jpnn.com - Si Cantik 5 'i' kemarin minta saran saya: apakah perlu mengadukan Heryanty ke polisi.
Saya pun menjawab: urusan Anda dengan Heryanty itu sebenarnya sepenuhnya bersifat perdata.
BACA JUGA: Tersangka 2 T
Memang kalau dicari-cari bisa saja ditemukan unsur pidana, tetapi pada dasarnya yang seperti itu bukan urusan polisi.
Si Cantik kemudian mengakui: uang Rp 3 miliar yang dipinjamkan ke Heryanty itu untuk menjalankan bisnis. Heryanty punya bisnis ekspedisi. Juga bisnis pengadaan barang/jasa.
BACA JUGA: Harapan 2 T
Si Cantik, yang pernah jadi remaja paling top se-Indonesia itu, juga mengakui bahwa Heryanty selalu ingkar janji. Ketika uang itu dia minta, Heryanty mengatakan uangnya masih terpakai di tempat lain: untuk mengurus penarikan uang ayahnya dari Singapura.
Awalnya, kata Si Cantik yang punya keahlian khusus ini, bisnis ekspedisi dan pengadaan barang Heryanty sangat baik.
BACA JUGA: Perjuangan 2 T
"Sejak pandemi benar-benar hancur," ujarnya. Demikian juga bisnis pengadaan barangnya yang di Jakarta.
Si Cantik yang punya anak tiga orang, bersahabat sangat dekat dengan Heryanty yang punya anak satu orang. Silvy, yang terkenal di medsos itu, yang mejeng di pesawat pribadi dengan jam tangan seharga Rp 2,5 miliar itu, bukan anak Heryanty.
Dia adalah anak kakak Heryanty –berarti keponakannya.
Sebagai sahabat dekat, Heryanty pernah bercerita bahwa bisnis pengadaan barangnya sukses. Di Jakarta. Sampai menembus Istana –sejak dulu.
Maka kalau tahun lalu ada pengusaha yang mengadukan Heryanty ke Polda Metro Jaya tak lain juga terkait dengan proyek pengadaan itu.
Nama pengusaha yang mengadu itu: Ju Bang Kioh. Bang Kioh mengadukan Heryanty karena merasa ditipu Rp 6 miliar.
Kaitannya dengan proyek pengadaan barang di Istana. Proyek itu ternyata tidak ada, kata pengaduan itu. Uang Rp 6 miliar tersebut, katanya, habis untuk mengurus penarikan dana ayah Heryanty (Akidi Tio) di Singapura.
Coba tidak pandemi, saya ingin ke Singapura. Ingin menelusuri sendiri dana itu. Saya punya network di sana. Saya sudah tahu ke bank mana Heryanty mengurus dana itu. Saya juga tahu bank tersebut sekarang menjadi anak perusahaan bank yang sangat besar di Singapura.
Perkiraan saya: Pak Aki punya bisnis di Singapura –juga di Hong Kong.
Bagi orang Tionghoa kaya Palembang, punya bisnis di Singapura bukan barang baru. Ada orang Palembang yang sangat terkenal di Palembang dan di Singapura. Juga di Jakarta. Namanya Tong Djou. Saya juga kenal baik dengan Tong Djou –sebelum meninggal dua tahun lalu.
Aki adalah pengusaha angkatan Tong Djou. Generasi sekarang tidak kenal nama itu. Namun, di generasi saya, siapa yang tidak tahu Tong Djou: ia pengusaha minyak yang dibesarkan oleh Dirut Pertamina Ibnu Sutowo.
Perkiraan saya: Aki punya beberapa partner di bisnis itu. Namun, Aki kan sudah meninggal 12 tahun lalu.
Berarti selama, setidaknya, 12 tahun terakhir perusahaan itu berjalan tanpa Aki. Setidaknya sudah 12 tahun pula tidak ada yang mewakili Aki dalam setiap RUPS di perusahaan itu. Padahal RUPS adalah lembaga tertinggi di sebuah perusahaan. Bisa memutuskan apa saja.
Perkiraan saya: Aki bukan pemegang saham mayoritas di perusahaan itu. Sehingga RUPS selalu sah tanpa kehadiran Aki. Tentu undangan RUPS untuk Aki sudah selalu dikirim. Ke alamat Aki yang didaftarkan ke perusahaan.
Tentu Aki memakai alamat di Singapura. Entah di alamat mana. Hanya perusahaan itu yang tahu.
Bisa saja Aki memakai alamat kantor pengacara di sana. Biasa seperti itu. Kira-kira 30 tahun lalu saya juga punya perusahaan di Singapura –alamat Singapura saya juga di kantor pengacara.
Dua belas tahun itu lama sekali. Saya bisa membayangkan apa saja yang terjadi di perusahaan itu selama 12 tahun. Bisa saja saham Aki sudah hilang atau dihilangkan. Itu mudah. Apalagi kalau lewat hostile.
Perkiraan saya: salah satu pemegang saham di perusahaan itu juga kecewa. Yang kecewa itulah yang memberi tahu anak-anak Aki: "papamu punya harta di Singapura".
Perkiraan saya: anak-anak Aki lantas mulai mengurus harta itu. Namun, masalahnya tidak sederhana. Lalu enam anak Aki menyerah. Ruwet. Tidak mau lagi mengurusnya.
Tinggal Heryanty sendiri yang masih bersemangat. Biar pun perlu biaya mahal.
Biaya itu bukan untuk nyogok. Tidak ada budaya sogok di Singapura.
Namun, Heryanti harus menyewa pengacara. Yang biayanya dihitung berdasarkan jam itu. Mereka senang saja Anda minta pandangan sebanyak-banyaknya dari pengacara. Kian lama kian baik –argometernya jalan terus.
Penjelasan pengacara itu bisa saja kian membuat Heryanti punya harapan besar. Lalu diuruslah bersama pengacara itu: argometer jalan terus.
Perkiraan saya: Heryanty kecewa dengan pengacara yang pertama. Lalu kenal pengacara lainnya. Yang memberi harapan lebih besar. Heryanty pun ganti pengacara. Harus diskusi lagi dengan pengacara baru berjam-jam –argometer jalan terus.
Saya tidak berani memperkirakan apakah Heryanty juga kecewa dengan pengacara kedua. Sehingga harus mencari pengacara ketiga dan seterusnya.
Yang jelas nasib Heryanty berakhir di kantor polisi, Senin siang lalu. Dia dinyatakan sebagai tersangka. Saya tidak tahu yang mana yang dianggap kriminal. Apakah orang mau menyumbang, lalu tidak jadi menyumbang itu perbuatan pidana?
Senin sore Heryanty tidak jadi berstatus tersangka. Kahumas Polda Sumsel menegaskan Heryanty belum tersangka. Lalu jam 23.00 Heryanti dibolehkan meninggalkan kantor polisi.
Kemarin, Selasa pagi, banyak polisi di rumah Heryanti. Juga ada sebuah ambulans di depan rumah itu. Selasa kemarin seharusnya Heryanty kembali ke kantor polisi. Diperiksa lagi.
Namun, Heryanti sakit. Sakit polip-nya kambuh.
Mestinya, Selasa kemarin, uang Si Cantik Rp 3 miliar juga cair –sesuai janji terbaru Heryanty lewat telepon sembunyi-sembunyi dari kantor polisi.
Karena polip, Heryanty urung diperiksa. Juga karena polip, Heryanty tidak bisa sembunyi-sembunyi lagi menelepon Si Cantik untuk menjanjikan uang itu cair kapan lagi. (*)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi