jpnn.com - JAKARTA - Komisi II DPR RI dan pemerintah pada Selasa (31/10) telah menyetujui revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 yang berkaitan dengan syarat usia capres dan cawapres.
Syarat usia capres-cawapres yang diatur dalam PKPU Nomor 19 Tahun 2023 direvisi, disesuaikan dengan bunyi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
BACA JUGA: Ketua MKMK: Dari 3 Hakim Saja Muntahan Masalahnya Ternyata Banyak Sekali
Bunyi Pasal 13 ayat (1) huruf q PKPU Nomor 19 berubah menjadi “Syarat capres dan cawapres adalah berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.”
Pakar Kepemiluan yang juga Dosen Fisip Universitas Sam Ratulangi Ferry Daud Liando menduga upaya KPU merevisi PKPU 19 Tahun 2023 merupakan cara KPU mencegah adanya sengketa proses yang akan diajukan oleh peserta Pilpres 2024 kepada Bawaslu.
BACA JUGA: Pakar Sebut Gibran Jadi Cawapres untuk Wujudkan Cita-Cita Jokowi 3 Periode
“Jika KPU tidak merevisi PKPU 19 maka peluang adanya pengajuan sengketa atas keputusan KPU dalam menetapkan Gibran sebagai peserta pemilu sangat terbuka,” kata Ferry Liando kepada JPNN.com, Rabu (1/11).
Dia menjelaskan, mengajukan sengketa proses pemilu merupakan hak peserta pilpres yang keberatan atas keputusan KPU.
BACA JUGA: Baliho PDIP & Ganjar - Mahfud Dicopot, Politikus Senior Pastikan Partainya Tidak Tinggal Diam
Permohonan sengketa proses pemilu itu diajukan ke Bawaslu. Jika PKPU itu tidak direvisi pasca-putusan MK, maka akan sangat berpotensi di sengketakan. Sebab, jika tidak direvisi, PKPU tersebut masih mengatur syarat usia capres-cawapres minimal 40 tahun.
“Namun demikian, meski akhirnya PKPU 19 direvisi, peluang mempersolkan Gibran ketika berkasnya dinyatakan MS (memenuhi syarata) oleh KPU masih bisa terjadi,” kata Ferry.
Bawaslu, lanjutnya, juga memiliki kewenangan menangani permohonan dugaan pelanggaran administrasi.
Permohonan ini bisa ditangani Bawaslu apabila KPU diduga melakukan pelanggaran tata cara, mekanisme atau prosedur.
“Menyatakan berkas Gibran dengan MS ketika masih menggunakan PKPU 19 bisa saja dipersoalkan karena diduga melanggar secara administrasi.”
Dia menjelaskan, pasca-putusan MK, PKPU wajib segera direvisi sebelum diterapkan. Sebab yang diuji di MK itu adalah UU Pemilu terkait pasal tentang syarat capres-cawapres.
Jika pasal tentang syarat capres-cawapres oleh putusan MK berubah, kata Ferry, maka secara otomatis PKPU yang merupakan turunan atau penjabaran teknis dari pasal UU Pemilu yang diubah, harus berubah juga.
“Karena yang berubah itu dari pasal UU maka revisinya harus melalui DPR dan pemerintah termasuk aturan turunannya seperti PKPU,” kata Ferry.
Lain halnya jika yang diuji itu adalah hanya PKPU, maka proses pengujian PKPU hanya di MA, bukan di MK.
Putusan MA tidak perlu melalui pembahasan di DPR dan pemerintah. Namun, cukup melalui penyesuaian di PKPU oleh KPU.
Sama persis ketika PKPU pencalonan DPR dan DPRD pemilu 2019 yang oleh PKPU diatur syarat calon DPR dan DPRD tidak pernah menjadi narapidana (napi) kasus korupsi.
“PKPU itu diuji di MA dan dibatalkan. PKPU langsung berlaku dengan mengizinkan (mantan) narapidan korupsi bisa jadi caleg. Karena yang diuji hanya regulasi PKPU di MA maka bisa langsung diterpakan. Jika yang diuji itu adalah UU di MK maka putusan MK tidsk otomatis berlaku di PKPU. Harus melalui revisi UU terlebih dahulu, baru kemudian diberlakukan di PKPU,” kata Ferry Daud Liando. (sam/jpnn)
Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu