PPP: Rapat Paripurna Sah

Romi Bantah UU APBN-P Bertentangan dengan UU45 dan UU Migas

Senin, 02 April 2012 – 04:03 WIB

JAKARTA – Sah tidaknya hasil rapat paripurna DPR yang memilih voting tentang kenaikan harga BBM  masih dipersoalkan sejumlah pihak. Namun Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menegaskan, Rapat Paripurna DPR yang mengesahkan RUU APBN-P 2012 telah sah secara formil materiil.
 
Sekjen DPP PPP, M Romahurmuziy mengatakan, secara formil waktu satu bulan yang ditetapkan dalam Pasal 161 ayat (4) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) bukan dihitung dari pemerintah menyerahkan RUU APNP-P tanggal 29 Februari  2012. Karena, jika itu yang dimaksudkan UU MD3, maka tidak ada penggunaan "koma" setelah kata "masa sidang".

Adapun bunyi Pasal 161 ayat (4) UU MD3 adalah "Pembahasan dan penetapan rancangan Undang-Undang tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 bulan dalam masa sidang, setelah rancangan undang-undang tentang perubahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR".

Dengan demikian, kata Romahurmuziy, yang dimaksud 1 bulan adalah waktu pembahasan dan penetapan RUU tentang perubahan APBN. Mengacu hal tersebut, pembahasan RUU APBN-P 2012 dimulai pada 6 Maret 2012. "Dengan demikian tanggal 31 Maret 2012 masih dalam rentang waktu yang dibolehkan UU," kata Romahurmuziy.

Terkait pernyataan sejumlah pihak bahwa Pasal 7 ayat 6a bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 33 UUD 1945 dan substansi ayat 6a itu sama dengan UU Migas sebelum dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), Romahurmuziy memiliki argumentasi lain. Politisi yang akrab disapa Romy tersebut mengatakan bunyi Pasal 28 ayat (2) UU Migas  adalah "Harga BBM dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar".

Dengan dibatalkannya pasal tersebut oleh MK, maka harga BBM dan Gas ditentukan oleh pemerintah. Lalu, penambahan Pasal 7 ayat (6a) yang memberikan kewenangan pemerintah menaikkan harga BBM atas dasar kondisi harga minyak Indonesia (ICP) tertentu secara materiil tidak bertentangan dengan dibatalkannya pasal Pasal 28 ayat (2) UU Migas.

"Dengan dibatalkannya pasal itu, kewenangan pemerintah untuk menentukan harga BBM bersifat atributif, artinya merupakan hak asli yang diturunkan dari Pasal 33 UUD 1945. Namun, hak asli ini didelegatifkan (diberikan kewenangan berdasarkan UU APBN-P Pasal 7 ayat 6a) hanya jika kondisinya tertentu," katanya.

Hal tersebut, lanjut Romy, adalah maksud dari pembentuk UU yaitu DPR agar pemerintah tidak sewenang-wenang menggunakan haknya. "Sehingga, penggunaan ICP pada batang tubuh pasal, tidak berarti mengaitkan harga BBM kepada mekanisme pasar, karena ICP bukanlah publish/market rate yang menjadi patokan pasar. ICP hanya dikenal dalam instrumen UU APBN dan APBN-P saja, dan ditetapkan dalam sebuah Permen ESDM," ujarnya.

Dengan demikian, lanjutnya, UU APBN-P 2012 yang ditetapkan DPR pada paripurna 31 Maret 2012 lalu telah sah secara formil maupun materiil. (yay)
BACA ARTIKEL LAINNYA... RUU Belum Efektif Bahas Pelanggaran Pemilu


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler