menuding Erick gagal mengelola sepak bola Indonesia dan telah memberi aib kepada sepak bola nasional.
Kalau Erick Thohir mundur dari PSSI maka akan ada KLB (kongres luar biasa) lagi untuk memilih ketua baru. Padahal Erick baru terpilih melalui KLB Februari lalu.
Berbagai komentar riuh, karena FIFA tidak menyebut secara spesifik penyebab jatuhnya vonis. Dalam pernyataan pendek yang dikeluarkan pada 29 Maret, FIFA hanya menyebutkan bahwa setelah terjadi pertemuan antara Erick Thohir dan Presiden FIFA Gianni Infantino, diambil keputusan untuk membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023.
FIFA tidak menyebut masalah penolakan timnas Israel. Pada alenia kedua pernyataan FIFA malah menyinggung masalah Tragedi Kanjuruhan. FIFA menyebutkan bahwa pihaknya akan tetap berkomitmen untuk membantu sepak bola Indonesia untuk melakukan reformasi dan transformasi menyusul terjadinya tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022.
Karena tidak ada penjelasan, muncul berbagai spekulasi yang bermacam-macam:
- Ada yang menganggap kasus penolakan terhadap Israel sebagai faktor utama.
- Ada yang mengeklaim bahwa Tragedi Kanjuruhan yang menjadi penyebab.
- Ada juga yang membuat spekulasi bahwa Indonesia sengaja mengundurkan diri karena tidak siap menjadi penyelenggara.
Tiga argumen di atas bersifat spekulatif, karena memicu perdebatan tak berujung. Kalau tiga argumen itu dikumpulkan menjadi satu, dan dianggap masing-masing mempunyai unsur kebenaran, maka analisis akan sampai pada muara yang sama, yaitu salah urus pengelolaan sepak bola Indonesia.
Wartawan olahraga Sky Sport, Rob Harris menyebutkan bahwa pembatalan oleh FIFA merupakan akumulasi dari banyak faktor. Salah satunya adalah Indonesia dinilai tidak siap sebagai penyelenggara, karena stadion yang akan dipakai sebagai tempat pertandingan tidak memenuhi syarat.
Menurut Harris, dari hasil inspeksi terakhir yang dilakukan FIFA 21-27 Maret disimpulkan bahwa secara teknis Indonesia belum siap. Dalam twit pada akun Harris di Twitter, disebutkan FIFA juga tidak yakin bahwa Indonesia akan siap menjamin keamanan dan keselamatan semua peserta Piala Dunia.
Harris menyebut kasus Kanjuruhan sebagai salah satu pertimbangan faktor keamanan yang meragukan FIFA.
Selain itu, penolakan terhadap kehadiran timnas Israel juga menjadi konsideran yang memberatkan mengenai faktor keamanan.
Akumulasi semua faktor itulah yang membuat FIFA menjatuhkan vonis mati.
Pencoretan Indonesia kali ini adalah akumulasi dari faktor-faktor pemberat yang disebutkan oleh FIFA.
Faktor-faktor pemberat itu menjadi persoalan struktural yang merusak pengelolaan sepak bola Indonesia selama bertahun-tahun.
Faktor struktural itulah yang menyebabkan sepak bola Indonesia mengalami mismanajemen akut dan puncaknya meledak pada kasus pencoretan ini.
Masalah mismanejemen sepak bola Indonesia itu secara sederhana disebutkan karena adanya jaringan mafia dalam sepak bola Indonesia. Penyebutan mafia sepak bola selalu memunculkan persoalan yang rumit, karena sampai sekarang PSSI selalu menyanggah masalah itu.
Tindakan hukum juga sudah diambil oleh kepolisian dengan membentuk satuan anti-mafia sepak bola. Hasilnya?
Banyak yang meyakini bahwa jaringan mafia itu ada, tetapi tidak mudah membuktikannya.
Kasus tragedi Kanjuruhan menjadi indikasi adanya jaringan mafia itu. Tragedi ini menewaskan 135 orang, tetapi banyak yang tak tersentuh hukum.
Tim independen yang dibentuk pemerintah juga seperti macan ompong. Rekomendasi agar semua pimpinan PSSI dan eksekutif komite untuk mengundurkan diri tidak digubris.
Setelah tragedi Kanjuruhan, Presiden Jokowi segera mengirim Erick Thohir—ketika itu belum menjadi ketua PSSI--menemui Presiden FIFA Gianni Infantino untuk melobi agar Indonesia terhindar dari sanksi. Yang paling mengkhawatirkan ketika itu adalah sanksi pancoretan Indonesia sebagai tuan rumah.
Hubungan baik Erick Thohir dengan Infantino berbuah manis dengan lolosnya Indonesia dari sanksi. Infantino malah memberi bonus dengan janji akan membantu sepak bola Indonesia melakukan transformasi dan reformasi.
Atas restu Presiden Jokowi, Erick Thohir kemudian terpilih sebagai ketua umum PSSI dengan tetap memakai jaringan lama PSSI yang sudah bercokol puluhan tahun dan sulit bagi Erick Thohir untuk melawannya. Karena itu Erick Thohir memilih berkompromi.
Jaringan lama itu menjadi bagian dari salah urus PSSI yang menyebabkan fasilitas stadion tidak layak untuk memenuhi standar FIFA. Selama ini PSSI menutup mata terhadap klub-klub yang berlaga di Liga 1 tanpa mempunyai stadion yang memadai.
Praktik itu berlangsung bertahun-tahun dan menjadi langgeng karena adanya jaringan mafia di baliknya. Ketika kemudian FIFA melakukan inspeksi terhadap stadion-stadion maka terungkaplah borok itu.
Kali ini FIFA tidak mau lagi berkompromi. Infantino tidak mau menanggung risiko. Di Qatar dia berani pasang badan soal pelarangan simbol LGBT dan pelarangan penjualan alkohol, karena secara teknis Qatar sangat siap sebagai penyelenggara.
Namun, di Indonesia, Infantino tidak berani berspekulasi karena dia tidak yakin Indonesia siap secara teknis. Infantino mengabaikan pertemanan dengan Erick, dan vonis mati pun dijatuhkan. (*)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi