jpnn.com - JAKARTA—Pihak kepolisian bertindak cepat menyikapi desakan Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) yang meminta aparat menertibkan penggunaan penguat sinyal (repeater) ilegal.
Tatok Sudjiarto, penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri, mengatakan, kepolisian sudah menerjunkan tim khusus kejahatan di bidang telekomunikasi bekerjasama dengan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
BACA JUGA: Wajib Dibentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rusun
“Diminta atau tidak diminta, kami siap bertindak jika ada pihak yang memperoleh keuntungan dengan cara merugikan orang lain,” ujar Tatok Sudjiarto, usai menjadi pembicara pada diskusi terkait repeater ilegal di Jakarta.
Hanya saja Tatok menegaskan bahwa polisi bertindak jika memang benar-benar ada bukti pelanggaran. “Barang siapa (orang atau badan usaha) dengan sengaja dan terbukti menggunakan penguat sinyal tanpa sertifikat dari Kominfo sehingga merugikan orang lain, maka bisa dilakukan langkah hukum,” ujarnya.
BACA JUGA: Haagen-Dazs Hadirkan Ice Cream Sensasional
Dijelaskan, polisi dalam menindak kasus repeater ilegal ini berpedoman pada UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi. “Setidaknya ada tiga pasal yang bisa digunakan untuk mempindanakan para pelaku kejahatan repeater ilegal ini,” ujarnya.
Totok menjelaskan, Pasal 32 ayat 1 UU Telekomunikasi menjelaskan bahwa perangkat telekomunikasi ilegal yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara RI tidak memperhatikan persyaratan teknis dan tidak berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BACA JUGA: Logo SNI Palsu Banyak Beredar, Ini Cara Membedakan
Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Muhammad Budi Setiawan mengamini langkah polisi ini.
Budi mengaku bahwa Kominfo telah menindaklanjuti laporan operator tentang repeater ilegal dengan memproses importir alat penguat sinyal untuk dibawa ke meja hijau. “Sudah ada yang tertangkap dan sedang diberkas untuk masuk segera P21. Ini untuk shock terapi, bahwa kita tidak main-main,” tegasnya.
Saksi yang disiapkan oleh Kemenkominfo cukup berat, yakni berbentuk denda sebesar Rp 600 juta atau pidana kurungan selama 6 bulan. Namun, menurut Budi angka Rp 600 juta bukanlah jumlah yang besar bagi importir. “Pengusaha besar bayar 600 kan kecil. Nanti kita lihat undang-undang supaya bisa kita naikkan (denda) hukuman maksimalnya,” jawab Budi.
Dia sangat menyayangkan sikap masyarakat yang menggunakan penguat sinyal di lokasi padat penduduk. Budi menganjurkan kepada pengguna repeater ilegal untuk segera menon-aktifkan alat tersebut karena bertentangan dengan regulasi yang berlaku. "Secara undang-undang itu menyalahi karena dia menggunakan frekuensi yang mengganggu frekuensi sekitarnya," ujar Budi.
Seperti diketahui, penggunaan repeater ilegal ini mulai marak sejak tahun 2011. Akibatnya terganggunya sinyal yang cukup meresahkan para pengguna telepon seluler. Ini antaran banyak masyarakat yang memasang penguat sinyal atau repeater ilegal di tempat umum untuk menunjang kelancaran komunikasi mereka. Parahnya masyarakat tidak tahu bahwa hal tersebut melanggar peraturan telekomunikasi.
Kondisi ini menuntut perjuangan ekstra dari Kemenkominfo, instansi dan kementerian terkait untuk bertindak. "Kita tertibkan di lapangan langsung lewat balmon (balai monitoring) yang punya penyidik pegawai negeri sipil. Dengan kementerian perdagangan untuk mengendalikan barang dan Polri," pungkas Budi. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jelang Ramadan, Daging Ayam Naik Gope Tiap Hari
Redaktur : Tim Redaksi