JAKARTA-- Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan, dinilai lebih banyak mengatur bisnis rokok dan tembakau ketimbang mengatur kesehatan.
"Di satu sisi PP ini telah menyederhanakan persoalan, karena melihat tembakau dan rokok hanya dengan perspektif kesehatan. Tetapi sekaligus juga melampaui kewenangannya (over authority), karena mengatur banyak soal di luar bidang kesehatan," ujar Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran saat diskusi di Warung Daun Cikini, Jakarta, Senin (11/2).
Menurut Ismanu, ada indikasi penyimpangan antara Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 Tahun 2012 dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengamanatkannya.
"Jika melihat judul PP 109/2012 dengan UU yang mengamanatkannya, yaitu UU No. 36/2009 tentang Kesehatan Pasal 116, terdapat perbedaan nomenklatur," katanya.
Lebih lanjut Ismanu menyebut, PP ini diberikan judul "Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa produk Tembakau bagi Kesehatan". Sementara Pasal 116 UU Kesehatan menyatakan Pengamanan Bahan yang mengandung zat adiktif.
Judul PP tersebut, kata Ismanu sangat tendensius, karena hanya mengatur pengamanan zat adiktif dalam produk tembakau. Padahal Pasal 116 UU kesehatan tidak mengatakan demikian.
"Dengan kata lain, zat adiktif tidak hanya terkandung dalam produk tembakau, tetapi dimungkinkan terdapat dalam produk yang lain," terangnya.
Berkaitan dengan ruang lingkup muatan PP, Ismanu menjelaskan bahwa PP ini ingin melaksanakan ketentuan Pasal 116 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, namun PP ini tidak pantas melaksanakan ketentuan pasal tersebut, karena yang diatur dalam PP ini seharusnya yang menjadi muatan UU.
"Pasal 116 UU kesehatan berbicara tentang kesehatan, khususnya yang terkait dengan pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif dan bukan pengaturan khusus produk tembakau atau rokok. Jadi, PP ini bukan sekadar ingin melaksanakan Pasal 116, tetapi sudah memberi pengaturan tersendiri yang ruang lingkupnya seharusnya diatur dalam UU," sebutnya.
Selain itu, Ismanu juga tegaskan bahwa PP 109/2012 bukanlah aturan yang melindungi kesehatan. "Tidak ada satu pun pasal di dalamnya yang mengacu pada kesehatan. Semua jelas ke arah perdagangan," tegasnya.
Ada atau tidak adanya PP ini, konsumsi rokok tidak akan turun. Karena kenyataannya, ungkap Ismanu, di perdagangan internasional, volume perdagangan dan konsumsi tembakau sejak dulu selalu naik 4 persen per tahun, dan tidak pernah turun.
"Kalau mau membatasi konsumsi rokok, buatlah regulasi yang tegas agar anak-anak tidak merokok. Dari dulu kami jajaki pemerintah tidak mau membuat regulasi semacam itu," sesalnya. (chi/jpnn)
"Di satu sisi PP ini telah menyederhanakan persoalan, karena melihat tembakau dan rokok hanya dengan perspektif kesehatan. Tetapi sekaligus juga melampaui kewenangannya (over authority), karena mengatur banyak soal di luar bidang kesehatan," ujar Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran saat diskusi di Warung Daun Cikini, Jakarta, Senin (11/2).
Menurut Ismanu, ada indikasi penyimpangan antara Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 Tahun 2012 dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengamanatkannya.
"Jika melihat judul PP 109/2012 dengan UU yang mengamanatkannya, yaitu UU No. 36/2009 tentang Kesehatan Pasal 116, terdapat perbedaan nomenklatur," katanya.
Lebih lanjut Ismanu menyebut, PP ini diberikan judul "Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa produk Tembakau bagi Kesehatan". Sementara Pasal 116 UU Kesehatan menyatakan Pengamanan Bahan yang mengandung zat adiktif.
Judul PP tersebut, kata Ismanu sangat tendensius, karena hanya mengatur pengamanan zat adiktif dalam produk tembakau. Padahal Pasal 116 UU kesehatan tidak mengatakan demikian.
"Dengan kata lain, zat adiktif tidak hanya terkandung dalam produk tembakau, tetapi dimungkinkan terdapat dalam produk yang lain," terangnya.
Berkaitan dengan ruang lingkup muatan PP, Ismanu menjelaskan bahwa PP ini ingin melaksanakan ketentuan Pasal 116 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, namun PP ini tidak pantas melaksanakan ketentuan pasal tersebut, karena yang diatur dalam PP ini seharusnya yang menjadi muatan UU.
"Pasal 116 UU kesehatan berbicara tentang kesehatan, khususnya yang terkait dengan pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif dan bukan pengaturan khusus produk tembakau atau rokok. Jadi, PP ini bukan sekadar ingin melaksanakan Pasal 116, tetapi sudah memberi pengaturan tersendiri yang ruang lingkupnya seharusnya diatur dalam UU," sebutnya.
Selain itu, Ismanu juga tegaskan bahwa PP 109/2012 bukanlah aturan yang melindungi kesehatan. "Tidak ada satu pun pasal di dalamnya yang mengacu pada kesehatan. Semua jelas ke arah perdagangan," tegasnya.
Ada atau tidak adanya PP ini, konsumsi rokok tidak akan turun. Karena kenyataannya, ungkap Ismanu, di perdagangan internasional, volume perdagangan dan konsumsi tembakau sejak dulu selalu naik 4 persen per tahun, dan tidak pernah turun.
"Kalau mau membatasi konsumsi rokok, buatlah regulasi yang tegas agar anak-anak tidak merokok. Dari dulu kami jajaki pemerintah tidak mau membuat regulasi semacam itu," sesalnya. (chi/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jadi Ketua IPSI, Prabowo Fokus di SEA Games
Redaktur : Tim Redaksi