jpnn.com - JPNN.com JAKARTA - Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmi Radhi mengatakan bukti dokumen yang dipublikasikan BPH Migas menunjukkan bahwa trader gas bermodal kertas hanya jadi makelar saja.
Menurutnya, jatah migas yang diperoleh karena dugaan dekat dengan penguasa kemudian dijual lagi ke perusahaan lain yang berimbas pada harga gas yang kian mahal.
BACA JUGA: Sedih, Nilai Tukar Rupiah jadi Segini
"Praktiknya, trader non-manufaktur hanya "makelar" yang menjual "jatah" gas yang diperoleh dari pemerintah, karena kedekatan penguasa," tegas Fahmi, Selasa (20/10).
Fahmi menjelaskan harga gas tinggi ini juga diakibatkan liberalisasi migas sebagaimana diatur dalam UU 22/2001. Dampaknya, harga ditentukan oleh mekanisme pasar dan memunculkan trader non-infrastruktur.
BACA JUGA: Menteri Lembong: Target Ekspor dan Impor Tahun ini Alami Kontraksi
"Masalahnya mekanisme pasar di Indonesia didistorsi oleh pencari rente yang punya kedekatan dengan penguasa sehingga harga jual gas jadi lebih mahal dibanding harga pasar. Rakyat konsumen yang dirugikan membayar kemahalan harga gas," tegas dia.
Pernyataan Fahmi ini menyikapi beredarnya dokumen yang dibuat BPH Migas pada Oktober 2015. Dokumen itu berjudul "Pengaturan Harga Gas" yang menjelaskan tentang pola penjualan gas yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero).
BACA JUGA: Jasa Marga Tegaskan Tetap Angkat Pegawai JLO
Dalam dokumen itu dijelaskan bahwa manajemen bisnis gas memunculkan trader gas bertingkat. Praktik trader gas bertingkat inilah yang membuat harga gas di konsumen sangat tinggi.
Praktik trader gas bertingkat itu menyebabkan tidak bisa dilakukan control terhadap selisih harga gas dari pasok (harga gas hulu) dengan harga gas di konsumen.
"Dengan tidak terkontrolnya selisih harga dari pasok dan harga di konsumen, memungkinkan selisih harga gas ini menjadi besar, yang memungkinkan menciptakan banyak trader pada rantai transaksi dari pemasok sampai ke konsumen," demikian bunyi di dokumen tersebut.
Dokumen itu juga mencontohkan sistem penjualan gas disalah satu wilayah, yakni di Bekasi, Jawa Barat. Sumber gas di Bekasi yang berasal dari PT Pertamina EP, anak usaha Pertamina, pertama kali dijual kepada PT Pertamina Gas (Pertagas).
Pertagas lalu menjual gas tersebut kepada PT Odira sebagai pemasok/ trader pertama yang lalu menjual kembali gas tersebut ke trader berikutnya, yaitu PT Mutiara Energi dengan harga USD 9 per MMBtu.
Lalu, Mutiara Energi mengalirkan gas menuju trader berikutnya, yaitu PT Berkah Usaha Energi, dengan menggunakan pipa 'open access' milik Pertagas (pipa 'open access' Pertagas berdiameter 24 inchi sepanjang 78 km) dengan membayar 'toll fee' sebesar USD 0,22 per MMBtu.
Selanjutnya, Mutiara Energi menjual ke trader berikutnya, yaitu PT Berkah Utama Energi seharga USD 11,75 per MMBtu. Di sini sudah terjadi selisih harga sebesar USD 2,75 per MMBtu.
Kemudian, Berkah Utama Energi membangun pipa berdiameter 12 inchi sepanjang 950 meter, dan menjual ke trader berikutnya, yaitu PT Gazcomm Energi dengan harga USD 12,25 per MMBtu. Ada selisih harga USD 0,50 per MMBtu.
Terakhir, Gazcomm membangun pipa berdiameter 6 inchi sepanjang 182 meter dan menjual gas ke konsumen PT Torabika dengan harga USD 14,5 per MMBtu. Terdapat selisih harga USD 2,25 per MMBtu.
"Tidak bisa dimengerti dari sudut pandang efisiensi, jarak konsumen dengan pipa Pertagas hanya 1 km, diciptakan dua badan usaha, yaitu Berkah dengan membangun 950 meter pipa, dan Gazcomm dengan membangun 180 meter pipa. Ini bisa dikatakan mensiasati agar dikeluarkan izin pipa dedicated hilir," tulis dokumen.
Harga gas hulu saat ini termasuk dari Pertamina EP di kisaran USD 5 - 6 /MMBtu. Dengan model trader gas bertingkat mulai dari Pertagas, Odira, Mutiara Energi, Berkah Utama Energi dan Gazcomm, konsumen mendapatkan harga sangat mahal yaitu USD 14,5 /MMBtu. Ada selisih harga sekitar USD 9 yang dinikmati oleh para trader gas di model penjualan gas bertingkat tersebut. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tol Jabodetabek Terancam Diboikot, Jasa Marga Pastikan Aman
Redaktur : Tim Redaksi