jpnn.com - MENGGADAIKAN surat keputusan (SK) demi lembaran-lembaran rupiah, tak hanya menjadi kebiasaan para anggota dewan.
Tak pandai mengelola keuangan dan keinginan, membuat banyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan anggota Polri juga melakukan aksi serupa.
BACA JUGA: Berharap Taman di Monas tak Rusak
Seperti yang dituturkan Pardi (bukan nama sebenarnya), seorang PNS yang kini mengabdi di lingkungan Pemkot Bogor. SK pengangkatannya telah tergadai untuk meminang pujaan hati calon pendamping hidupnya.
Namun keputusan Pardi menggadaikan SK berbuntut panjang. Karena kini, dia harus menanggung cicilan per bulan. Dan setiap masa gajian tiba, Pardi hanya bisa mengelus dada karena sisa fulus di dompetnya tak lebih dari Rp100 ribu saja.
“Saya sudah menjaminkan SK saya, sejak pertama diterima PNS, dan masih berstatus CPNS,” aku Pardi kepada wartawan Radar Bogor (Grup JPNN).
Pardi yang lulus tes CPNS lima tahun lalu, kini bergaji pokok lebih kurang Rp2,2 juta. Selain untuk biaya menikah, SK CPNS diagunkan ke bank karena ia membutuhkan dana segar untuk membeli kendaraan dan keperluan hidup lainnya. “Rata-rata SK CPNS saat itu dihargai bank lebih kurang dari Rp50 juta,” paparnya.
Tak sampai di situ, setahun kemudian, setelah masa prajabatan dan mendapatkan SK PNS, Pardi kembali mengagunkan SK-nya. Kali ini dengan nilai yang lebih besar.
BACA JUGA: Posko Damkar Hanya 2, Angka Kebakaran di Tangsel Meningkat
“Saya ingin membeli rumah dan perlu uang muka. SK PNS itu dihargai Rp100 juta-an, dipotong sisa pinjaman saya ketika meminjam sebelumnya. Rata-rata bank menawarkan jangka waktu 10 tahun dengan cicilan sekitar Rp1,7 juta-an atau lebih,” akunya.
Dengan setumpuk pinjaman, gaji pokok Pardi per bulan habis untuk membayar cicilan. Sudah pasti duit yang diterimanya tak cukup untuk biaya hidup. Pardi terpaksa mencari pemasukan tambahan di luar jam kerja. “Ya, mau tak mau saya cari sampingan,” beber ayah dua anak tersebut.
Pardi mengaku duit gaji dan tunjangan masih belum menutupi ongkos hidup keluarga kecilnya. Untuk diketahui, di luar gaji, para PNS mendapat berbagai tunjangan tergantung kemampuan daerah dan jabatan PNS masing-masing. Biasanya, PNS struktural di provinsi dengan pendapatan daerah yang tinggi mendapat tunjangan sekitar Rp2,5 juta. Sedangkan untuk PNS profesional terkadang mendapat lebih karena adanya tunjangan profesi. Sementara PNS di tingkat kabupaten rata-rata mendapat tunjangan Rp1,3 juta.
Seperti halnya para PNS, SK pengangkatan layaknya senjata kedua bagi para anggota Kepolisian Republik Indonesia. Entah karena kebutuhan mendadak, atau sekadar ingin bergaya hidup sedikit mewah, tak jarang anggota Korps Bhayangkara mengagunkan SK mereka.
Itu diakui Simon (bukan nama sebenarnya) anggota kepolisian di jajaran Polres Bogor Kota. Dia mengaku sudah mengagunkan SK-nya untuk membeli kendaraan roda dua. “Ya, untuk menunjang kinerja, kan nggak pede kalau masih pakai motor yang biasa. Teman-teman saya juga banyak (menggadaikan SK untuk membeli motor),” tuturnya.
Gaji habis untuk membayar cicilan diakui Simon sebagai resiko yang harus ditempuh demi kenyamanan yang didapat. “Walaupun gaji yang saya terima tambah kecil, tak masalah. Toh saya belum menikah,” jawabnya.
Memang, hampir 80 persen anggota Polres Bogor Kota telah menggadaikan SK-nya untuk mencari pinjaman dana segar ke bank. Bahkan ada beberapa anggota yang gajinya hanya tinggal setengah dari gaji pokok.
“Tak bisa dipungkiri, banyak anggota kami yang mengagunkan SK-nya ke bank demi kebutuhan hidup,” aku Kapolres Bogor Kota AKBP Bahtiar Ujang Purnama kepada Radar Bogor kemarin.
Gaji pokok anggota kepolisian sekelas perwira pertama dengan pangkat Ipda, minimal menerima gaji pokok sebesar Rp2.457.000. Jika SK mereka telah digadaikan, rata-rata mereka hanya menerima sekitar Rp1,2 juta per bulan. Bahkan ada yang gajinya tersisa hanya Rp65 ribu-Rp100 ribu per bulan.
“Rata-rata yang mengagunkan SK-nya karena alasan menikah, membeli motor, dan alasan lainnya. Tapi saya sudah tegaskan, potongan agunan tidak boleh lebih dari setengah gaji yang mereka terima setiap bulan,” bebernya.
Bayangkan saja, lanjut Bahtiar, bagaimana mungkin anggota polisi hidup dengan Rp100 ribu per bulan, sementara masih harus membiayai anak dan istri ditambah kebutuhan pokok yang harganya terus merangkak naik. Tentu keuangan yang minim akan mempengaruhi kinerja sebagai abdi negara.
BACA JUGA: Sindikat PMKS Merajalela, Hasil Razia Didominasi Wajah Lama
"Kenyataannya, banyak anggota yang gajinya sampai minus," kata Bahtiar, yang kini merangkap jabatan sebagai Wakapolres Jakarta Barat.
Bahtiar khawatir, jika gaji anggota polisi tinggal sedikit dan tak ada penghasilan lain di luar gaji, maka akan berdampak negatif. Ini, diakuinya, kerap menjadi musabab anggota yang terkena pelanggaran disiplin.
“Melihat kenyataan yang ada, kami melakukan pengetatan bagi setiap anggota yang mengajukan pinjaman di bank dengan agunan SK anggota Polri. Langkah ini kami tempuh agar para anggota tidak terikat hutang,” cetusnya.
Dia menambahkan, sebagai Kapolres, selayaknya tidak mudah mengabulkan atau menandatangani setiap berkas pengajuan anggota untuk mencari hutang di bank. Pihak bank juga harus melakukan pemeriksaan silang, terkait sisa tunggakan kredit yang pernah diajukan calon peminjam.
“Pengetatan itu semata-mata untuk kebaikan anggota sendiri. Tidak mempersulit, tapi mengatur agar kelangsungan anggota dalam bertugas dan kehidupan berkeluarga berjalan ideal,” tandasnya.(ind/c)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terjadi Pemadaman Bergilir, PLN Minta Warga Jabodetabek Bersabar
Redaktur : Tim Redaksi