Potensi Tunda Bayar Pajak Capai Triliunan

Jika MK Kabulkan Gugatan UU KUP

Rabu, 04 Juli 2012 – 18:58 WIB

JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyidangkan perkara pengujian Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Persidangan mendengarkan keterangan ahli yang diajukan pihak pemerintah. Antara lain Abdul Hakim Garuda Nusantara.

Abdul menilai, kedua pasal yang digugat itu sejatinya  telah memenuhi asas-asas keseimbangan, kepastian hukum, keadilan,  dan perlindungan hukum.

“Dengan terang-benderang pasal-pasal a quo dalam undang-undang a quo menyerasikan antara tuntutan kepastian hukum, efisiensi, dan efektivitas dalam pemungutan pajak dengan cara menghindari penundaan pembayaran pajak yang tidak patut,” kata Abdul Hakim.

Pasal 25 ayat (9) UU KUP menyatakan, “Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.”

Kemudian Pasal 27 ayat (5) huruf d menyatakan: “Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.”

Abdul menilai, pasal yang digugat itu justru memberikan keadilan dan perlindungan hukum kepada wajib pajak dari kemungkinan kesewenangan, ketidaktelitian, kealpaan aparat pajak dengan cara memberikan peluang kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan atas surat ketetapan pembayaran pajak.

Karenanya, Abdul menyatakan, ketentuan di Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) UU KUP harus tetap dipertahankan karena tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.

Dia mengingatkan, jika kedua pasal itu dihapus, maka akan berdampak buruk.  “Hilangnya kedua pasal tersebut, hilangnya kekuatan konstitusional kedua pasal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya penundaan pembayaran pajak besar-besaran oleh wajib pajak. Serta potensi penerimaan pajak yang akan tertunda adalah puluhan triliun rupiah," ujarnya.

Pemohon pengujian perkara ini adalah  Direktur PT Hutahaean, Harangan Wilmar Hutahaean. (ras/sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Diskon Gila-gilaan di PRJ


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler