Praktisi Keamanan Siber Sebut Corona Bukan Satu-satunya Ancaman Buat Pancasila

Senin, 01 Juni 2020 – 17:46 WIB
Pengendara motor melintas di depan mural tentang pandemi Virus Corona atau COVID-19. Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya/wsj

jpnn.com, JAKARTA - Praktisi keamanan siber Pratama Persada mengatakan Hari Lahir Pancasila yang kali ini diperingati dalam kondisi krisis corona, membuat masyarakat berpikir kembali sejauh mana bangsa Indonesia sudah mengaplikasikan nilai-nilai luhur Pancasila.

Menurut Pratama, corona bukan satu-satunya ancaman terhadap eksistensi Pancasila.

BACA JUGA: Ini Kata Jokowi di Hari Lahir Pancasila

"Dalam era serbadigital saat ini, ruang siber menjadi peluang, tetapi juga menjadi ancaman bagi Pancasila bila tidak dikelola dengan semestinya," ungkap Pratama, Senin (1/6).

Pratama melihat masih banyak pekerjaan rumah bagi negara untuk menjaga eksistensi Pancasila sebagai dasar negara dan pedoman hidup bangsa.

BACA JUGA: Gus Nabil: Segarkan Nilai Pancasila Agar Tidak Frustrasi di Tengah Pandemi

Menurutnya, makin berkembangnya teknologi ikut mendorong sentralisasi ekonomi secara global.

“Ruang siber ini tanpa batas, informasi mengalir begitu cepat. Bersamaan dengan aliran informasi juga ada bahaya seperti peretasan, hoaks, ancaman dan paling berbahaya adalah sentralisasi ekonomi secara global,” ujarnya.

BACA JUGA: Update Corona 1 Juni 2020: Simak Kabar dari Kolonel Aris Mudian

Chairman Lembaga Riset Siber CISSReC (Communication & Information System Security Research Center) ini menjelaskan, Pancasila punya cita-cita luhur agar kesejahteraan bisa dirasakan oleh segenap anak bangsa dalam suasana damai dan penuh rasa persatuan.

Namun kini, kata dia, ancaman yang datang dari ruang siber bertambah karena belum siapnya masyarakat dengan berbagai regulasi.

Hal ini membuat masyarakat tanah air terancam makin sulit mewujudkan kesejahteraan, utamanya karena kemajuan teknologi ikut mendorong sentralisasi ekonomi secara global.

“Makin berkembangnya teknologi di ruang siber mau disadari atau tidak mendorong sentralisasi ekonomi secara global," kata dia.

Ia menilai sungguh ini situasi yang sulit, di saat amanat reformasi mendorong desentralisasi ekonomi, kondisi global mendorong sentralisasi ekonomi.

"Bila tidak siap dengan regulasi, akan sangat berbahaya untuk kelangsungan bangsa ke depan,” jelas pria asal Cepu Jawa Tengah ini.

Pratama mencontohkan banyaknya layanan di ruang siber yang memutus akses negara misalnya untuk urusan pajak.

Contohnya, kata Pratama, saat berlangganan Netflix atau membeli software di luar negeri, banyak sekali transaksi tersebut tanpa dikenai pajak.

Pengawasan transaksi jelas sulit, karena posisi penjual juga tidak di tanah air.

“Urusan pajak hanya salah satu saja. Urusan data, raksasa teknologi seperti menambang emas dari negara kita dalam berbagai bentuk seperti mesin peramban, smartphone, aplikasi dan marketplace. Padahal data sangat mahal saat ini, tetapi regulasi kita tidak siap mengatur agar ada pembagian merata antara negara dengan perusahaan teknologi dan juga masyrakat,” paparnya.

Pratama menambahkan sentralisasi ekonomi secara global jelas melemahkan negara.

Pajak yang berkurang dan eksploitasi data tanpa regulasi ketat membuat Indonesia perlahan berkurang daya tawarnya di depan para korporasi asing dan negara asing. Pada akhirnya sulit untuk menjaga Pancasila sebagai landasan hidup bagi masyarakat, karena kesejahteraan yang makin sulit diwujudkan di tengah masyarakat.

“Penerimaan negara berkurang, masyarakat kita digempur dengan informasi yang diolah sedemikian rupa melemahkan persatuan dan ketergantungan teknologi, ketiganya membuat kita sebagai bangsa semakin jauh dari Pancasila,” terangnya.

Karena itu, Pratama mengimbau seluruh elemen bangsa terutama para pengambil kebijakan untuk serius melihat apa potensi dan ancaman ruang siber. Karena makin hari, Indonesia kian menjadi pasar saja bagi asing.

Ruang siber memberikan peluang berkreasi dan menjadi produsen, bila tidak melakukan itu hanya akan menjadi konsumen yang kehilangan daya tawar di depan negara lain.

“Coba kita lihat program internet murah Elon Musk, Starlink. Direncanakan 2021 akan launching secara global. Harga dan kecepatannya ratusan kali lebih murah serta lebih cepat dari internet saat ini di tanah air. Bila tidak disiapkan, jelas akan menjadi pukulan telak bagi industri telekomunikasi tanah air,” ujar Pratama.

Karena itu, kata Pratama, negara harus mendorong produksi teknologi dalam negeri yang selaras dengan kebutuhan masyarakat dengan menyesuaikan budaya, sosial, politik dan ekonomi Indonesia.

Perlindungan data harus ditingkatkan dan paling penting keberpihakan negara pada produk lokal harus benar-benar ada.

"Ruang siber yang bertambah luas, namun hanya menggunakan platform luar terus menerus jelas akan menggerus nilai-nilai Pancasila di masyarakat," tuntasnya. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler