Potret Suram TPS Lokasi Khusus di Kampus Jogja

Kamis, 20 Juli 2023 – 12:48 WIB
Ilustrasi Kantor KPU Kota Yogyakarta. Foto: Januardi Husin/JPNN

jpnn.com - Keberadaan TPS Lokasi Khusus di kampus adalah jawaban untuk melindungi hak suara mahasiswa. Namun, jumlah TPS Khusus dan daftar pemilih mahasiswa pada perguruan tinggi di Jogja masih mengecewakan.

Januardi Husin, Yogyakarta

BACA JUGA: Seluruh Parpol Telah Serahkan Berkas Perbaikan Bakal Caleg ke KPU

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang banyak dihuni oleh mahasiswa. Mengacu pada data dari Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah V Yogyakarta, total ada 105 perguruan tinggi di DIY. Pada 2020, tercatat ada 387.319 mahasiswa di Kota Pelajar.

Berdasarkan kelompok usia, mahasiswa merupakan calon pemilih potensial yang masuk kategori pemilih muda. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mencatat, jumlah pemilih muda di Indonesia mencapai 107 juta orang atau 53-55 persen dari total daftar pemilih tetap.

BACA JUGA: DPT Pemilu 2024 Didominasi Pemilih Milenial

Kelompok pemilih muda dari kalangan mahasiswa punya masalah yang kerap ditemui setiap perhelatan pemilu, salah satunya adalah potensi hilangnya hak suara mereka.

Terlebih lagi, pemilu di Indonesia diselenggarakan tanpa mempertimbangkan masa liburan sekolah atau libur semester di perguruan tinggi. Hari H Pemilu 2019 misalnya, diselenggarakan pada 17 April.

BACA JUGA: KPU Siapkan Portal Cek DPT Online, Warga Bisa Periksa

Pemilu 2024 akan berlangsung pada 14 Februari. Sebagian kampus sudah memasuki masa libur semester, tetapi tidak sedikit juga yang masih dalam masa perkuliahan.

Mahasiswa luar DIY sebetulnya bisa menggunakan hak pilih mereka di Jogja, asal memiliki surat pindah memilih atau yang dahulu dikenal dengan formulir model A5. Jika tak memiliki surat pindah memilih, mahasiswa hanya bisa memilih di tempat pemungutan suara (TPS) di daerah masing-masing.

Ketua KPU DIY Hamdan Kurniawan mengatakan pada Pemilu 2019 tercatat ada 57.319 orang yang mengajukan surat pindah memilih di Jogja. Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa luar daerah yang ingin menggunakan hak pilih di Kota Pelajar.

“Sebagian besar pengajuannya memang dari Kota Jogja, Sleman dan Bantul karena di sana banyak kampus,” kata Hamdan kepada JPNN.

Berdasarkan data dari KPU DIY, pada Pemilu 2019 terjadi 27 kali pemungutan suara ulang (PSU) di lima kabupaten/kota. Salah satu pemicunya adalah banyaknya pemilih dari luar daerah yang menggunakan hak pilih mereka hanya bermodalkan KTP Elektronik, tanpa menunjukkan formulir pindah memilih.

Saat itu, banyak petugas panitia pemungutan suara mengizinkan mahasiswa untuk memilih dengan KTP Elektronik.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengizinkan PSU jika terjadi bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan.

Selain itu, diizinkan PSU jika di TPS tersebut ada pemilih yang tidak terdaftar sebagai daftar pemilih tetap (DPT), daftar pemilih khusus (DPK) atau daftar pemilih tambahan (DPTb).

Persoalan PSU di DIY sebetulnya bisa diatasi dengan menyediakan TPS lokasi khusus.  TPS lokasi khusus selama ini sering dijumpai di tempat-tempat berkumpulnya komunitas masyarakat lintas daerah, misalnya di lembaga pemasyarakatan, rutan, panti atau di lokasi rehabilitasi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

Keberadaan TPS Khusus diatur dalam Peraturan KPU Nomor 7 tahun 2022 tentang Penyusunan Daftar Pemilih Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Dan Sistem Informasi Data Pemilih.

Pasal 179 menjelaskan bahwa TPS lokasi khusus bisa dibuat dengan beberapa kriteria, seperti terdapat pemilih yang pada hari pemungutan suara tidak bisa menggunakan hak pilihnya sesuai dengan domisili di KTP elektronik, pemilih tersebut terkonsentrasi di suatu tempat, dan jumlah pemilih dapat dibentuk paling sedikit satu TPS.

Pada Pemilu 2024, perguruan tinggi bisa mengusulkan pembentukan TPS Khusus untuk memfasilitasi mahasiswa mereka menggunakan hak pilihnya.

Kampus yang memilki daftar potensial pemilih lebih dari 100 orang punya kesempatan untuk mengusulkan pembentukan TPS Khusus.

KPU DIY telah menetapkan bahwa pada Pemilu 2024 akan ada 11.917 TPS, tersebar di lima kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut, 85 di antaranya berupa TPS Lokasi Khusus di rutan, lapas, panti, pondok pesantren dan kampus.

“Total jumlah pemilih di TPS Khusus di DIY ada 18.241 orang,” kata Hamdan.

Dia menjelaskan bahwa sejak akhir 2022 KPU DIY mengundang semua perwakilan lembaga yang berpotensi mendirikan TPS Khusus.

KPU DIY menjelaskan berbagai regulasi baru terkait TPS Khusus, termasuk syarat-syarat jika ada lembaga yang ingin membentuknya.

“Kami menyampaikan informasi bahwa dimungkinkan dibentuk TPS Khusus dengan beberapa syarat, misalnya di lembaga tersebut ada penanggung jawabnya. Seandainya dirasa perlu, mereka kemudian mengirimkan surat persetujuan dan daftar nama calon pemilih di TPS Khusus,” ujar Hamdan.

KPU DIY kemudian menyerahkan teknis pembentukan TPS Khusus kepada KPU kabupaten/kota untuk berkoordinasi langsung dengan lembaga terkait.

Menurut Hamdan, KPU DIY memberi perhatian terhadap keberadaan TPS Khusus di lingkungan perguruan tinggi karena Jogja lekat dengan label Kota Pelajar.

Di Jogja ada ratusan ribu mahasiswa luar DIY yang harus dijaga hak pilihnya.

“Setelah mengundang rektorat, kami juga mengundang seluruh perwakilan BEM (badan eksekutif mahasiswa), biar nyambung. Respons dan sambutan mereka cukup baik,” ujarnya.

Hamdan menilai antusiasme memilih mahasiswa di Jogja cukup tinggi. Bisa dilihat dari banyaknya jumlah DPTb pada Pemilu 2019.

Dahulu, banyak mahasiswa yang protes kepada KPU karena mereka tidak berkesempatan memilih pada Pemilu 2019.

Oleh karena itu, menurut Hamdan, keberadaan TPS Khusus di lingkungan kampus sangat signifikan agar hak pilih mahasiswa terjamin.

“Pada dasarnya, kami ingin memfasilitasi hak pilih. Secara regulasi memungkinkan, kami tawarkan, selebihnya tergantung masing-masing kampus,” katanya

Jika terdaftar sebagai pemilih di TPS Khusus, hak pilih mahasiswa terjamin dengan ketersediaan paling tidak satu surat suara. Akan lebih baik dibandingkan memilih menggunakan formulir A5 dengan memakai surat suara tambahan yang jumlahnya hanya dua persen dari total daftar pemilih tetap di tiap-tiap TPS.

Jika setiap TPS menggunakan angka maksimal 300 pemilih, daftar pemilih khusus dan daftar pemilih tambahan hanya bisa menggunakan enam surat suara.

Hamdan yakin pada Pemilu 2024 jumlah pengajuan surat pindah memilih tak akan jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya. Terlebih lagi, akan ada gelombang mahasiswa baru yang masuk ke Jogja.

“Pengalaman 2019, permintaan surat pindah memilih berlangsung menjelang hari H pemilu,” katanya.

Ketua Divisi Perencanaan Data dan Informasi KPU Kabupaten Bantul Wuri Rahmawati mengatakan keberadaan TPS Khusus di lingkungan kampus adalah hasil dari evaluasi Pemilu 2019.

Banyaknya jumlah DPTb di kota-kota dengan populasi mahasiswa yang besar, membuat KPU sadar bahwa hak pilih pelajar perlu difasilitasi.

“Banyak DPTb yang tidak bisa memilih karena kehabisan surat suara. Mahasiswa demo karena hak pilih mereka tidak terfasilitasi,” kata Wuri kepada JPNN.

Dia berharap banyak mahasiswa yang mendaftar di TPS Khusus sehingga logistik dan surat suara mereka terjamin. Dengan begitu, akses DPTb bisa dimanfaatkan oleh mahasiswa baru yang tidak sempat mendafar sebagai daftar pemilih di TPS Khusus.

“Arahnya ke sana. Bayangkan jika tiap kampus punya minimal sepuluh TPS Khusus, paling tidak akan memperkecil peluang hilangnya hak suara mahasiswa lewat jalur DPTb,” tuturnya.

Ketua Divisi Perencanaan Data dan Informasi KPU Kota Yogyakarta Siti Nurhayati mengatakan bahwa pemilu bukan hanya hajat pihak penyeleggara, tetapi milik seluruh elemen masyarakat.

Dia berharap setiap orang sadar akan hak-hak politiknya, termasuk bagaimana mahasiswa menjaga hak pilih mereka.

“Jogja itu Kota Pelajar. Banyak mahasiswa luar DIY. Jika tidak terfasilitasi di TPS Khusus, hak suara bisa hilang. Kalaupun pakai surat pindah memilih, sangat terbatas karena hanya dua persen,” ujarnya.

Jumlah TPS Khusus di Lumbung Mahasiswa Jogja

Jumlah mahasiswa dan perguruan tinggi di DIY terkonsentrasi di Bantul, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Lebih dari 95 persen pengajuan formulir pindah memilih pada Pemilu 2019 juga berasal dari tiga daerah itu.

KPU kabupaten/kota setempat pun bekerja keras untuk meyakinkan pihak kampus agar membuka TPS Lokasi Khusus.

Di Kabupaten Bantul, jumlah TPS Khusus tersebar di sembilan lokasi dengan jumlah total 22 TPS. Pada Pemilu 2014, akan ada 4.105 pemilih yang berencana mencoblos di TPS Khusus.

Dari 22 TPS itu, hanya ada tiga TPS Khusus di lingkungan kampus, tersebar di tiga perguruan tinggi, yaitu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dan Institut Seni Indonsia (ISI) Yogyakarta. Padahal, Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah V Yogyakarta mencatat ada 24 kampus di Bantul.

“Selebihnya ada di Rutan Kelas IIB Bantul, Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha, Pondok Pesantren Islamic Centre Bin Baz, Pondok Pesantren An Nur, Ponpes Ali Maksum, Ponpes Al Munawwir,” kata Ketua Divisi Perencanaan Data dan Informasi KPU Kabupaten Bantul Wuri Rahmawati.

Kuota pemilih di tiga TPS itu pun tidak maksimal. Hanya 116 mahasiswa yang akan memilih di TPS Khusus UMY, 118 pemilih di UAD dan 262 pemilih di ISI Yogyakarta.

Wuri mengaku prihatin dengan sedikitnya jumlah TPS dan pemilih di kampus-kampus yang ada di Bantul. Dia mengatakan KPU sudah berusaha maksimal untuk mendorong setiap kampus membuka TPS Khusus. Kampus-kampus besar juga didorong agar membuka lebih dari dari satu TPS.

“Kami sudah sosialisasi dan berkoordinasi sejak Januari 2023, baru ditutup pertengahan Juni. Ternyata satu TPS bahkan tidak sampai 300, padahal ada ribuan mahasiswa,” ujarnya.

Wuri mengatakan TPS Khusus bersifat pengajuan dari lembaga yang bersangkutan. Setelah KPU menyosialisasikan regulasi, keputusan pada akhir berada di masing-masing lembaga. Penjaringan daftar pemilih juga diserahkan kepada pihak kampus.

