jpnn.com - JAKARTA – Rencana pelaksanaan pemungutan suara pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada Desember 2015, dinilai penuh risiko. Karena waktu perencanaan dan persiapan yang sangat singkat, kurang dari satu tahun.
Karena itu Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai pemungutan suara pilkada perlu diundur paling tidak menjadi Juni 2016.
BACA JUGA: Sys NS Tak Takut dengan SBY di Kongres PD
Alasannya, pada praktik pemilu di mana pun, perencanaan dan persiapan setidaknya membutuhkan waktu dua tahun. Apalagi mengingat pilkada serentak bakal dilaksanakan di 204 daerah di Indonesia.
“Ini merupakan pengalaman pertama. Padahal disbanding pemilu legislatif dan pemilu presiden, pilkada lebih sering menimbulkan kekerasan dan konflik horizontal. Karena itu kita menilai perlu diundur paling tidak enam bulan lagi menjadi Juni 2016,” katanya di Gedung KPU.
BACA JUGA: Hasil dan Anggaran Kunker DPD Wajib Audit
Menurut Titi, jadwal pilkada diundur semata-mata demi menciptakan siklus pemilu lima tahuna yang ideal.
“Jadwal Pemilu legislatif, pemilu presiden dan pilkada, selama ini telah menimbulkan kesemrawutan politik. Sehingga mengacaukan tatanan pilitik, merusak rasional pemilih, menciptakan konflik internal partai politik berkelanjutan,” katanya.
BACA JUGA: Ini Alasan Mendagri Dukung Jadwal Pilkada Diundur ke 2016
Selain itu juga mengakibatkan semakin tingginya biaya politik yang harus ditanggung parpol dan calon, memboroskan anggaran negara dan membebani penyelenggara. Karena itu kata Titi, perlu diciptakan siklus pemilu lima tahunan yang ideal. Paling tidak dirancaG agar jadwal pemilu bisa mengatasi masalah-masalah yang sebelumnya timbul.
Menurut Titi, mundurnya jadwal pilkada 2015 dan adanya jeda waktu dua tahun antara pelaksanaan pemilu legislatif-presiden dengan pilkada langsung nasional 2021 mendatang, sangat baik. Terutama mengurangi kejenuhan pemilih, sehingga partisipasi bisa tinggi. Karena jarak waktu yang pendek belum mampu menghilangkan kejenuhan pemilih dalam mengikuti pemilu. Selain kejenuhan, juga dikhawatirkan membuat pemilih kehilangan rasionalitas dalam memberikan suara.
“Jadi diperlukan waktu dua tahun agar pemilih mengetahui pasti kinerja hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden. Sehingga dalam pilkada, mereka akan memberi ganjaran dan hukuman yang tepat pada partai politik dan calon. Ini benar-benar memudahkan pemilih bersikap rasional, guna memertahankan partisipasi pemilih pada pemilu,” katanya.
Alasan lain, persiapan dua tahun menurut Titi, juga memberi waktu bagi partai politik berkonsolidasi. Alasannya, selama ini terlihat kecenderungan pencalonan dalam pemilu legislatif dan presiden selalu menimbulkan konflik internal partai. Karena itu ia menilai perlu diberi waktu bagi parpol untuk berkonsolidasi. Sehingga konflik internal tidak berkelanjutan.
Titi yakin, jika waktu konsolidasi yang diberikan cukup, partai politik bisa dengan tenang membangun diri, sehingga akan tampil calon-calon terbaiknya pada pilkada.
“Jeda waktu dua tahun antara pemilu legislatif dan presiden dengan pilkada, juga bermanfaat bagi penyelenggara. Terutama untuk menata organisasi. Karena pilkada serentak yang melibatkan ratusan daerah adalah pengalaman pertama bagi KPU dan jajarannya,” ujarnya.
Sementara itu Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri) Djohermansyah Djohan, menilai cukup tepat jika wacana memundurkan jadwal pilkada diatur dalam Perppu yang baru.
"Itu good idea (ide yang bagus,red). Dari pada revisi, lama. Saya dukung penuh, sepanjang hanya menyangkut waktu (pelaksanaan pilkada,red),” katanya.
Namun hadirnya Perppu yang baru, kata birokrat yang akrab disapa Prof Djo ini, baru dapat terlaksana jika Perppu Nomor 1 Tahun 2014, tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, diterima DPR terlebih dahulu.
“Perppu diundangkan terlebih dahulu. Lalu ketika ada yang mendesak, ada Perppu lagi. Jadi lebih baik Perpu yang baru saja, dari pada merevisi (Perppu Nomor 1 tahun 2014 yang diundangkan DPR,red),” katanya.
Alasan Prof Djo sangat sederhana, revisi membutuhkan pengkajian bersama antara DPR dan pemerintah. Sehingga masih membutuhkan waktu agar kemudian hasil revisi dapat menjadi payung hukum. Kondisi ini dikhawatirkan mengakibatkan tahapan pilkada akan kembali mengalami kemunduran. Sementara jika Perppu, dapat langsung dipergunakan.
“Jadi saya dukung penuh. Tapi sekali lagi, sepanjang itu hanya menyangkut waktu pelaksanaan pilkada,” katanya.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wacana Penundaan Pilkada Serentak Dinilai Mendahului DPR
Redaktur : Tim Redaksi