JAKARTA - Ketua MPR RI Taufiq Kiemas yang dikenal sebagai pencetus empat pilar bangsa, telah berpulang ke hadirat Allah SWT pada Sabtu, (8/6). Taufiq adalah salah satu pelaku sejarah yang sudah menjadi saksi atas berbagai peristiwa di bangsa ini.
Taufiq lahir di Jakarta, 31 Desember 1942 dengan nama asli Tastafvian Kiemas. Suami dari Presiden RI kelima, Megawati Soekarnoputri ini layak dicatat sebagai pelaku sejarah yang sangat menghargai pluralisme di Indonesia.
Ayahnya, Tjik Agus Kiemas dulu sampai menitikkan airmata ketika tahu putra sulung buah perkawinannya dengan Hamzatun Rusjda itu bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Padahal, Tjik Agus termasuk salah satu pentolan Masyumi.
Airmata dan kesedihan sang Ayah adalah taruhan pertama Taufiq ketika dia mencoba meleburkan dikotomi Islam versus nasionalisme di Indonesia. Sejak kecil, pengagum Bung Karno ini sudah terbiasa mendengar ayahnya menjelaskan tentang Islam. Ketika beranjak dewasa, dia merasa perlu memperluas wawasan dan membangun jaringan baru di organisasi yang sama sekali berbeda dengan yang didengar dari ayahnya sejak kecil.
Taufiq muda sering membina pergaulan lewat diskusi formal maupun informal, baik dalam partai maupun lintas partai. Yang selalu menjadi fokusnya adalah kepemimpinan nasional.
Adalah menarik menelah sejarah Taufiq dan keluarga Bung Karno masuk kembali ke panggung politik nasional di era Orde Baru, hingga akhirnya keluarga ini memimpin PDI Perjuangan. Jauh sebelum bergabung dengan PDI pimipinan Soerjadi di era Orde Baru, Taufiq pernah dua kali mendekam di balik terali besi karane sikap politiknya.
Ceritanya bermula ketika Taufiq menjadi Ketua GMNI Palembang, pada saat yang bersamaan di Jakarta meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S PKI).
Banyak orang ramai mengganyang PKI di daerah, termasuk oleh GMNI Palembang. Garis politik organisasi ini saat itu membela Bung Karno mati-matian. Akibatnya, GMNI Palembang tanpa komando Taufiq membakar koran Noesa Poetra edisi 9 Maret 1966 karena memberitakan Soekarno terlibat Gestapu (G 30 S PKI).
Tapi setelah itu mereka bingung siapa yang harus bertanggungjawab atas pembakaran koran milik Partai Syarikat Islam Indonesia itu. Tapi Taufiq yang kemudian maju dan bertanggungjawab atas kejadian itu, meski tidak pernah memberi komando pembakaran. Padahal, saat itu risiko politik atas pengakuannya sangat berat. Isu anti-PKI waktu itu beralih menjadi anti-Soekarno. Tentara terutama TNI-AD sudah berpihak pada kelompok anti-Soekarno. Inilah yang membuat Taufiq akhirnya ditangkap dan dipenjara selama setahun di Palembang.
Namun, hikmahnya selama di penjara, Taufiq justru belajar tentang solidaritas dan kepedulian besar pada orang susah. Suatu pelajaran yang sering diakuinya sangat berharga ketika ia mendampingi sang istri Megawati menjadi Presiden negeri ini.
Setahun di penjara, Taufiq dibebaskan dengan syarat harus meninggalkan Palembang menuju Jakarta. Di ibu kota negara, Taufiq heran karena politik sudah berubah akibat Soeharto sudah menancapkan kuku kekuasaannya.
Namun, Taufiq tetap membina jaringannya yang pro-Soekarno, termasuk dengan militer yang Soekarnois. Intel Orde Baru mencium gerakan Taufiq, sehingga ayah Puan Maharani itu kembali menghuni hotel prodeo. Tahun 1971 ia dibebaskan lalu "ditampung" oleh Kepala Bakin Sutopo Juwono. Di situlah bermula Taufiq dan rekan-rekannya tetap aktif kegiatan kemahasiswaan.
Taufiq pernah menyebut bahwa jika berpolitik, seseorang harus banyak strategi, termasuk tidak bersikap apriori pada musuh sekalipun. Taufiq kerap mengajarkan pada orang terdekatnya untuk menghargai pendapat orang lain, terlepas dari ideologi, agama atau usia yang berbeda. Sikap ini yang membuat Taufiq terbuka kepada siapapun.(flo/jpnn)
*Disarikan dari kata pengantar Pramono Anung Wibowo dalam buku "Taufiq Kiemas di Mata Tokoh Islam" terbitan Baitul Muslimin Indonesia
Taufiq lahir di Jakarta, 31 Desember 1942 dengan nama asli Tastafvian Kiemas. Suami dari Presiden RI kelima, Megawati Soekarnoputri ini layak dicatat sebagai pelaku sejarah yang sangat menghargai pluralisme di Indonesia.
Ayahnya, Tjik Agus Kiemas dulu sampai menitikkan airmata ketika tahu putra sulung buah perkawinannya dengan Hamzatun Rusjda itu bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Padahal, Tjik Agus termasuk salah satu pentolan Masyumi.
Airmata dan kesedihan sang Ayah adalah taruhan pertama Taufiq ketika dia mencoba meleburkan dikotomi Islam versus nasionalisme di Indonesia. Sejak kecil, pengagum Bung Karno ini sudah terbiasa mendengar ayahnya menjelaskan tentang Islam. Ketika beranjak dewasa, dia merasa perlu memperluas wawasan dan membangun jaringan baru di organisasi yang sama sekali berbeda dengan yang didengar dari ayahnya sejak kecil.
Taufiq muda sering membina pergaulan lewat diskusi formal maupun informal, baik dalam partai maupun lintas partai. Yang selalu menjadi fokusnya adalah kepemimpinan nasional.
Adalah menarik menelah sejarah Taufiq dan keluarga Bung Karno masuk kembali ke panggung politik nasional di era Orde Baru, hingga akhirnya keluarga ini memimpin PDI Perjuangan. Jauh sebelum bergabung dengan PDI pimipinan Soerjadi di era Orde Baru, Taufiq pernah dua kali mendekam di balik terali besi karane sikap politiknya.
Ceritanya bermula ketika Taufiq menjadi Ketua GMNI Palembang, pada saat yang bersamaan di Jakarta meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S PKI).
Banyak orang ramai mengganyang PKI di daerah, termasuk oleh GMNI Palembang. Garis politik organisasi ini saat itu membela Bung Karno mati-matian. Akibatnya, GMNI Palembang tanpa komando Taufiq membakar koran Noesa Poetra edisi 9 Maret 1966 karena memberitakan Soekarno terlibat Gestapu (G 30 S PKI).
Tapi setelah itu mereka bingung siapa yang harus bertanggungjawab atas pembakaran koran milik Partai Syarikat Islam Indonesia itu. Tapi Taufiq yang kemudian maju dan bertanggungjawab atas kejadian itu, meski tidak pernah memberi komando pembakaran. Padahal, saat itu risiko politik atas pengakuannya sangat berat. Isu anti-PKI waktu itu beralih menjadi anti-Soekarno. Tentara terutama TNI-AD sudah berpihak pada kelompok anti-Soekarno. Inilah yang membuat Taufiq akhirnya ditangkap dan dipenjara selama setahun di Palembang.
Namun, hikmahnya selama di penjara, Taufiq justru belajar tentang solidaritas dan kepedulian besar pada orang susah. Suatu pelajaran yang sering diakuinya sangat berharga ketika ia mendampingi sang istri Megawati menjadi Presiden negeri ini.
Setahun di penjara, Taufiq dibebaskan dengan syarat harus meninggalkan Palembang menuju Jakarta. Di ibu kota negara, Taufiq heran karena politik sudah berubah akibat Soeharto sudah menancapkan kuku kekuasaannya.
Namun, Taufiq tetap membina jaringannya yang pro-Soekarno, termasuk dengan militer yang Soekarnois. Intel Orde Baru mencium gerakan Taufiq, sehingga ayah Puan Maharani itu kembali menghuni hotel prodeo. Tahun 1971 ia dibebaskan lalu "ditampung" oleh Kepala Bakin Sutopo Juwono. Di situlah bermula Taufiq dan rekan-rekannya tetap aktif kegiatan kemahasiswaan.
Taufiq pernah menyebut bahwa jika berpolitik, seseorang harus banyak strategi, termasuk tidak bersikap apriori pada musuh sekalipun. Taufiq kerap mengajarkan pada orang terdekatnya untuk menghargai pendapat orang lain, terlepas dari ideologi, agama atau usia yang berbeda. Sikap ini yang membuat Taufiq terbuka kepada siapapun.(flo/jpnn)
*Disarikan dari kata pengantar Pramono Anung Wibowo dalam buku "Taufiq Kiemas di Mata Tokoh Islam" terbitan Baitul Muslimin Indonesia
BACA ARTIKEL LAINNYA... Merasa Kehilangan Politisi yang Mengayomi
Redaktur : Tim Redaksi