Setelah rektorat setuju akan membuka TPS Khusus di lingkungan kampus mereka, bagian kemahasiswaan kemudian menjaring siapa saja yang akan menggunakan hak pilih di sana. Data-data tersebut lalu diserahkan ke KPU untuk diverifikasi.

Jika data-data mahasiswa itu sudah terverifikasi, KPU Bantul akan berkoordinasi dengan KPU kabupaten/kota lainnya untuk mencabut hak pilih yang bersangkutan di daerah asal.

“Kampus yang sudah kami undang, tetapi tidak membuat TPS Khusus, kan kami tidak bisa memaksa. Mereka tidak mengajukan, ya, sudah,” kata Wuri.

Menurut Wuri, pembentukan TPS Khusus di lingkungan kampus memang menjadi perhatian dan akan dievaluasi. KPU berharap banyak dengan keberadaan TPS Khusus agar persoalan hak pilih mahasiswa di Jogja bisa teratasi. 

“Saya sampai mengusulkan apakah perlu ada TPS Khusus corner, seperti biasanya kita buka A5 corner,” ujarnya.

Wuri mengaku tidak tahu pasti apa penyebab minimnya jumlah TPS Khusus di lingkungan kampus. Bisa karena keputusan rektorat yang tidak ingin membentuk TPS Khusus, bisa juga karena rendahnya animo pendaftar TPS Khusus di kampus.

Menurut dia, keinginan memilih mahasiswa cukup tinggi, tetapi tidak dibareng dengan kesadaran politik tentang bagaimana mereka perlu menjaga hak pilihnya. Berkaca pada Pemilu 2019, banyak mahasiswa yang tidak sadar tentang mekanisme pendataan daftar pemilih tetap.

“Karena pemilu masih tahun depan, dikiranya tidak perlu mempersiapkan diri dari sekarang. Mungkin juga banyak mahasiswa yang masih bingung, 14 Februari 2024 mau mencoblos di Jogja atau di rumah masing-masing,” katanya.

Wuri khawatir dengan rendahnya kesadaran politik mahasiswa juga berpotensi menimbulkan konflik di TPS yang ada di kampus. Tidak serta merta mahasiswa bisa menggunakan hak pilih di TPS Khusus yang ada di kampusnya. Yang bisa mencoblos tentu hanya mereka yang terdaftar sebagai DPT di TPS Khusus. Mahasiswa yang tidak terdaftar hanya bisa menggunakan jalur daftar pemilih tambahan (DPTb) dengan memakai formulir surat pindah memilih.

“Jika DPT-nya cuma 126, jatah surat suara untuk DPTb hanya dua. Dari ribuan mahasiswa, anggaplah ada 200 yang datang dan mengira mereka bisa langsung memilih di TPS Khusus. Akan ramai dan ada potensi konflik,” katanya.

Situasi serupa juga terjadi di Kota Yogyakarta. Dari 41 kampus yang diundang oleh KPU setempat dalam sosialisasi, hanya tiga kampus yang akhirnya membuka TPS Khusus.

Ketiga kampus itu adalah Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, Institut Sains dan Teknologi AKPRIND, dan Politeknik LPP Yogyakarta. Di UKDW ada satu TPS dengan 230 pemilih, IST AKPRIND lima TPS dengan 1.281 pemilih, dan Politeknik LPP Yogyakarta tiga TPS 718 pemilih.

Ketua Divisi Perencanaan Data dan Informasi KPU Kota Yogyakarta Siti Nurhayati mengaku tidak puas dengan jumlah mahasiswa yang memilih di TPS Khusus.

“Idealnya, paling tidak satu kampus bikin satu TPS Khusus. Dari 41 kampus, yang mau memfasilitasi hanya tiga kampus,” kata dia.

Berkaca pada Pemilu 2019, kata Nurhayati, di Kota Yogyakarta terdapat 10.411 orang yang mengajukan surat pindah memilih agar bisa masuk dalam DPTb, sebagian besarnya adalah mahasiswa.

Saat itu, jumlah DPT di Kota Jogja adalah 39.469. Berarti, hanya 6.000 orang yang bisa menggunakan hak pilih lewat jalur DPK atau DPTb.

“Jika hanya 3.000 yang daftar di TPS Khusus, berarti kami harus memikirkan 7.000 mahasiswa lainnya yang akan memilih pakai surat pindah memilih. Gambaran umumnya seperti itu,” ucap dia.

Situasinya bisa lebih runyam jika Kota Jogja kedatangan DPTb dari Sleman dan Bantul.

“Bisa crowded karena Kota Jogja itu di tengah-tengah antara Bantul dan Sleman. DPTb yang tidak kebagian surat suara di sana, bisa lari ke kota, ke Kecamatan Tegalrejo, Gondokusuman, Jetis, atau Umbulharjo,” ujarnya.

Nurhayati mengaku KPU sudah maksimal untuk mendorong agar setiap kampus di Kota Yogyakarta berkenan membuka TPS Khusus.

Sejak Januari 2023 sudah digelar sosialisasi dengan mengundang berbagai lembaga. Kampus-kampus didorong untuk bersedia mendirikan TPS Khusus, mendata mahasiswa mereka yang ingin memilih, lalu menyerahkan data tersebut untuk diteliti.

Nurhayati mengatakan situasi yang berbeda di tiap-tiap kampus membuat tidak banyak yang bersedia membuka TPS Khusus. Ada yang beralasan akan meliburkan kampus pada 14 Februari 2024 atau karena memang tidak banyak mahasiswa luar DIY di kampus tersebut.

“Syaratnya memang minimal ada 100 pemilih yang mau mencoblos di TPS Khusus. Jika kurang dari 100, sebetulnya bisa kami arahkan bergabung dengan kampus lain, tetapi itu tidak mudah juga,” katanya.

Situasi sedikit berbeda di Kabupaten Sleman karena cukup banyak kampus yang bersedia membuka TPS Khusus. Dari 38 kampus, tercatat ada 14 perguruan tinggi yang setuju membuka TPS untuk melindungi hak pilih beberapa mahasiswa mereka:

  1. Universitas Gadjah Mada (UGM) sembilan TPS dengan 2.552 pemilih
  2. UIN Sunan Kalijaga dua TPS dengan 350 pemilih
  3. Universitas Sanata Dharma dua TPS dengan 532 pemilih
  4. Sekolah Tinggi Pariwisata AMPTA Yogyakarta satu TPS dengan 162 pemilih
  5. Universitas Atma Jaya Yogyakarta satu TPS dengan 180 pemilih
  6. Universitas Proklamasi 45 satu TPS 149 pemilih
  7. Universitas Respati Yogyakarta satu TPS 116 pemilih
  8. Universitas Negeri Yogyakarta enam TPS 1.693 pemilih
  9. UPN Veteran tiga TPS 662 pemilih
  10. STIKES Guna Bangsa Sleman satu TPS 159 pemilih
  11. Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta satu TPS 189 pemilih
  12. Universitas Aisyiyah Yogyakarta satu TPS 176 pemilih
  13. Universitas Kristen Immanuel empat TPS 1.070 pemilih
  14. Universitas Teknologi Yogyakarta satu TPS 161 pemilih

“Kalau dibandingkan jumlah mahasiswa, sebetulnya itu masih kurang. Banyak kampus besar di Sleman dengan jumlah mahasiswa puluhan ribu,” kata Ketua Divisi Perencanaan Data dan Informasi KPU Kabupaten Sleman Indah Sri Wulandari kepada JPNN saat ditemui di kantornya pada Senin (3/7) siang.

Indah mengatakan kampus-kampus di Sleman cukup menyambut baik rencana pembuatan TPS Khusus. Setelah diundang untuk sosialisasi, pihak kampus lalu menyediakan dan menyebarkan formulir pendaftaran secara daring untuk diisi oleh mahasiswa yang ingin memilih di sana. Beberapa kampus bekerja sama dengan BEM untuk menjaring mahasiswa.

Indah mengatakan setidaknya ada 12 elemen data yang harus diisi oleh mahasiswa jika ingin mencoblos di kampus mereka. Yang terpenting dari data itu adalah nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor kartu keluarga (KK).

“Banyak yang tidak lengkap. Ya, terpaksa kami kembalikan lagi ke kampus agar dilengkapi. Biasanya yang balik lagi ke kami sudah berkurang banyak,” kata dia.

Di Universitas Kristen Immanuel, misalnya, data awal yang masuk sekitar 1.600 mahasiswa. Namun, setelah diminta perbaikan data, yang kembali dan dianggap valid hanya 1.070 pemilih mahasiswa.

Indah berharap ke depannya pendidikan politik di lingkungan kampus lebih digalakkan lagi, terutama pengetahuan mahasiswa tentang perlindungan hak pilih mereka.

Selama ini, kata dia, mahasiswa selalu mengandalkan diri menjadi DPTb dengan mengurus surat pindah memilih sampai mendekati hari H pemilu.

Pada Pemilu 2019, di Sleman terdapat 27.937 DPTb yang harus berebut dua persen surat suara bersama daftar pemilih khusus (DPK).

“Animo mahasiswa untuk memilih itu tinggi, tetapi kesadarannya rendah. Dipikir pemilu masih lama, padahal penentuan DPT itu dibatasi waktu. Jangan sampai sudah ditutup begini, nanti demo ke KPU,” katanya.

Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNY Kinan Widianto mengatakan sejak awal mereka cukup dilibatkan dalam proses pembentukan TPS Khusus. Pihak rektorat UNY, kata dia, meminta BEM untuk berkoordinasi dengan KPU Sleman.

“Pihak rektorat membuat link formulir pendaftaran, kami bantu menyebarkan, data-data dari rektorat kami teruskan ke KPU,” katanya.

Di UNY sendiri terdapat enam TPS Khusus dengan total 1.693 pemilih yang akan mencoblos di sana pada Pemilu 2024. Menurut Kinan, jumlah tersebut terbilang sedikit karena ada puluhan ribu mahasiswa luar DIY di UNY.

“Sasaran kami sebetulnya 21.000 mahasiswa, tetapi yang mengisi form hanya 3.000-an. Kemudian yang memutuskan memilih di UNY hanya sebegitu,” ujarnya.

Salah satu penyebab rendahnya tingkat partisipasi mahasiswa, kata Kinan, karena keterbatasan waktu dalam sosialisasi. Hal itu membuat masih banyak mahasiswa yang ingin mendaftarkan diri, padahal waktu pendaftaran DPT sudah ditutup.

“Seingat saya tidak sampai sebulan waktunya untuk kami sosialisasikan kepada mahasiswa. Kami cuma mengandalkan keinginan teman-teman yang mau mengisi. Mungkin juga karena terlalu banyak yang harus diisi atau mereka masih belum tahu nanti mau memilih di mana,” ujar dia.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat dan Alumni UGM Arie Sujito mengatakan keberadaan TPS Khusus di kampus adalah jawaban atas kebutuhan hak pilih mahasiswa yang sering terabaikan.

Menurut dia, pembentukan TPS Khusus juga sebagai salah satu bentuk keterlibatan kampus dalam pesta demokrasi.

“Jika pemilu berhasil memfasilitasi dan memudahkan akses menjangkau TPS, akan meningkatkan partisipasi pemilih,” kata dia kepada JPNN melalui sambungan telepon, Selasa (10/7).

Di UGM, terdapat Sembilan TPS Khusus dengan total 2.552 pemilih. Namun, di TPS UGM juga terdapat mahasiswa dari beberapa kampus lainnya, seperti Poltekes Yogyakarta, STPMD APMD Yogyakarta, STIM YKPN, Stikes Panti Rapih, Institut Teknologi Nasional Yogyakarta, UTY, UPN Veteran, Universitas Islam Indonesia (UII).

“Kami ingin lebih inklusif, tidak hanya untuk mahasiswa UGM, tetapi juga untuk mahasiswa di kampus lain yang mungkin tidak memenuhi kuota untuk membuka TPS,” kata Aries Sujito.

Aroma Politis di TPS Khusus

Keberadaan TPS Khusus di kampus diharapkan bisa menjadi solusi untuk melindungi hak pilih para pelajar yang menempuh pendidikan di luar kota.

Meskipun begitu, prinsip dari TPS Khusus adalah pengajuan dari lembaga atau perguruan tinggi. Rektor atau pimpinan lembaga menjadi penanggung jawab yang memutuskan akan membuka TPS Khusus atau tidak. 

Ketua KPU DIY Hamdan Kurniawan mengatakan lembaganya hanya sebatas menginformasikan dan memfasilitasi pembentukan TPS Khusus. Keputusan dan proses penjaringan calon pemilih semuanya diserahkan kepada masih-masing lembaga.

“Tidak ada kewajiban. Semua dikembalikan kepada penanggung jawab lembaga. Seandainya dirasa perlu, mereka harus mengirim surat persetujuan dan daftar nama calon pemilih,” katanya.

Anggota KPUD Bantul Wuri Rahmawati mengatakan ada beberapa alasan yang melatarbelakangi kampus-kampus enggan membentuk TPS Khusus.

Pertama, beberapa kampus sedang memasuki masa liburan semester pada 14 Februari 2024. Dengan begitu, pihak rektorat menilai mahasiswa bisa pulang ke daerah masing-masing untuk mencoblos.

Kedua, kata Wuri, bisa jadi banyak mahasiswa yang masih ragu apakah dia akan berada di Jogja saat pemungutan suara.

“Ketiga, pemahaman mahasiswa yang menganggap pemilu masih lama. Dikira bisa tiba-tiba terdaftar dan datang memilih pada hari H. Banyak yang tidak tahu bahwa ada proses pendataan pemilih,” katanya.

Selain itu, ada pula alasan politis. Kampus memutuskan untuk tidak membuka TPS Khusus karena khawatir terhadap hasil dari pemungutan suara.

Wuri mengatakan beberapa kampus di Bantul khawatir dianggap memobilisasi massa untuk memenangkan salah satu pasangan calon.

“Khawatir nanti disorot media. Dianggap masyarakat bahwa kampus itu mendukung calon tertentu,” kata Wuri.

Anggota KPUD Sleman Indah Sri Wulandari juga mengatakan ada beberapa kampus di Sleman yang berpikir demikian. Hasil pemungutan suara menjadi isu yang cukup dibahas, walaupun pada akhirnya mereka memutuskan membuka TPS Khusus.

“Kami jelaskan, prioritasnya adalah melindungi hak pilih. Tidak perlu khawatir siapa yang menang. Jika tidak bikin, nanti orang melihat kampus tidak melindungi hak pilih mahasiswa,” kata Indah. 

Salah satu kampus yang memutuskan tidak membuat TPS Khusus adalah Universitas PGRI Yogyakarta (UPY) yang berada di Kecamatan Kasihan, Bantul.

Kepala Divisi Kemahasiswaan UPY Juang Kurniawan mengatakan pimpinannya memutuskan untuk tidak membuat TPS Khusus di lingkungan kampus.

“Pimpinan sudah berdiskusi dan mengambil keputusan bahwa kami perlu menjaga kebhinekaan di kampus,” kata Juang kepada JPNN, Minggu (16/7).

Juang mengatakan awalnya UPY menyambut baik sosialisasi dari KPU Bantul tentang pembentukan TPS Khusus. UPY, kata dia, mendukung upaya KPU untuk menjaga hak pilih mahasiswa, tetapi tidak dengan membentuk TPS Khusus di lingkungan kampus.

“Di lingkungan kami itu memang ada salah satu partai yang kuat. Mobilisasinya cukup kuat. Jadi, kami ingin mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan,” katanya.

Juang memastikan di internal kampus sendiri tidak ada nuansa politis. Dia memastikan UPY secara kelembagaan netral terhadap hasil pemilu.

“Keputusan itu diambil semata-mata karena kami berkaca pada lingkungan sekitar kampus. Berkaca juga dari pengalaman pemilu sebelumnya. Kami ingin menjaga netralitas dan ketenangan di kampus,” ujarnya.

Selain itu, kampus juga mempertimbangkan bahwa pada 14 Februari 2024 masih dalam masa libur semester sehingga mahasiswa luar DIY dipersilakan pulang untuk mencoblos di daerah masing-masing.

“Mahasiswa kami mayoritas dari DIY. Hanya 20-30 persen yang dari luar. Kebanyakan dari Jawa Tengah,” katanya.

Ditanya soal upaya kampus untuk menjaga hak pilih mahasiswa, Juang mengatakan rektorat akan menguatkan sosialisasi agar mahasiswa di sana tetap menggunakan hak pilih mereka di TPS asal atau menggunakan jalur daftar pemilih tambahan.

Di UGM, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat dan Alumni, Arie Sujito, mengaku tidak khawatir dengan hasil pemilu di TPS Khusus.

“Enggak khawatir, makanya dibuat inklusif, tidak hanya mahasiswa UGM yang bisa memilih di TPS Khusus. Mahasiswa itu sudah pintar. Mereka punya referensi siapa yang harus dipilih,” katanya.

Prosedur Pindah Memilih

Dalam sistem pemilu, hak masyarakat untuk memilih terbagi dalam tiga kategori, yaitu daftar pemilih tetap (DPT), daftar pemilih khusus (DPK) dan daftar pemilih tambahan (DPTb).

DPT adalah mereka yang terdaftar sebagai pemilih di satu TPS sehingga surat suaranya pasti akan tersedia. DPT umumnya menyesuaikan alamat pemilih, sesuai dengan kartu identitas. Namun, ada juga DPT yang difasilitasi oleh TPS Lokasi Khusus yang tidak harus sesuai dengan alamat pemilih.

Selain DPT, ada DPK dan DPTb yang hanya bisa menggunakan dua persen dari jumlah surat suara yang tersedia di TPS. Artinya, jika di satu TPS ada 300 DPT, hanya ada jatah enam surat suara untuk mereka yang masuk dalam kategori DPK atau DPTb.

DPK adalah mereka yang tidak terdaftar sebagai DPT, tetapi punya kesempatan untuk menjadi pemilih di TPS sekitar alamat KTP Elektronik. Sedangkan DPTb adalah mereka yang ingin memilih di luar daerah asal, misalnya sedang bekerja atau studi di luar kota saat hari H pemilu.

Mahasiswa atau perantau di DIY yang tidak terdafatar di TPS Khusus, tetapi ingin menggunakan hak pilihnya, bisa menggunakan jalur DPTb dengan mengajukan surat pindah memilih atau yang biasa dikenal sebagai formulir A5.

Anggota KPUD Sleman Indah Sri Wulandarti mengatakan ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika seseorang ingin mengurus surat pindah memilih agar terdaftar sebagai DPTb. Menurut dia, pada prinsipnya mengurus surat pindah memilih cukup mudah.

Pertama-tama orang tersebut harus terdaftar terlebih dahulu sebagai DPT di TPS asal sesuai KTP. Lalu, yang bersangkutan mengajukan permohonan pembuatan surat pindah memilih, maksimal 30 hari sebelum pemungutan suara.

Surat pindah memilih bisa dibuat di kantor KPU kabupaten/kota, kantor kecamatan, atau di lokasi tempat panitia pemungutan suara. Bisa dibuat di daerah asal atau di daerah tujuan memilih.

“Akan tetapi, yang sudah dapat surat pindah memilih tidak serta-merta bisa mencoblos di sembarang TPS. Bisa jadi di TPS itu surat suaranya habis,” kata Indah.

Bagi yang mengurus surat pindah memilih di daerah tujuan, biasanya akan langsung diarahkan oleh petugas, di TPS mana yang bersangkutan bisa mencoblos.

“Nah, bagi yang membuat surat pindah memilih di daerah asal, dia tetap harus melapor di daerah tujuan agar dibantu mencari TPS. Petugas di daerah asal tentu tidak tahu ketersediaan surat suara di TPS tujuan,” ujar Indah.

Menurut Indah, masyarakat atau mahasiswa perlu paham tata cara mendapatkan dan menggunakan hak pilih melalui jalur DPTb. Berkaca pada Pemilu 2019, kata dia, banyak DPTb yang tidak melapor, tetapi langsung datang ke TPS saat hari H pemilu.

“Begitu kehabisan surat suara dan harus digeser ke TPS lain, biasanya marah-marah,” katanya. (*)

*Liputan ini adalah hasil kolaborasi dengan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler