PPP: Putusan MK Salah Fatal

Rabu, 21 Maret 2012 – 16:16 WIB
JAKARTA – Majelis Syariah Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP PPP) menilai Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan kesalahan fatal terkait putusan mengabulkan sebagian pengujian UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Majelis Syariah PPP menilai, MK memutuskan lebih dari yang diajukan pemohon. Sehingga keputusan MK dianggap bertentangan dengan syariat agama islam.

“Menurut saya ada kesalahan fatal yang dilakukan oleh MK, karena MK memberikan keputusan lebih dari apa yang diminta pemohon dalam hal ini kasus Machica Mochtar,” kata Ketua Majelis Syariah PPP, Nur Muhammad Iskandar saat Halaqah Ulama Telaah Keputusan MK mengenai Judicial Review atas Pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang digelar Majelis Syariah DPP PPP, di Jakarta, Kamis (21/3).

Acara itu dihadiri juga oleh Kordinator Komisi Fatwa MUI Ma'Ruf Amin, Ketua DPP PPP Zainut Tahid, serta sejumlah ulama lainnya.  “Misalnya, minta dua dikasih lima. Ternyata kelebihan itu bertentangan dengan syariat islam,” katanya.

“Saya juga pernah membaca Fatwa MUI, mungkin saya salah atau apa nanti didiskusikan. Putusan itu juga bertentangan dengan Fatwa MUI tapi oleh Ketua MK mengganggap itu sejalan dengan keputusan MK,” ungkap Nur.

Ia menegaskan, kalau keputusan ini tidak serta merta melibatkan hubungan tidak sah, maka tidak menjadi soal. Tapi, ketika ditanya hubungan sah menurut syara, tapi jawabannya melebar ke hubungan yang tidak sah menurut syara.

Dia menjelaskan yang diminta atau diajukan itu adalah terkait dengan hubungan yang sah menurut syara. Misalnya, catatan pernikahan itu merupakan syarat rukun.

“Dalam Islam catatan itu sarat rukun. Yang penting ada wali, ada suami istri, ada ijab kabul, ada mahar, sah  menurut Islam. Dan karena sah menurut Islam, pelaku tidak wajib diberi hukuman,” katanya.

Ditambahkan, berbeda hukuman itu kalau misalnya tanpa ada hukum nikah. Sehingga menurut agama itu disebut zinah. Hubungan di luar aturan agama, itu perlu dihukum.

“Hukum itu barangkali menyakitkan tetapi, ada manfaatnya untuk perbaikan untuk orang yang melakukan perzinahan itu. Dan orang juga mengetahui bahwa dia telah melakukan kesalahan,” katanya memberikan contoh.

Nah tetapi, lanjut Nur,  kalau kemudian yang hubungan nikah ini disamakan dengan hubungan tidak nikah, maka melanggar pancasila. Dalam pancasila ada sila Ketuhanan Yang Maha Esa. “Menurut syariat islam, hubungan zinah itu tidak dikatakan sebagai hubungan yang bisa melahirkan anak, keturunan,” ungkapnya.

Memang, kata dia, nanti ada yang jadi korban, tapi korban itu menjadi alat jera untuk tidak melakukan lagi. “Misalnya orang mencuri dipotong tangannya, rugi kan. Itu alat jera, jangan sampai dia melakukan tindakan yang sama dengan pelanggaran itu,” katanya.

Seperti diketahui, MK mengabulkan sebagian pengujian UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Uji materi Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) ini diajukan oleh artis era 1980-an Machica Mochtar.

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan,  Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

"Sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya," ujar Ketua MK, Mahfud MD dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Jumat, (17/2). (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Taufiq Kiemas: Jangan Kayak Saya Dulu

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler