PMK Tembakau Bisa Dibatalkan

Selasa, 04 September 2012 – 17:53 WIB
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Khamis, mengatakan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.04/2010  tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang petunjuk pelaksanaannya baru keluar Juli 2012 oleh Dirjen Bea Cukai dari sisi hukum tata negara tidak menyalahi aturan kenegaraan.

Namun, dia menegaskan, kalau dilihat dari segi hukum politik, itu kesalahan fatal yang bisa menimbulkan polemik di masyarakat khususnya industri rokok.

"Politik hukum itu kan mengatur bagaimana tertib dalam pengaturan, sebab dalam politik hukum pemerintah harus melihat kebijakan yang diambilnya apakah banyak merugikan rakyat atau tidak," kata Margarito, Selasa (4/9).

Margarito menilai aneh juklak yang dikeluarkan Bea Cukai itu. Ia pun memertanyakan, mengapa juklak-nya baru sekarang dikeluarkan sedangkan PMK sudah dari 2010. "Saya menduga ini ada permainan, apalagi ini cukai rokok dengan keuntungannya sangat besar," kata Margaritho.

Karenanya, Margaritho menyatakan, Dirjen Bea Cukai harus bisa menjelaskan ini semua kepada rakyat. "Khususnya kalangan industri rokok," ujarnya.

PMK 191/PMK.04/2010, sejatinya harus menjadi pegangan bagi pemangku kepentingan dan masyarakat banyak.

PMK menjadi bagian penting dari upaya menciptakan kepastian hukum atas proses dan berjalannya industri tembakau. Sehingga tidak menimbulkan kontroversi seperti yang terjadi dalam RPP Tembakau.

Anggota Komisi IX DPR, Poempida Hidayatullah, mengatakan, harga cukai yang tinggi kalau dilihat dampak untuk kesehatan secara statistik tidak mengurangi jumlah kebiasaan orang merokok.

Menurutnya, PMK ini di terbitkan untuk mengatur supaya cukai  ni ditinggikan dalam konteks korelasi target income pemerintah untuk APBN. "Namun demikian, tingginya cukai, harus dibarengi dengan mekanisme pengawasan di lapangan yang baik, jangan sampai terjadi permasalahan cukai palsu dan "black market" rokok murah," ujar Poempida.

Dijelaskan Poempida, pada dasarnya biaya produksi rokok itu relatif murah. Menurutnya, jika memang harga rokok mahal akibat cukai, maka akan terjadi disparitas harga yang berpotensi menciptakan "black market".

"Cukai rokok tinggi pun tidak akan berdampak dalam konteks inflasi, karena rokok bukan variabel yang sensitif dalam ekonomi pasar," terang dia.

Politikus Partai Golkar itu menambahkan,  masalah Juklak yang diterbitkan oleh Dirjen Bea Cukai Juli 2012, tinggal dilihat saja nanti dampaknya seperti apa setelah implementasi. "Di lain pihak memang saya melihat pemerintahan ini ingin sekali meregulasi bisnis tembakau atau rokok, secara luas," ujarnya.

Terkait dengan akan disahkannya RPP Tembakau dan Pemberlakuakn PMK 191/2012, tentang tarif cukai tembakau, kata Poempida, jika dalam pembuatan kebijakan terjadi "overheating" dalam suatu sektor, maka kebijakan tersebut dapat menjadi boomerang. "Peraturan Menteri itu bukan Kitab suci. UUD saja bisa di amandemen. Apalagi cuma PMK  pasti bisa direvisi atau dibatalkan," katanya.

Pihaknya akan mengawasi agar jangan sampai tata niaga rokok atau tembakau menjadi hancur akibat suatu kebijakan pemerintah yang tidak melihat secara luas dampaknya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Daftar ke KPU, Gerindra Berharap Terkerek Popularitas Prabowo

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler