PKS Condong ke Jokowi-Ahok

Selasa, 17 Juli 2012 – 06:01 WIB

JAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi primadona untuk digandeng sebagai partai koalisi baru di putaran kedua Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2012. Meski belum ada keputusan resmi, PKS tampaknya lebih condong mempertimbangkan koalisi baru dengan pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

"Sejauh kami analisis, ada kekecewaan masyarakat terhadap pemerintahan daerah yang ada. Lalu mereka punya persepsi tokoh yang menghasilkan perubahan," ujar Wasekjen PKS Mahfudz Siddiq di gedung parlemen kemarin (16/7).

Menurut Mahfudz, upaya koalisi PKS pada putaran kedua pilgub DKI tidak berdasar pada pertimbangan ideologis. Tidak akan signifikan hasilnya jika pertimbangan ideologis menjadi latar belakang parpol untuk berkoalisi dalam kontestasi pilgub. Pertimbangan koalisi lebih tertuju kepada pragmatisme masyarakat, yang dalam isu pilgub saat ini ingin melihat Jakarta yang lebih baik. "Jokowi diuntungkan karena dia punya catatan-catatan prestasi selama jadi wali kota. Karena itu, dia jadi alternatif," ujarnya.

PKS, lanjut Mahfudz, dalam hal ini tidak mengambil inisiatif untuk melakukan koalisi. Para kandidat yang ada diterima secara terbuka untuk melakukan komunikasi. "Dari pihak Jokowi berkomunikasi, dari pihak Foke (Fauzi Bowo, Red) berkomunikasi. Namun, kami menunggu hasil resmi KPU DKI," terangnya.

Sikap PKS, ungkap Mahfudz, dalam hal ini belum memutuskan secara resmi akan menjalin koalisi dengan pasangan mana pun. Dia mengatakan, opsi PKS saat ini sangat terbuka atas segala kemungkinan yang terjadi di putaran kedua. "PKS sedang mengkaji, menganalisis, dan opsinya apakah mendukung salah satu pasangan calon atau tidak mendukung sama sekali," tandasnya.

Secara terpisah, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengatakan, timnya telah mengevaluasi hasil pilgub putaran pertama. Dia optimistis pemilih akan beramai-ramai memilih Foke-Nara (Nachrowi Ramli) di putaran kedua.

Menurut Anas, untuk mengoptimalkan suara pemilih, tim sukses akan menggalang kebersamaan dengan parpol sahabat, ormas, dan komunitas warga. Terutama dengan "menyapa" para pemilih secara langsung. Partai dan pasangan mana saja yang sudah didekati" "Pokoknya, semuanya dilakukan pendekatan," ujar Anas.

Sementara itu, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP Arif Wibowo menyarankan agar Presiden SBY segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mengatasi kemungkinan tidak adanya dasar hukum pelaksanaan putaran kedua pilgub. Isi perppu menyempurnakan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda.

"Perppu ini diperlukan untuk mengakhiri pro dan kontra pemberlakuan pasal 11 UU Nomor 29 Tahun 2007 (tentang Pemprov DKI, Red). Penerbitan perppu hanya terkait dengan satu norma yang menjembatani antara ketentuan umum pilkada dalam UU Nomor 12 Tahun 2008 dan UU Nomor 29 Tahun 2007," terang Arif.

Sebelumnya, sejumlah warga berencana mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU 29/2007. Dalam UU tersebut, pasangan cagub yang memperoleh suara lebih dari 50 persen ditetapkan sebagai gubernur-wakil gubernur.

Tapi, pengaturan berbeda muncul dalam UU 12/2008 yang muncul belakangan untuk mengatur pelaksanaan pilkada secara umum. Di sana disebutkan, apabila tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 30 persen terbanyak pertama ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.

Arif menyebutkan, perppu itu cukup mengatur satu pasal pada bagian peralihan atau penutup di UU 12/2008. Substansinya menyatakan bahwa calon terpilih dalam pilgub DKI ditetapkan berdasar ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 11 UU 29/2007. "Ini demi kepastian hukum saja (dalam pelaksanaan pilgub putaran kedua, Red)," ujarnya.

Sementara itu, Ketua MK Mahfud M.D. menegaskan, putaran kedua dalam pilgub DKI sudah berdasar hukum. "Sesuai UU yang berlaku, untuk DKI, menggunakan UU Nomor 29 Tahun 2007 dan harus dua putaran kalau belum 50 persen," tandasnya.

Menurut Mahfud, ada empat daerah khusus yang tidak menggunakan UU 12/2008 tentang Pemda. Empat daerah tersebut adalah DKI Jakarta, DI Jogjakarta, Papua, dan Nanggroe Aceh Darussalam. Semuanya menggunakan UU khusus atau lex specialis.

"Jadi, intinya, apa yang dilakukan KPUD (KPU daerah) sudah benar. MK tidak akan mencampuri terlalu jauh wewenang KPUD, karena tidak bertentangan dengan UUD 1945, jadi yang berlaku UU 29/2007," terang Mahfud. (bay/pri/c9/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bagi Sembako, Giliran Foke-Nara Dilapor ke Panwaslu


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler