”Sepanjang saya menjadi polisi dan penyidik, belum pernah ada tersangka maju (ke pengadilan) karena santet,” ujar Kombespol (purn) Alfons Loemau dalam sebuah diskusi di Jakarta kemarin (23/3).
Pria yang kini berprofesi advokat itu menyatakan, jika diundangkan, pasal santet bakal menimbulkan beragam tafsir yang menyulitkan penyidikan. Alat bukti yang terukur juga akan sulit didapatkan polisi. ”Penyidikan akan menjadi polemik yang tak berkesudahan,” ujarnya.
Alfons menambahkan, selama ini polisi bisa saja mengenakan pasal 378 KUHP untuk kejahatan santet. Itu adalah pasal yang mengatur penipuan. Namun, kata Alfons, pasal tersebut tetap tidak pas diterapkan karena bakal menimbulkan penafsiran berlebihan atas undang-undang. ”Jangan sampai kami dianggap membuat ketidakpastian hukum,” ujarnya.
Di tempat yang sama, pakar hukum pidana yang juga perumus revisi UU KUHP Andi Hamzah menyatakan, pasal 293 yang mengatur delik santet hanya dikenakan kepada orang yang mengumumkan dirinya memiliki kemampuan supranatural itu. ”Bukan persoalan santetnya, tapi mengumumkan kena pidana,” ujar Andi.
Menurut Andi, pidana santet bukan tergolong pidana material. Sebab, sifat pidananya sulit dibuktikan. Pidana santet bersifat formal seperti halnya penghasutan atau penghinaan.
Paranormal yang juga anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Permadi menilai, aturan pidana santet tidak boleh dilihat dari satu sisi. Santet seperti ilmu hitam memang merugikan, namun ada juga santet yang tujuannya menolong seseorang seperti pengobatan alternatif. ”Itu namanya juga santet. Jadi, harus dilindungi,” ujar Permadi.
Menurut Permadi, ahli hukum yang merumuskan pasal santet harus satu pendapat. Sebab, banyak juga yang menyatakan santet itu tidak ada. Jika dipastikan para ahli sepakat soal santet, Permadi mengusulkan agar pembahasan definisinya juga melibatkan ahli ilmu gaib itu.
”Timnya harus ada ahli santet. Karena dia tahu persis siapa yang menyantet. Termasuk untuk merumuskan definisi santet itu melenceng atau tidak. Karena banyak fitnah kepada penyantet,” ingatnya.
Anggota Komisi III DPR Achmad Dimyati Natakusumah menyatakan, DPR tidak akan begitu saja menerima pasal santet itu dalam pembahasan. ”Saat masuk ke DPR, tidak di-carry over. Akan dibahas ulang,” ujar Dimyati.
Menurut Dimyati, pasal 293 merupakan pasal promosi. Di Indonesia, kelebihan yang dimiliki seseorang itu dimanfaatkan untuk persaingan politik, persaingan figur publik. ”Yang dikaji DPR adalah delik formal. Kalau material susah pembuktiannya,” ujarnya.
Dimyati juga membantah kunjungan kerja Komisi III DPR ke empat negara di Eropa hanya membahas pasal santet. Menurut dia, pasal santet hanyalah satu bagian. Yang dibahas dalam kunjungan kerja adalah seluruh isi KUHP dan KUHAP sebagai bahan pertimbangan perumusan nanti.
”Kita ingin mendengar langsung ke sana. Lebih baik melihat sekali daripada harus mendengar berkali-kali,” ujarnya. (bay/c10/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Alasan Agenda Malam, SBY tak Saksikan Indonesia-Arab
Redaktur : Tim Redaksi