Pilkada Harus Jadi Momentum Golkar Menjaring Tokoh Karismatik untuk Kepemimpinan Nasional

Selasa, 07 Mei 2024 – 23:45 WIB
Chief Political Officer dari Political Strategy Group (PSG) Arief Budiman. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Kesuksesan Partai Golkar pada pemilu legislatif (Pileg) 2024 membuka peluang untuk menjuarai pemilu selanjutnya. Termasuk memenangi pemilihan presiden (Pilpres) mendatang.

Pendapat tersebut disampaikan Chief Political Officer dari Political Strategy Group (PSG) Arief Budiman, Senin (6/5/2024).

BACA JUGA: 243 Orang Sudah Daftar, Golkar Segera Seleksi Balon Kada di Sumut

Dia menilai peningkatan suara Golkar yang mencapai 5,9 juta suara menunjukkan tren ke arah positif.

“Suara partai berlambang beringin hampir mendekati raihannya ketika memenangi Pemilu 2004. Saat itu, Golkar meraih 24.480.757 suara yang berhasil dikonversi menjadi 127 kursi di DPR,” kata Arief.

BACA JUGA: Paulus Waterpauw Maju Pilgub Papua, Ini Respons Golkar dan Hanura

Pencapaian tersebut, kata Arief, di sisi lain menunjukkan ketangguhan institusi Golkar sebagai partai.

Dia menyebut Golkar tak goyah meskipun sepanjang era reformasi berbagai upaya demoralisasi dan deinstitusionalisasi dilakukan pelbagai pihak terhadap partai berlambang pohon beringin itu.

BACA JUGA: Syukuri Hasil Pemilu 2024, Petinggi Partai Golkar Tunaikan Ibadah Umrah

Dia mencontohkan ketika Presiden Abdurrahman Wahid berencana membubarkan Golkar melalui dekritnya.

Lalu, perlawanan kencang kelompok pro-reformasi di akar rumput yang melabeli Golkar sebagai partai Orde Baru.

“Bukan berarti tidak ada dampak politik terhadap Golkar. Terbukti suara mereka menurun. Namun, bagaimanapun, Golkar tetap bisa selalu finish di tiga besar,” kata Arief.

Resiliensi Golkar, kata Arief, dipengaruhi kemapanan institusinya yang membuat mereka lekas mampu beradaptasi dengan era reformasi. Hal ini pula yang kemudian menjadi jalan kesuksesannya di Pileg 2024.

Arief menyebut strategi Golkar di Pileg 2024 sebagai politik kredit-debit. Bahwa dengan modal genetik kemapanan institusional, Golkar mengalkulasi setiap langkahnya dengan cermat untuk mengonversi setiap cost yang selama ini dianggap sebagai liabilitas menjadi keuntungan politik.

Strategi politik kredit-debit membuat Golkar lebih luwes melangkah di Pemilu. Mereka tak ragu mengambil risiko atau ongkos politik, selama dalam perhitungannya akan mendatangkan keuntungan lebih besar.

Arief menilai Golkar berani tetap menjaga dan memupuk faksionalisme di internalnya di tengah risiko perpecahan tak berkesudahan yang bisa memporak-porandakan organisasi.

“Lalu, Golkar membuka diri kepada caleg-caleg terafiliasi dinasti politik di tengah sentimen negatif terhadap praktik politik dinasti, yang sekaligus sebetulnya berpeluang mengingatkan publik pada sejarahnya sebagai parpol Orde Baru,” kata Arief.

Pendekatan semacam itu, menurut Arief, sangat khas Golkar dan cukup mewakili sifat dasarnya sebagai parpol pragmatis.

Walaupun pada pemilu-pemilu sebelumnya di era reformasi, Golkar lebih berhati-hati memainkannya.

Yang besar kemungkinan lantaran mereka saat itu masih dalam proses adaptasi dengan alam demokrasi dan belum menemukan momentum tepat.

“Mengingat, bagaimanapun sebagian besar dari kunci sukses politik adalah tentang kecermatan membaca momentum. Dan, hasil Golkar di Pemilu 2024 membuktikan strategi mereka diterapkan dalam momentum yang tepat,” ujar Arief.

Meski demikian, menurut Arief, kebangkitan Golkar tetap punya tantangan untuk meraih kemenangan absolut di pemilu selanjutnya.

Golkar mungkin bisa menjuarai Pileg 2029, tetapi akan kesulitan memenangi Pilpres jika belum mampu menghadirkan sosok kharismatik berkaliber nasional.

Oleh karena itu, penting bagi Golkar segera menemukan sosok kharismatik yang dipersiapkan secara khusus menyongsong Pilpres 2029. Pilkada yang berlangsung pada November nanti, bisa menjadi salah satu alat penyaringan.

“Mengingat tren kepemimpinan nasional sedang mengarah kepada sosok yang memiliki rekam jejak politik sebagai kepala daerah. Setidaknya dalam tiga pemilu terakhir yang mayoritas kandidat adalah mantan kepala daerah,” kata Arief.

Selain itu, Golkar perlu kembali menjaring sosok dari kalangan teknokrat yang pernah menjadi nilai jualnya di masa lalu.

Hal ini tak lepas dari kebijakan ekonomi Indonesia yang mulai kembali pula mengarah ke pembangunan fisik dan industri. Bukan seperti awal era reformasi yang cenderung ke arah pembangunan politik.

“Tantangan tersebut bisa jadi sangat berat bagi Golkar. Setidaknya bila melihat sosok politikus kaliber nasional mereka yang bercokol hari ini mayoritas adalah dari kalangan aktivis, bila tidak terkait trah dinasti,” kata Arief.

Sementara, menurut Arief, masuknya sosok baru untuk didorong ke arah kepemimpinan nasional sangat mungkin mendapat resistensi dari faksi-faksi yang kini telah bercokol di dalam tubuh Golkar.

“Resistensi terhadap sosok BJ Habibie di masa lalu, barangkali tepat sebagai contoh nyata akan kemungkinan tersebut. Namun sekali lagi, Golkar memang mau tak mau harus mencari Habibie baru walau harus sampai ke dasar tumpukan jerami bila ingin menang absolut di pemilu mendatang,” kata Arief.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler