PP Persis Gelar Sarasehan Tentang Evaluasi Perekonomian Nasional 2022, Nih Catatannya

Jumat, 23 Desember 2022 – 19:06 WIB
Waketum PP Persatuan Islam Prof Atip Latiful Hayat seusai menyampaikan keynote speech pada acara saresehan perekonomian nasional di Bandung, Kamis (22/12). Foto: Dok. PP Persis

jpnn.com, JAKARTA - Dewan Tafkir Pimpinan Pusat Persatuan Islam (DT PP Persis) menggelar sarasehan perekonomian nasional di Bandung, Kamis (22/12).

Saresehan ini mengangkat tema "Evaluasi Perekonomian Nasional Tahun 2022, Proyeksi Perekonomian Nasional Tahun 2023".

BACA JUGA: Kapolri: Stabilitas Beragama Memengaruhi Perekonomian

Sarasehan ini menghadirkan sejumlah narasumber, yaitu anggota Komisi XI DPR Ahmad Najib Qodratullah, Analis Bank Indonesia (BI), Analis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Analis Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pengamat Ekonomi Universitas Pasundan Acuviarta Kartabi.

Setelah Ketua Dewan Tafkir PP Persatuan Islam Prof Jajang A Rohmana membuka sarasehan ini, acara selanjutnya adalah keynote speech oleh Waketum PP Persatuan Islam Prof Atip Latiful Hayat.

BACA JUGA: Dukung Perekonomian Sumbar, Menteri Erick Thohir Sapa Warga di Padang

Pada kesempatan itu, anggota Komisi XI DPR Ahmad Najib Qodratullah menyampaikan mengenai kondisi ekonomi saat ini dan juga tantangan yang dihadapi Indonesia ke depan.

Selanjutnya, Dewan Tafkir PP Persis memperkirakan kondisi ekonomi Indonesia pada tahun 2023 masih tetap akan diselimuti ketidakpastian.

BACA JUGA: DPR Dukung Jokowi Melarang Ekspor Bauksit di 2023, Begini Alasannya

Tantangan ekonomi global masih tetap akan besar seiring dengan potensi resesi global yang masih besar.

Hal ini seiring dengan proyeksi IMF yang memangkas pertumbuhan ekonomi global dari 2,9 persen menjadi 2,7 persen.

“Melambatnya pertumbuhan ekonomi global ini akan memberikan tekanan terhadap perekonomian Indonesia, terutama melalui jalur perdagangan dan investasi,” ucap Waketum PP Persatuan Islam Prof Atip Latiful Hayat.

Berdasarkan hasil kajian terhadap kondisi ekonomi Indonesia tahun 2023, DT PP Persis memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada pada kisaran angka 4,8-5,2 persen.

Pertumbuhan ekonomi tersebut didasarkan pada asumsi bahwa pada 2023, tidak ada lagi goncangan yang terjadi seperti pandemi Covid-19 serta perang Rusia-Ukraina.

“Berkaca dari keberhasilan tahun 2022, DT PP Persis merasa yakin dengan usaha bersama dan kerja sama dari semua elemen bangsa, kita optimistis mampu melalui berbagai tantangan tersebut dengan baik,” katanya.

Walaupun demikian, dia mengingtakan harus tetap waspada karena gelombang kejut ekonomi bisa datang dari mana saja dan kapan saja, seperti kasus pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina yang tidak terperkirakan sebelumnya.

Oleh karena itu, DT PP Persis memandang terdapat enam hal penting yang harus menjadi catatan Pemerintah dan para pelaku ekonomi.

“Pertama, kita perlu memberikan apresiasi kepada Pemerintah terkait keberhasilannya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi tahun 2022 kembali ke tingkat 5 persen,” kata Prof Atip.

Namun demikian, kata dia, hal terpenting yang harus menjadi perhatian adalah bukan sekadar angka pertumbuhan yang naik.

Pemerintah harus berusaha untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yaitu pertumbuhan ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja yang layak (decent job) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

DT PP Persis melihat ada penurunan kualitas pertumbuhan ekonomi yang terjadi saat ini. Pada periode sebelumnya, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu menciptakan antara 300.000-350.000 lapangan kerja baru.

Saat ini, 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu menciptakan lapangan kerja baru antara 200.000-250.000 lapangan kerja baru.

Menurut DT PP Persis, hal ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi saat ini banyak ditopang sektor jasa keuangan, yang notabene sektor padat modal yang tidak memerlukan banyak pekerja.

Ke depannya, Pemerintah harus menggenjot pertumbuhan ekonomi dari sisi sektor riil yang sifatnya padat karya dan menyerap banyak tenaga kerja.

Kedua, kebijakan realokasi dan refocusing anggaran yang dilakukan Pemerintah bersama DPR dalam upaya penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi sudah tepat.

Kolaborasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia melalui kebijakan burden sharing juga sudah relatif baik. Kebijakan moneter melalui penentuan suku bunga acuan yang adaptif juga ikut mendorong proses pemulihan berjalan lebih cepat.

Namun, DT PP Persis mencatat, dalam tingkat realisasi dan implementasi masih belum selektif. Pemerintah terkesan belum memiliki skala prioritas yang menjadi panduan perencanaan dan pengelolaan keuangan negara pada 2022.

Oleh karena itu, pada 2023, Pemerintah harus jeli dan cermat memilah mana kegiatan yang sifatnya "urgent" dan perlu didukung pendanaanya, mana yang sifatnya "just importatant", dan mana yang sifatnya meningkatkan pencitraan publik (nice to have).

Ketiga, beberapa proyek pembangunan infrastruktur yang dibangun pada tahun 2022 memiliki multiplier effect ekonomi yang relatif rendah dan terkesan tidak didahului kajian yang komprehensif.

Bahkan beberapa infrastruktur seperti bandara mengalami “mati suri” seperti Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kerta Jati, Bandara Bandara Ngloram Cepu, Bandara Soedirman Purbalingga, dan Bandara Wiriadinata Tasikmalaya.

"Di tengah keterbatasan anggaran dan ruang fiskal yang sempit, pada tahun 2023, proyek-proyek pembangunan infrastruktur harus diutamakan ke proyek-proyek yang memiliki multiplier effect ekonomi yang besar yang melibatkan masyarakat Indonesia, dengan bahan baku yang berasal dari Indonesia. Tidak boleh ada lagi penggunaan tenaga kerja asing di level tenaga teknisi (lower middle management)," lanjut Prof Atip.

Keempat, pada periode pandemi Covid-19 kemarin, UMKM menjadi korban paling besar. Padahal pada krisis-krisis sebelumnya UMKM selalu menjadi bumper penyelamat di tengah kondisi krisis yang terjadi.

DT PP Persis memandang, Program Pemulihan Ekonomi (PEN) yang dibuat Pemerintah belum benar-benar mampu memulihkan UMKM seperti sebelum pandemi Covid-19.

"Oleh karena itu, pada 2023, Pemerintah harus fokus pada pemulihan ekonomi UMKM dan kembali menjadikan UMKM sebagai bumper ekonomi nasional yang menyerap banyak tenaga kerja. Untuk lebih meningkatkan peran UMKM dalam perekonomian nasional, Pemerintah bisa mendorong adanya kolaborasi antara UMKM dengan Organisasi Masyarakat (Ormas) termasuk, Ormas-Ormas Islam yang berbasis keagamaan," terangnya.

Kelima, DT PP Persis memandang, sampai saat ini, struktur ekonomi Indonesia bersifat oligopoli, yaitu pelaku industri dan pasar hanya dikuasai oleh beberapa pihak saja dan menyebabkan adanya oligarki ekonomi. Bahkan, sebagiannya melakukan praktik kartel yang menghilangkan efisiensi pasar dan merugikan masyarakat luas.

"Ke depannya, Pemerintah melalui penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan KPK harus menciptakan persaingan yang sehat sehingga bisa menciptakan efisiensi pasar yang menguntungkan masyarakat luas dan sekaligus para pelaku usaha terutama yang berasal dari UMKM," sarannya.

Keenam, pada 2022, kemiskinan dan ketimpangan ekonomi masih relatif tinggi.

Pada 2023, Pemerintah diharapkan membuat kebijakan afirmatif yang dapat melakukan distribusi ekonomi yang berkeadilan.

"Ketimpangan antara pelaku ekonomi terlihat dari rasio penguasaan lahan yang masih di atas 0,6 yang berarti lebih dari 60 persen lahan di Indonesia hanya dikuasai oleh 1 persen penduduk Indonesia. Jika hal ini tetap dibiarkan, ketimpangan ekonomi akan terus terjadi, yaitu masyarakat miskin akan tetap miskin dan masyarakat kaya akan semakin kaya," ujarnya.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler