JAKARTA - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung dinilai memperburuk birokrasi. Dalam pilkada langsung di delapan daerah yang diriset Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan birokrasinya tidak bisa bersikap netral.
"Politisasi biasanya diawali bersih-bersih birokrasi jauh hari sebelum pilkada dilaksanakan. Yang dibersihkan adalah birokrasi yang berpotensi tidak mendukung incumbent," kata Ade Irawan, deputi Coordinator ICW di Jakarta, Senin (15/4).
Kocok ulang (rotasi) mutasi menjadi cara bagi incumbent untuk memastikan bahwa posisi-posisi penting bagi pemenangan pemilu diisi oleh aparatur yang sudah pasti mendukungnya. Penempatan para loyalis di posisi strategis akan memudahkan dalam mobilisasi birokrasi dan menjadikan dana APBD/APBN sebagai logistik pemenangan.
"Biasanya proses bersih-bersih birokrasi juga menjalar ke jabatan struktural yang lebih rendah. Malah dari hasil monitoring, kocok ulang birokrasi merambat hingga ke tingkat kelurahan," ujarnya.
Dia mencontohkan di Kendari, lurah Baruga mengancam akan mengganti ketua RT/RW di wilayahnya jika tidak ikut mendukung incumbent. Sedangkan di Kabupaten Kampar, bupati memutasi salah satu pegawai sekwan menjadi pegawai sekcam karena terindikasi tidak memihak kepadanya.
Di Kabupaten Pandeglang, pasca-pilkada terjadi mutasi besar-besaran. Erwan Kurtubi yang memenangkan pertarungan membersihkan birokrasi yang tidak mendukungnya. Sebanyak 167 birokrasi dinonjobkan, beberapa diantaranya sudah pindah ke provinsi atau daerah lain. Sanksi lain berupa mutasi kepada 17 birokrasi yang bersaksi dalam sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) seperti Camat Cimanuk yang dijadikan guru SD.
"Pilkada langsung telah menjadi buah simalakama bagi birokrasi. Menjadi mesin pemenangan incumbent berarti melawan aturan dan bertentangan dengan pilihannya. Tapi menolak membuat posisi dan karirnya terancam. Salah memberikan dukungan bisa membuat karir tamat," tuturnya.(esy/jpnn)
"Politisasi biasanya diawali bersih-bersih birokrasi jauh hari sebelum pilkada dilaksanakan. Yang dibersihkan adalah birokrasi yang berpotensi tidak mendukung incumbent," kata Ade Irawan, deputi Coordinator ICW di Jakarta, Senin (15/4).
Kocok ulang (rotasi) mutasi menjadi cara bagi incumbent untuk memastikan bahwa posisi-posisi penting bagi pemenangan pemilu diisi oleh aparatur yang sudah pasti mendukungnya. Penempatan para loyalis di posisi strategis akan memudahkan dalam mobilisasi birokrasi dan menjadikan dana APBD/APBN sebagai logistik pemenangan.
"Biasanya proses bersih-bersih birokrasi juga menjalar ke jabatan struktural yang lebih rendah. Malah dari hasil monitoring, kocok ulang birokrasi merambat hingga ke tingkat kelurahan," ujarnya.
Dia mencontohkan di Kendari, lurah Baruga mengancam akan mengganti ketua RT/RW di wilayahnya jika tidak ikut mendukung incumbent. Sedangkan di Kabupaten Kampar, bupati memutasi salah satu pegawai sekwan menjadi pegawai sekcam karena terindikasi tidak memihak kepadanya.
Di Kabupaten Pandeglang, pasca-pilkada terjadi mutasi besar-besaran. Erwan Kurtubi yang memenangkan pertarungan membersihkan birokrasi yang tidak mendukungnya. Sebanyak 167 birokrasi dinonjobkan, beberapa diantaranya sudah pindah ke provinsi atau daerah lain. Sanksi lain berupa mutasi kepada 17 birokrasi yang bersaksi dalam sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) seperti Camat Cimanuk yang dijadikan guru SD.
"Pilkada langsung telah menjadi buah simalakama bagi birokrasi. Menjadi mesin pemenangan incumbent berarti melawan aturan dan bertentangan dengan pilihannya. Tapi menolak membuat posisi dan karirnya terancam. Salah memberikan dukungan bisa membuat karir tamat," tuturnya.(esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Politisi PKB Dukung Irman Gusman jadi Capres
Redaktur : Tim Redaksi