jpnn.com - JPNN.com JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dijadwalkan akan menggelar sidang praperadilan atas permohonan yang dilakukan mantan Wali Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Ilham Arief Sirajuddin (IAS), Senin (4/5) besok.
Permohonan itu sebagai bentuk pencarian keadilan atas penetapan tersangka IAS oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kasus dugaan korupsi PDAM Kota Makassar.
BACA JUGA: DPR Dorong Sinabung Segera Ditetapkan sebagai Bencana Nasional
Salah seorang anggota tim hukum IAS, Syamsuddin Radjab mengatakan bahwa praperadilan ini menjadi yang pertama setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan memasukkan penetapan tersangka dalam ranah praperadilan.
Menurutnya, Jika di dalam Pasal 77 huruf (a) KUHAP mengatur kewenangan praperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, maka melalui putusan ini MK memperluas ranah praperadilan termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
BACA JUGA: Organda Berharap Pemerintah Larang Mudik Pakai Motor
"Utamanya, hakim praperadilan tidak lagi bisa memutuskan penolakan gugatan praperadilan dengan dalil penetapan tersangka tidak masuk dalam ranah praperadilan. Yang dialami beberapa pemohon sebelum IAS seperti itu. Gugatan mereka ditolak karena persoalan ini," terang mantan Ketua Umum PBHI ini, Sabtu (3/5).
Syamsuddin Radjab melanjutkan, keputusan MK yg dimohonkan tersangka korupsi bioremediasi PT Chevron Bachtiar Abdul Fatah, memberi jaminan bagi masyarakat agar tidak diterasangkakan dengan sewenang-wenang.
BACA JUGA: Tolak Hukuman Mati, Gereja Katolik Doakan 8 Terpidana yang Dieksekusi
"Kami yakin putusan ini sebagai bentuk penghargaan hukum atas hak asasi manusia," sebutnya.
Dalam putusan tersebut, mengacu pada KUHAP, Mahkamah Konstitusi berpandangan prinsip due process of law belum diterapkan secara utuh lantaran KUHAP tidak mengakomodir pengujian terhadap alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka apakah diperoleh dengan cara yang sah atau tidak.
"Penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang," bunyi putusan MK.
Seperti diketahui, selama ini penetapan status tersangka yang diberikan oleh penyidik kepada seseorang dilekatkan tanpa batas waktu yang jelas. Akibatnya, orang tersebut secara terpaksa menerima statusnya tanpa memiliki kesempatan untuk menguji keabsahan penetapan itu.
Dua Alat Bukti
Selain itu, dalam putusan perkara nomor 21/PUU-XII/2014 Mahkamah menyatakan frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” yang tertuang dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.
Ketentuan dalam KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Satu-satunya pasal yang menentukan batas minimum bukti adalah dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti ... dst”.
Oleh karena itu, pemaknaan “minimal dua alat bukti” dinilai Mahkamah merupakan perwujudan asas due process of law untuk melindungi hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana. Sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia, masih terdapat beberapa frasa dalam KUHAP yang memerlukan penjelasan agar terpenuhi asas lex certa serta asas lex stricta agar melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyelidik maupun penyidik.
“Dengan demikian, seorang penyidik di dalam menentukan ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari adanya tindakan sewenang-wenang,” tegas Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. (fajaronline/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kubu Agung Akui Pengurus di Daerah Masih Bingung
Redaktur : Tim Redaksi