jpnn.com, JAKARTA - Perkumpulan Penangkar Benih Perkebunan dan Tanaman Perkebunan Indonesia (PPBPTI) merilis harga bibit tanaman perkebunan 2021 untuk memberi kepastian bagi konsumen dan memastikan penangkar menjual dengan harga wajar.
"Harga ini sekaligus menjadi acuan untuk menentukan bibit yang ditawarkan secara tidak rasional, apakah terlalu mahal atau terlalu murah sehingga beresiko pada mutu benih yang tidak layak," kata Ketua PPBPTI Badaruddin Sabang Puang di Jakarta, Sabtu (13/2).
BACA JUGA: Gandeng Kelompok Tani, Darling Squad Tanam 5.225 Bibit Pohon di Patiayam
Menurut dia, harga ini didasarkan harga pasar, ongkos produksi dan manfaat. Adapun dengan mempertimbangan keterjangkauan konsumen, namun manfaatnya masih melebih biaya yang dibayar. Di sisi lain penangkar bisa mendapatkan keuntungan yang untuk kemudian direinvestasi untuk peningkatan kapasitas.
"Banyak dari harga rilis ini angka yang sama dari harga beberapa tahun sebelumnya, sementara harga-harga produk lain sudah meningkat beberapa kali dampak dari inflasi," jelas dia.
BACA JUGA: DPR Dorong Kementan Wujudkan Ketersediaan Bibit Unggul Menuju Swasembada Pangan
Berdasarkan ketetapan PPBPTI harga benih perkebunan 2021 di luar ongkos kirim, bibit kopi arabika Rp6.500 per batang siap salur, sementara kopi robusta Rp8.500 per batang.
Bibit kakao jenis hibrida Rp6.000 per batang dan bibit kakao sambungan Rp8.500 per batang yang merupakan koreksi dari harga di tahun sebelumnya.
BACA JUGA: Top! Pertamina Tanam Ribuan Bibit Mangrove di Pesisir Balikpapan
Sedangkan karet di harga Rp8.500 per batang, kelapa dalam unggul nasional dalam polibeg Rp35 ribu per batang, lada Rp8.500 per batang dan pala Rp13 ribu per batang. Sementara untuk bibit tebu dipasarkan dengan harga Rp300 per mata. Lalu untuk kelapa sawit di harga Rp40 ribu per batang.
Ia juga menegaskan asosiasi akan mempercepat penerapan standarisasi pembibitan di tingkat anggota dan penangkar, sehingga sesuai dengan pedoman produksi benih yang diterbitkan oleh pemerintah.
Produsen benih, kata dia, juga akan diwajibkan untuk memiliki sertifikasi kompetensi dan mengembangkan sistem penelusuran. Hal ini ditujukan agar konsumen dapat memperoleh benih dengan standar yang sama dari Aceh hingga Papua. Penangkar juga harus memilih keahlian yang memadai, dan menerapkan metoda pembibitan dengan acuan yang sama.
"Untuk tahun ini kami mau mencoba mengimplementasikan pada pembibitan kelapa sawit," ujarnya.
Sekretaris Dewan Pembina Masyarakat Perbenihan dan Perbibitan Indonesia (MPPI) Hindarwati Sudjatmiko menyatakan perlu adanya transparansi harga bibit tanaman perkebunan.
Seperti halnya perusahaan yang menghasilkan produk olahan umumnya merilis harga segara terbuka. Masyarakat pun diharapkan dapat mengakses dengan mudah dan mengetahui berapa harga yang wajar harus dikeluarkan untuk mendapatkan bibit yang bermutu.
"Sekiranya harga itu terlalu mahal maka konsumen juga akan yang mengkoreksi dengan membatasi pembelian, sehingga pengusaha dipaksa melakukan penyesuaian dengan meningkatkan efisiensi," ujar Hindarwati.(antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robia