JAKARTA – Dewan Pimpinan Nasional Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI) dalam waktu dekat akan segera mengadu ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) atas tindakan Kepolisian Resort Kota Medan yang sampai saat ini masih menahan 44 mahasiswa, pasca demonstrasi menentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Langkah ini dilakukan karena terhitung hingga Senin (1/7) kemarin, Polresta Medan belum juga mengizinkan tim kuasa hukum menemui para mahasiswa yang ditahan sejak 17 Juni lalu. Padahal beberapa langkah telah dilakukan. Termasuk di antaranya SAKTI meminta Komnas HAM agar segera membentuk tim investigasi atas dugaan pelanggaran yang dilakukan Polresta Medan.
“Saya kira tindakan polisi yang menculik dan menyekap mahasiswa hingga detik ini bisa disebut 'police brutality'. Polisi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat ternyata telah menginjak-injak Konstitusi (UUD 1945), khususnya Pasal 28D, ayat (1) yang menyebut setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum,” ujar Sekretaris Jenderal SAKTI, Girindra Sandino kepada koran ini di Jakarta, Selasa (2/7) malam.
Selain itu, sikap Polresta Medan menurut Girindra juga diduga melanggar Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Dimana disebutkan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Sementara dalam ayat (2) dinyatakan, setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.
Girindra benar-benar mengaku tidak habis pikir dengan sikap Polresta Medan. Karenanya tidak heran jika menurutnya banyak kalangan menduga Polresta Medan tengah bereksperimen terhadap gerakan-gerakan yang dinilai kritis terhadap kebijakan penguasa yang tidak pro rakyat.
Untuk itu menghadapi situasi ini, SAKTI telah melakukan langkah lanjutan. Di antaranya terus berkonsolidasi dengan sejumlah masyarakat pergerakan lainnya. Demikian juga dengan para pengacara yang mengaku siap turun tanpa dibayar untuk membela hak-hak mahasiswa yang masih ditahan.
“Kami juga berencana mengadukan masalah ini ke Kompolnas dalam waktu dekat. Saya sepakat apa yang dibilang kawan-kawan lain, polisi sengaja menahan sewenang-wenang mahasiswa untuk menghilangkan barang bukti, menekan mahasiswa yang ditahan agar bisa mengarahkan ke siapa dalangnya (kambing hitam), juga meneror gerakan mahasiswa secara psikologis dengan mengeluarkan Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap beberapa orang lain. Mereka mahasiswa Bung, bukan teroris, mereka adik-adik kita yang juga punya hak,” tegasnya.
Ia berharap polisi dapat membuka akses bagi kuasa hukum, karena menurutnya penahanan yang dilakukan tanpa ada surat yang jelas, pendampingan hukum dan menutup akses semua pihak yang ingin mendampingi proses hukum. Padahal sebagai negara hukum, semua harus dilakukan sesuai prosedur ketentuan undang-undang yang berlaku di tanah air.
“Semua pihak harus memperhatikan ini, baik para akademisi, cendikiawan, tokoh-tokoh nasional, pendekar-pendekat HAM, karena kasus ini sudah mirip pelanggaran ham yang serius di Indonesia,” katanya.(gir/jpnn)
Langkah ini dilakukan karena terhitung hingga Senin (1/7) kemarin, Polresta Medan belum juga mengizinkan tim kuasa hukum menemui para mahasiswa yang ditahan sejak 17 Juni lalu. Padahal beberapa langkah telah dilakukan. Termasuk di antaranya SAKTI meminta Komnas HAM agar segera membentuk tim investigasi atas dugaan pelanggaran yang dilakukan Polresta Medan.
“Saya kira tindakan polisi yang menculik dan menyekap mahasiswa hingga detik ini bisa disebut 'police brutality'. Polisi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat ternyata telah menginjak-injak Konstitusi (UUD 1945), khususnya Pasal 28D, ayat (1) yang menyebut setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum,” ujar Sekretaris Jenderal SAKTI, Girindra Sandino kepada koran ini di Jakarta, Selasa (2/7) malam.
Selain itu, sikap Polresta Medan menurut Girindra juga diduga melanggar Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Dimana disebutkan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Sementara dalam ayat (2) dinyatakan, setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.
Girindra benar-benar mengaku tidak habis pikir dengan sikap Polresta Medan. Karenanya tidak heran jika menurutnya banyak kalangan menduga Polresta Medan tengah bereksperimen terhadap gerakan-gerakan yang dinilai kritis terhadap kebijakan penguasa yang tidak pro rakyat.
Untuk itu menghadapi situasi ini, SAKTI telah melakukan langkah lanjutan. Di antaranya terus berkonsolidasi dengan sejumlah masyarakat pergerakan lainnya. Demikian juga dengan para pengacara yang mengaku siap turun tanpa dibayar untuk membela hak-hak mahasiswa yang masih ditahan.
“Kami juga berencana mengadukan masalah ini ke Kompolnas dalam waktu dekat. Saya sepakat apa yang dibilang kawan-kawan lain, polisi sengaja menahan sewenang-wenang mahasiswa untuk menghilangkan barang bukti, menekan mahasiswa yang ditahan agar bisa mengarahkan ke siapa dalangnya (kambing hitam), juga meneror gerakan mahasiswa secara psikologis dengan mengeluarkan Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap beberapa orang lain. Mereka mahasiswa Bung, bukan teroris, mereka adik-adik kita yang juga punya hak,” tegasnya.
Ia berharap polisi dapat membuka akses bagi kuasa hukum, karena menurutnya penahanan yang dilakukan tanpa ada surat yang jelas, pendampingan hukum dan menutup akses semua pihak yang ingin mendampingi proses hukum. Padahal sebagai negara hukum, semua harus dilakukan sesuai prosedur ketentuan undang-undang yang berlaku di tanah air.
“Semua pihak harus memperhatikan ini, baik para akademisi, cendikiawan, tokoh-tokoh nasional, pendekar-pendekat HAM, karena kasus ini sudah mirip pelanggaran ham yang serius di Indonesia,” katanya.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Muratara Membara, 2 Kompi Tentara Diterjunkan
Redaktur : Tim Redaksi