Preman Bukan Porsinya Kopassus

Senin, 08 April 2013 – 00:28 WIB
Sutiyoso. Foto: Dokumen JPNN
TIM Investigasi bentukan TNI AD telah menyimpulkan pelaku penembakan terhadap empat tahanan di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Yogyakarta adalah pasukan elit Grup II Kopassus Kandang Menjangan, Kartosuro. Insiden yang memakan korban jiwa itu merupakan rentetan dari tewasnya seorang anggota Kopassus, Serka Heru Santoso di tangan para perman yang akhirnya ditahan di LP Cebongan.

Mantan Wakil Komandan Jenderal (Wadanjen) Kopassus, Letjen (Purn) Sutiyoso, menilai tindakan yang dilakukan anggota kesatuan elit TNI AD itu memang sebagai ungkapan rasa kebersamaan sebagai sesama anggota korps elit TNI AD itu. Adalah hal manusiawi ketika anggota Kopassus terusik karena ada rekan atau atasan di korps yang meninggal karena dibunuh secara keji.

Tapi sebagai sesepuh Kopassus, Sutiyoso tetapmengaku malu dan menganggap semangat koprs (korsa) yang ditunjukkan para yuniornya itu sebagai tindakan salah. Karenanya, bekas Pangdam Jakarta Raya yang belakangan dua periode sebagai Gubernur DKI itu menganggap sistem pembinaan kepada prajurit dalam hal pengendalian diri perlu diperbaiki.

Terlebih lagi, Kopassus punya kemampuan tinggi, termasuk dalam hal melumpuhkan lawan. "Kemampuannya sangat berbahaya," ujar Sutoyoso dalam perbincangan dengan Andrian Gilang dari JPNN di Jakarta, baru-bari ini. Berikut petikannya;

Kopassus membunuh, Bang Yos malu atau tidak?

Dalam konteks membunuh orang, pasti kita malu. Tapi rasa bangga saya terhadap korps tidak akan luntur. Ini kan namanya oknum prajurit Kopassus, yang lain juga masih banyak dan para prajurit yang lain saya harapkan tidak perlu ciut motivasinya lalu luntur.

Banyak yang dukung Kopassus karena memberantas preman. Tanggapan abang bagaimana?

Itu bukan porsi dialah (Kopassus). Serahkan ke polisi saja kayak begitu. Aku enggak setuju Kopassus memberantas preman. Serahkan ke polisi saja.

Bagaimana soal jiwa korsa?

Ya memang korsa itu selalu kita kembangkan. Kebanggaan korps, rasa loyalitas kemudian rasa kebersamaan, itu kita bina baik supaya berguna di dalam pertempuran. Di dalam pertempuran banyak kejadian temannya luka, tapi karena ia ingin cepat ditinggal saja, tidak ada cerita seperti itu. Ia harus diselamatkan, itu wajib!

Nah oleh karena itu kebersamaan tadi selalu kita bangun, kita pupuk. Makin kecil satuan, suasana seperti itu makin tebal. Rasa jiwa korsa, rasa persamaan. Tentu saja setelah tahu Heru Santoso dibunuh oleh kelompok preman secara sadis, perlu timbul rasa ingin membalasnya.

Kalau kemudian rasa korsa itu dilakukan secara berlebihan seperti kejadian Cebongan, ya tentu itu salah. Tapi jiwa korsa perlu kita tumbuhkembangkan. Kncinya adalah bagaimana para perwira membina para prajurit untuk mengendalikan diri dengan baik.

Prajurit salah mentafsirkan jiwa korsa?

Dia kan manusia biasa, punya perasaan. Sekarang kalau temannya dibantai seperti itu. Ibaratnya, coba teman anda (dibunuh, red), gimana bisa membalasnya. Tapi kan itu enggak boleh sebenarnya. Namanya juga oknum. Makanya di prajurit khusus itu pengendalian diri itu menjadi hal yang sangat penting karena dia manusia berbahaya siapapun itu. Kemampuan yang dia miliki itu sangat berbahaya.

Apakah kesalahan itu di prajurit saja? Komandan bagaimana?

Di rumusan tentara tidak ada prajurit yang jelek, yang jelek perwiranya. Dia pasti sangat siap menanggung tanggungjawab itu. Itu kewenangan atasan untuk memberikan sanksi itu, biasanya sanksi administratif karena dia tidak melakukan. Sanksi administratif penurunan pangkat, dimutasi. Itu sudah hukuman amat berat bagi perwira.

Ada kemungkinan komandannya tidak tahu penyerangan ini?

Pasti tidak tahu. Kan sudah dinyatakan tidak ada perwira di situ yang terlibat.

Masyarakat pesimis peradilan militer akan dilaksanakan secara adil?

Undang-undangnya seperti itu. Sekarang sudah membuka diri. Itu kemajuan. Kalian bisa teriak kalau hukumannya enggak sesuai.

Hukumannya lebih tinggi di pengadilan militer?

Saya belum pernah mengalami di peradilan militer. Kita tunggu saja ya. Asal yang pantas saja. Jangan terlalu menghukum, dia kan melakukan hal yang beralasan. Dia kan beralasan membela teman walaupun itu salah. Kan beda dengan preman-preman itu tadi, membunuh dengan sadis. Itu yang harus kalian soroti.

Pengadilan militer dinilai hanya impunitas bagi tentara. Perlu ada revisi?

Karena itu perlu kita lihat. Yang pertama kali saya lihat Pengadilan Militer terbuka kan. Barangkali dia telah mereformasi diri. Kita percayakan saja.

Dalam pengadilan nanti terbuka?

Ya, artinya dalam pengadilan nanti orang boleh datang. Menurut pengertian saya seperti itu dan itu bagus, itu sebuah kemajuan. Tapi sekali lagi kejadian ini jangan menyudutkan terus TNI, lebih khusus lagi Kopassus. Kita butuh TNI dan Kopassus, mereka tentara profesional yang terlatih baik. Kalau ada oknum, itu wajar di mana-mana selalu terjadi seperti itu.

Mereka sudah ketangkap dan mengaku secara ksatria dan akan diadili. Kita tunggu saja, jangan pojokkan mereka karena itu bisa melunturkan moral para prajurit yang lain. Karena itu perlu mengevaluasi diri, banyak pihak kepolisian juga kenapa enggak berani nyimpen sendiri tahanan itu dan dititipkan tahanan itu, mungkin ada alasannya.

Lapas kenapa bisa diterobos begitu mudahnya? Unsur-unsur TNI dari Kodam khususnya Kopassus pastilah perlu melakukan introspeksi untuk bagaimana membina prajurit yang lebih baik.

Bagaimana cara mengembalikan citra Kopassus?

Ya kita tidak perlu memojokkan institusi. Itu kan sekali lagi umum, di mana-mana juga pasti ada. Dia 3000 jumlahnya, kalau 11 nakal ya wajar saja. Tetapi semua ada tindakan hukum, yang penting itu, bukan kita biarkan. Atasan langsung harus ditindak secara administrasi. Karena kita nilai lalai dalam pengawasan anakbuahnya. (gil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bahaya jika Gaya Hidup Raffi Diikuti Pengikutnya

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler